BAB 2 MENGENALNYA

101 6 0
                                    

Aku masih ingat saat itu, sore di bulan Maret 2002. Aku bersama Ibu jalan dari rumah, menyusuri jalanan tanah berkerikil menuju warung Mak Eti. Selama berjalan, tanganku memegang sudut rok panjang hitam yang ibu pakai. Kami masuk ke warung Mak Eti, ikut bergabung dengan beberapa ibu-ibu lain yang tengah membeli bahan-bahan masak untuk makan malam di rumah mereka.

Tanganku masih memegang rok ibu yang asyik memilih bawang dan tomat. Sementara mulut Ibu berkelakar, ikut berbicara, menimpali percakapan Ibu-ibu yang selalu suka bercerita tentang banyak hal. Pembicaraan mereka selalu berubah-rubah topik, dimulai dari harga sayuran yang belum stabil, hingga masalah sinetron yang mereka tonton di televisi. Aku tak mengerti betul dengan apa yang mereka bicarakan. Masih terlalu sulit bagi siswa kelas III SD sepertiku saat itu untuk memahami pembicaraan orang-orang dewasa.

“Mak! Ini berapa harganya?” Suara seorang anak laki-laki terdengar diantara suara para Ibu-ibu yang masih asyik berbicara.

Aku menoleh, melihat anak laki-laki itu, kurus dan tidak terlalu tinggi. Kulitnya sawo matang, terlihat gelap karena seperti sering berpanas-panasan di bawah terik matahari. Bajunya juga terlihat basah oleh keringatnya yang mengucur dari dahi dan leher.

“500, Syad. Kamu boleh ambil tiga,” jawab Mak Eti.

Anak laki-laki itu mengambil enam buah jambu merah, kemudian merogoh saku celana pendek yang ia kenakan. Aku memperhatikannya dengan lekat, bersembunyi di belakang ibu dengan masih memegang sudut rok hitam panjangnya. Mataku terpaku pada wajahnya yang terlihat lembut dan tenang.

“Ini, Mak!” Dia mengeluarkan selembar uang kertas untuk diberikan kepada Mak Eti.

Mak Eti mengambil uang itu dan tersenyum.
“Makasih ya, Mak. Tambah satu buat bonus.” Anak laki-laki itu mengambil satu lagi buah jambu merah, kemudian berlari keluar dari warung.

Dia kembali berkumpul dengan teman-temannya yang sedang istirahat di simpang jalan, bersama para pemuda dewasa yang tengah bermain gitar. Dia dan yang lain tampak berkeringat, menyekanya berkali-kali dari wajah dan leher. Sepertinya mereka baru saja selesai bermain bola di lapangan kampung yang dapat terlihat jelas dari warung Mak Eti.

“Anak siapa itu, Mak? aku baru lihat.” Ibu yang dari tadi juga memperhatikan anak itu bertanya pada Mak Eti.

“Namanya Arsyad, cucunya Mak Zati,” jawab Mak Eti dengan singkat.

“Cucunya yang mana? Dari anaknya yang meninggal di Jambi kemarin?” Ibu-ibu yang lain menimpali.

“Iya, ayah anak itu merantau ke Kalimantan, jadi Mak Zati mengambilnya. Daripada sama keluarga ayahnya, nanti nggak keurus,” jelas Mak Eti yang sibuk merapikan sayuran yang mulai layu setelah diacak-acak oleh Ibu-ibu yang berbelanja.

“Nggak apa-apa juga dibawa Mak Zati ke sini, bisa menjadi teman Mak Zati dan Datuk Mar di rumah, daripada tinggal cuma berdua. Kasihan udah tua.” Ibu ikut menimpali pembicaraan mereka, sekarang ia tengah asyik memilih beberapa butir telur.

Aku kembali menoleh ke arah anak laki-laki yang berkumpul di simpang jalan. Sore itu aku tahu namanya, Bang Arsyad. Dia tengah asyik mengunyah jambu seraya selonjoran di rerumputan tepi jalan, menikmati alunan musik dari pemuda yang bermain gitar. Aku tersenyum simpul melihat keriangannya. Dia juga berbagi buah jambu yang ia beli dengan teman-temannya yang lain. Juga pemuda kampung, membuat buah jambu itu langsung ludes dari tangannya.

***

Awalnya biasa saja, aku mengenalnya sama seperti aku mengenal anak-anak yang lain. Sering melihatnya saat sore Ibu membawaku berbelanja ke warung Mak Eti. Tersenyum simpul melihatnya tertawa dengan teman-temannya dengan masih memegang sudut rok panjang yang selalu Ibu kenakan. Melihatnya ikut bernyanyi dengan anak-anak yang lain, membuatku merasa ikut senang. Setidaknya anak yatim yang harus jauh dari Ayah seperti dia, masih bisa merasakan kebahagiaan dari teman-temannya.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang