Tentang Layangan

35 6 0
                                    

Aku menatap langit kuning yang diselubungi awan kelabu, rasanya kelabu awan itu kurasakan jelas di dalam hati. Aku melupakan poin itu, Bang Arsyad selalu pulang kampung setiap lebaran tiba. Menziarahi makam orang-orang yang ia sayangi. Tadi aku berpikir saat Ibu-ibu di warung Mak Eti mengatakan Bang Arsyad selalu pulang ke sini setiap bulan, kau sempat tidak mempercayainya. Sejak dia pergi, aku tidak pernah lagi berpikir bahwa dia akan kembali ke kampung ini.

Lebaran kemarin saat aku pulang, aku sama sekali tidak melihatnya. Pikiran singkatku berpikir seharusnya dia lebaran di kampung ini jika benar Bang Arsyad selalu pulang setiap bulan. Lupa bahwa Bang Arsyad selalu pulang ke kampungnya untuk merayakan lebaran dengan menziarahi makam-makam keluarganya. Sementara lebaran bagiku hanya untuk menemani Ayah dan Ibu, biasanya aku cuma 2 sampai 3 hari di rumah, aku sudah kembali lagi Ke Jakarta. Sibuk dengan duniaku mencari Bang Arsyad di ibukota.

"Woi! Kok Bengong?" Nita menyenggol bahuku, membuatku mengerjapkan mata, tersadar dengan keadaan.

"Eh, apa?" Aku refleks bertanya.

"Mikirin apa kau? Kenapa sampai bengong begitu?" Nita menatapku dengan senyum usil, "mikirin calon suami ya?"

Dahiku berkenyit bingung, mikirin calon suami? Aku sedang memikirkan Bang Arsyad, apa itu berarti dia calon suamiku?

"Telpon aja sebentar, tanya 'Sayang lagi apa? udah pulang kerja belum? Adek lagi kangen nih' truss kasih kiss sedikit." Nita terkekeh mengejekku, membuat wajahku merah karena kesal,

"Nggak lucu tahu!" Aku ketus seraya membuang muka, jika tidak hamil, sudah langsung kujambak rambutnya.

"Truss bilang 'Nanti Sayang mau Adek masakin apa sampai di rumah? Ikan sungai dekat rumah gimana? Nanti Adek kasih bumbu rasa cinta deh biar enak' truss kasih ucapan rindu sedikit di ujungnya." Nita melanjutkan leluconnya.

"Nita!" Aku menggerutu, mencubit lengannya dengan pelan.

Andai saja Nita tahu perasaanku yang bimbang karena Bang Arsyad, apa dia akan mengejekku seperti ini sekarang?

***

Waktu berlalu dengan begitu cepat, berkat banyak membaca buku, prestasiku di sekolah semakin membaik. Dulu aku hanya murid yang tak pernah mendapat rangking, namun semester ganjil kelas IV, di raporku tiba-tiba saja tertulis rangking empat. Aku girangnya bukan main, langsung saja aku berlarian pulang, ingin menunjukkannya kepada Ibu. Aku memang belum bisa menyamai Bang Arsyad yang lagi-lagi meraih rangking satu di kelas VI. Tapi ini rangking empat, ini seperti keajaiban bagiku.

Saat aku menaiki tangga rumah panggungku, memperlihatkan rapor kepada Ibu, ucapan selamat itu langsung terdengar di telingaku, pujian tak henti diutarakan Ibu untuku. Sampai makan malam pun Ibu terus memujiku di meja makan. Tak hanya Ibu, Ayah yang tahu pun juga ikut terus memujiku hebat.

"Hebat anak Ayah, bisa dapat rangking empat semester ini." Ayah membelai rambutku yang dikucir ekor kuda seperti biasanya.

"Anak Ibu ini, Yah. Ibu yang mendidiknya." Ibu menyahut.

"Tapi kan Ayah yang membelikan Hesty buku-buku, Bu." Ayah tak mau kalah.

Aku senyum-senyum saja mendengar mereka berdebat memperebutkanku. Sementara Kak Han—Kakakku terlihat bersungut kesal di depanku, dia tidak rangking sementara aku rangking empat.

"Kamu contoh adikmu, Hana. Rajin membaca, agar kamu dapat rangkin juga." Ayah membelai rambut Kak Hana, bersikap adil kepada kami.

"Dia dapat rangking empat karena gurunya salah membuat rangking saja di rapornya." Bibir Kak Hana mengerucut.

Aku mengangkat bahu tak peduli dengan ocehan Kak Hana. Ucapan Bang Arsyad baru saja menemui kebenaran. Otakku jadi encer, rangking empat itu sudah cukup membuktikannya.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang