Cemburu?

34 5 0
                                    

Istirahat pertama di sekolah baru, tujuanku sudah pasti perpustakaan. Aku mengabaikan Nita yang mengajakku melihat kantin, aku juga mengabaikan Eva yang mengajakku keliling sekolah, melihat seluruh gedung sekolah baru kami ini. Tujuanku adalah Bang Arsyad, mengulang kembali masa-masa kami saat di perpustakaan SD dan SMP dulu.

SMA ini cukup besar, ada sekitar enam gedung. Maklum saja, hanya ada tiga SMA di kecamatanku yang cukup luas. Harus menampung siswa lanjutan dari SMP yang jumlahnya ada tujuh di kecamatan. Aku bertanya beberapa kali kepada senior kelas XI dan XII dimana perpustakaan berada. Hingga beberapa kali aku bertanya, akhirnya aku menemukan pintu perpustakaan di ujung salah satu gedung. Posisinya sedikit di belakang, dekat dengan rumah penjaga sekolah.

Gedung perpustakaan bercat hijau, berbeda dengan gedung lain yang bercat krem. Aku masuk ke dalam perpustakaan, beda dengan SMP dulu, disini aku haru membuka sepatu dan menaruhnya di rak. Disana ada sekitar empat pasang sepatu lainnya. Dan aku yakin salah satunya adalah sepatu Bang Arsyad. Aku masuk ke perpustakaan penuh percaya diri. Membuat nama di buku pengunjung. Ada nama Muhammad Arsyad disana, aku tersenyum senang. Tak sabar menghampiri Bang Arsyad hari itu.

Aku masuk ke dalam, melihat-lihat perpustakaan SMA-ku ini. Luasnya hampir sama dengan perpustakaan SMP-ku. Susunannya sedikit berbeda, tempat baca ada di belakang rak-rak buku yang disusun di tengah. Tidak ada AC, yang ada hanya jendela yang terbuka, dilindungi teralis besi. Udara alami masuk dengan bebas, suasana hening dan nyaman. Fentilasi juga panjang dan besar, membuat suasana terasa sejuk disana. Lantainya keramik putih, bersih, karena tidak ada sepatu yang masuk ke dalam.

Aku mengambil buku dengan asal, kemudian berjalan pelan menuju meja baca. Benar dugaanku, aku tidak pernah salah untuk menebak Bang Arsyad. Dia tengah asyik membaca buku seraya menyalin beberapa poin penting ke buku catatannya. Aku melangkah pelan, kemudian duduk di salah satu kursi busa di sampingnya. Menyenggol pelan lengannya seperti biasa dan duduk membaca buku dengan santai.

"Hesty!" Bang Arsyad bergumam kaget melihatku.

Aku menoleh, tersenyum manis kepadanya. "Hai, Bang Arsyad!" sapaku dengan akrab.

"Ka-kamu sekolah disini?"

Aku mengangguk dengan semangat. Senyum manis terus kumbar untungnya.

"Loh! bukannya kamu lulus di SMA kabupaten?"

Aku mengangguk lagi, membuat dahi Bang Arsyad berkerut bingung.

"Lalu?"

Aku mengembuskan nafas panjang, memutar badan dan melihatnya dengan penuh.

"Aku lebih suka sekolah disini, dekat dengan rumah. Ongkos becak motornya juga nggak akan mahal," gurauku.

"Itu alasan apa? Nggak rasional. Orang tuamu punya biaya lebih, tak masalah membiayaimu sekolah disana." Bang Arsyad menjitak dahiku.

"Aduh!" Aku bergumam kesal, dia tidak mengacak-acak poniku lagi.

"Sakit tahu, Bang." Aku mengusap dahiku dengan kesal, ini di luar dugaanku dan aku tidak sempat menghindar.

Bang Arsyad kembali meneruskan kegiatannya, membaca buku dan menyalin beberapa poin penting yang dia temukan. Mengabaikanku yang terus melihatnya. Benar, dia tidak mengacak-acak poniku lagi. Ini terasa jauh lebih menyebalkan, tak mengira sebenarnya ada yang jauh lebih menyebalkan lagi dari ini, dan akan terjadi beberapa saat lagi.

"Buat apa sih, Bang? Serius amat, sampai aku diabaikan." Aku memasang wajah cemberut, memancingnya untuk mengacak-acak poniku seperti dulu.

"Tugas kelompok, Hes," jawab Bang Arsyad dengan singkat.

"Oo ...." Pipiku menggelembung menahan kesal, "mana anggota kelompok Abang? masa buat tugas kelompok cuma sendiri."

"Itu!" Bang Arsyad memutar badan, menunjuk ke salah satu sisi rak perpustakaan.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang