Gosip Dengan Ketos

24 4 0
                                    


"Kamu pulang sendiri nggak apa-apa, Ta?" tanyaku saat meninggalkan lapangan tempat anak-anak bermain.

"Loh, bukannya rumah kita searah, ya?" Nita menoleh, melihatku dengan wajah bingung, "atau Kau mau ke tempat lain dulu?"

"Aku mau ke rumah mertua Eva, dia nggak lagi pulang ke rumah orang tuanya, kan? Aku juga sudah kangen ingin bertemu dengan dia. Terakhir bertemu dengannya saat lebaran 2 tahun lalu, udah lama," sahutku

Nita kemudian mengangguk singkat, "Mau aku temani kesana? Mana tahu kamu butuh teman," tawar Nita.

Aku menggeleng, "Nggak usah, Ta. Aku bisa sendiri, kamu pulang saja, istirahat, jangan kebanyakan gerak, kasihan anakmu. Entar dia lahir di jalan lagi karena ibunya nggak mau diam di rumah," gurauku.

Nita terkekeh mendengarnya, Ia memukul lenganku dengan pelan, "Temanku ini. Ada-ada saja." Nita memelukku dengan singkat, "aku pulang dulu ya. Titip salam aja buat Eva. Besok siang Kau harus ke rumahku, aku mau masakin sesuatu untuk Kau."

Aku mengangkat tangan, memberi hormat di pelipis mataku, "Siap, Bos."

Kami berdua tertawa riang karena tingkahku ini, menghiraukan orang lain yang melihat kami. Termasuk pemuda-pemuda simpang jalan yang tengah memandangku dari kejauhan. Setiap kali pulang kesini, pemuda yang duduk di simpang jalan itu selalu memandangku seperti itu. Seperti tidak pernah melihat perempuan secantikku saja mereka semua.

Kami akhirnya berpisah jalan, Nita berjalan menuju simpang jalan, sementara aku berjalan ke arah rumah Bang Arsyad. Rumah mertua Eva ada di jalan yang sama ke arah rumah Bang Arsyad. Eva adalah satu-satunya orang yang tahu tentang perasaanku kepada Bang Arsyad. Dia yang tahu seperti apa hancurnya aku saat kesalahan itu aku lakukan. Dan sore ini, aku ingin menemuinya sebentar. Jika Bang Arsyad benar di rumahnya sekarang, mungkin aku bisa menemuinya, atau mungkin juga tidak. Entahlah, aku masih mencintainya, sama seperti dulu. Tapi sekarang ada pinangan yang terasa menjadi kesalahan lainnya

***

Aku dan Yoga semakin sering berbalas pesan singkat melalui ponsel. Sesekali Ia masih menelponku, berbasa basi bertanya soal nilaiku di ujian semester. Dia juga memujiku karena berhasil menjadi juara satu di kelas. Aku meladeninya seperti biasa, seadanya saja, menganggapnya sebagai temanku. Lagi pula dia sudah bersikap baik meminta maaf untuk kesalahannya waktu itu. Pesan-pesannya juga ramah, tidak kurang ajar apalagi kasar.

Masuk ke semester kedua, desas desus antara aku dan Yoga mulai terdengar. Nita sering bertanya, apa aku punya hubungan dengan Yoga. Itu gila, yang benar saja. Aku bahkan berkali-kali berdebat dengan Nita soal itu. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Yoga. Termasuk juga Eva. Dia mengatakan ada isu bahwa aku dan Yoga punya hubungan.

"Aku dengar sendiri dari anak OSIS, kamu dan Yoga lagi dekat. Kalian ada hubungan apa?" tanya Eva saat kami di kelas menunggu guru kimia.

"Jangan dibahas lagi, Itu isu nggak jelas, aku capek meladeninya," jawabku dengan ketus. Kesal dengan tuduhan itu.

"Itu Bang Yoga loh, Hes. Ketua OSIS, idola semua anak perempuan di sekolah kita." Eva memegang kedua pipinya, seolah takjub mengagumi sosok Yoga. Membuatku jengah dengan tingkahnya itu.

"Jangan ngada-ngada deh, Va. Jangan menambah isu yang nggak jelas. Aku sama Bang Yoga tidak ada apa-apa sama sekali." Aku mendengus kesal, membuang muka dari Eva.

"Tapi aku lihat, dia sering melihat-lihatmu saat acara class meeting semester lalu, dia pasti suka denganmu, Hes." Eva menarik bahuku, "jangan sia-siakan kesempatan, Hes. Kapan lagi punya pacar idola sekolah. Putih, tinggi, gagah, anak orang kaya lagi."

"Ih, apaan sih, nggak jelas." Aku ketus, mendorong Eva agar menjauh.

"Gosip kamu sama Bang Yoga sudah menyebar di seluruh sekolah loh, Hes. Orang-orang pasti lagi mencari tahu siapa Hesty, perempuan yang berhasil menaklukkan hati ketua OSIS mereka yang tampan."

Aku menelan ludah mendengar penuturan Eva, apa itu berarti Bang Arsyad juga mendengar kabar itu? Tapi Bang Arsyad tidak pernah bertanya soal itu. Ya Tuhan, siapa yang menyebar isu nggak jelas ini. Punya hubungan sama Yoga? hubungan apa coba? Aku saja membalas pesan-pesan singkatnya lebih sering asal-asalan saja. Lalu kenapa ada isu nggak jelas seperti ini?

Ketika jam istirahat sekolah, aku bergegas menuju perpustakaan. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku mengambil buku dengan asal lagi. Kemudian segera berjalan menuju meja baca, menarik kursi di dekat Bang Arsyad yang tengah sibuk membuat tugas. Ucapan Eva tentang isu yang menyebar ke seluruh sekolah itu membuatku cemas jika Bang Arsyad akan salah paham.

Nafasku menderu, terasa sesak, aku harus memastikan Bang Arsyad tidak berpikir yang tidak-tidak soal isu yang tak jelas itu.

"Kamu kenapa, Hes?" tanya Bang Arsyad yang mungkin heran melihatku yang sedikit terengah-engah.

"Nggak apa-apa, Bang," jawabku dengan santai, "tadi aku habis berdebat aja sama teman yang nyebelin di kelas."

Bang Arsyad mengangguk, kemudian melanjutkan tugasnya seperti biasa. Aku berusaha bersikap santai, membuka buku dan pura-pura membacanya. Lima menit aku hanya melihat-lihat gambar di dalam buku itu, sesekali kami berbicara dan sedikit bergurau seperti biasa. Selalu menyenangkan saat berada di dekat Bang Arsyad seperti ini.

"Abang mendengar gosip yang tidak jelas tentangku?" Aku bertanya di sela gurauan kami.

"Gosip tentang kamu? Emang kamu sepenting apa di sekolah ini sampai digosipin segala?" gurau Bang Arsyad.

Aku tersenyum sengir, mengusap tengkukku dengan pelan. "Gosip yang aneh-aneh gitu, Bang. Atau Abang ada mendengar orang yang menyebut-nyebut namaku, Hesty Pratiwi anak kelas X."

Bang Arsyad menggeleng, kemudian fokus lagi dengan bacaannya. "Nggak ada, Hes. Penting sekali orang menggosipin kamu." Dia kemudian terkekeh.

Aku ber-huh pelan, melepaskan nafas singkat. Syukurlah Bang Arsyad tidak mendengar kabar yang nggak jelas itu. Tapi tunggu! Bukannya Kak Sela dekat dengan Bang Arsyad, masa sih dia tidak mendengarnya. Atau dia sengaja berpura-pura tidak mendengar kabar itu? Tapi untuk apa?

"Pokoknya, Bang." Aku bergumam pelan, membuat Bang Arsyad menoleh kepada dengan penuh penasaran, "kalau Abang mendengar gosip yang tidak-tidak tentang aku, itu tidak benar. Itu hanya fitnah yang nggak jelas apa tujuannya."

Bang Arsyad terkekeh melihat tingkah seriusku, dia refleks mengangkat tangan dan mengarahkannya ke poniku. Belum sempat dia mengacak-acak poniku seperti dulu, tangannya sudah kembali turun.

"Maaf, aku hampir kelewatan," tukasnya dan kemudian ia kembali mengerjakan tugas.

Aku mengembuskan nafas berat, entah sampai kapan kami tidak bisa seakrab dulu lagi. Aku rindu dengannya yang dulu, mengacak-acak poniku, merangkul bahuku dan sesekali mengusap lenganku. Aku ingin sekali bersandar di lengannya seperti dulu. Jika kami terus seperti ini, aku juga canggung untuk menyentuhnya lebih dulu.

"Pokoknya itu, Bang." Aku kembali bersikap normal seperti biasa, "Abang jangan percaya dengan berita tak jelas yang menuduhku nggak-nggak. Apalagi itu dari Kak Sela. Aku takut saat Abang mendengarnya, Abang akan berpikiran buruk dan berubah kepadaku."

Bang Arsyad menoleh dan tersenyum tipis, "Aku pernah bilangkan. Aku akan berubah jika kamu yang berubah lebih dulu. Satu lagi, aku nggak pernah berpikir buruk kepada orang, Mak mengajarkanku untuk selalu berprasangka baik."

Aku tersenyum senang mendengarnya, Mak Zati mendidik Bang Arsyad dengan baik. Hingga bisa menjadi sosok yang selalu membuatku terkagum-kagum seperti ini.

"Dan itu." Bang Arsyad menunjuk buku yang kupegang, "kenapa kamu membaca buku anak kelas XII lagi? Aku sudah pernah bilang, baca buku yang sesuai untukmu."

"Eh, buku anak kelas XII?" Aku kaget dengan penuturan Bang Arsyad..

Aku memutar buku yang kubaca, melihat sampulnya kemudian tersenyum sengir tanpa dosa melihat Bang Arsyad. Aku mengambil buku anak kelas XII lagi. Buku yang persis sama dengan buku yang kuambil saat pertama kali aku masuk ke perpustakaan itu. Bang Arsyad hanya geleng-geleng melihat tingkahku.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang