"Hoon malang, kapan dia akan bangun. Kak, Hoon akan sembuhkan?" Tatap Ji iba_ pada anak yang berbaring disampingnya. Cairan infus yang turun tetes demi tetes mengiris rasa keibuannya.
"Eoh." Helaan nafas hadir berbarengan dengan jawaban yang Suho lontarkan. Ia juga tak yakin, melihat kondisi Hoon yang belum ada perubahan.
"Ada yang menganggu pikiran mu?"
Suho menggeleng pelan.
Sooji yang tadi memperhatikan Hoon, kini menatap pria yang berdiri disampingnya.
"Kak Irene saat ini mungkin sedang bersama kak Siwon. Mungkin__ "
"Aku tahu. Sejak awal bisa ku tebak. Keduanya masih menyimpan perasaan."
"Lalu, kakak?"
"Aku?" Gelaknya kaku, "Aku baik-baik saja."
"Sedari awal aku hanya penonton."
Ji ikut menyengir, "Maaf."
"Jangan bercanda. Tidak ada yang bersalah. Terlebih kau." Punggung Ji disentuhnya pelan.
"Perasaan tidak bisa dipaksakan. Asal mereka bahagia, aku turut senang.""Naif."
"Kau benar. Naif. Habis mau bagaimana lagi. Dia tak pernah menganggapku lebih dari sekedar teman."
"Kak_"
"Jangan hiraukan aku. Perasaanku akan segera membaik. Katakan, kau ingin makan apa. Akan ku berikan."
"Aku tidak selera."
"Ingat Hoon. Kau butuh tenaga menjaganya."
"Kakak, benar." Menyentuh tangan kanan Hoon, Ji melanjutkan. "Hidup sungguh tak mudah."
"Ada yang kau risaukan?"
"Begitulah.
"Haruskah kita pergi minum?"
Untuk sesaat, suasana kembali senyap.
Meski perjalanan hidup penuh liku dan kerikil kecil hingga membuatnya tersandung lalu terluka, Sooji bersyukur masih punya keluarga dan teman yang selalu siap mengulurkan tangan. Satu diantaranya pria ini. Suho tak segan menawarkan bantuan dan menguatkannya.
Pria ini memang tak punya harta untuk ditawarkan, namun Suho punya hati yang cukup besar untuk menampung uneg-uneg Sooji, Irene, maupun Sung-hee.
Dibesarkan di panti yang biaya hidupnya banyak dibantu Sung-hee_ menjadikan Suho bagian dari keluarga Bae.
Satu ruang_ tepatnya disebelah kamar Hoon, masih dibiarkan kosong dan dibersihkan setiap hari. Kamar itu adalah kamar yang pernah menjadi kamar pria pengertian ini sebelum ia memutuskan hengkang dan tinggal terpisah.
Alasannya, karena ia terlalu dewasa untuk tinggal serumah dengan kedua gadis. Takut dipergunjingkan. Takut perasaannya tak terkendali.
"Ibu__ baik-baik saja,kan?"
"Aku tidak tahu. Tadi ibu pergi membawa kakak dalam emosi. Sesuatu yang tak ku ketahui."
"Ah.. aku jenuh." Ditutupnya wajah dengan kedua tangan. "Kapan kami akan terbebas dari masalah."
"Bodoh." Menepuk jidat, "Tak seharusnya aku mengeluh."
"Kau ingin aku kembali?"
"Terserah Kakak saja. Kak_"
"Ya?"
"Kalau Ibu terus mendesak agar aku segera menikah__"
"Dan_ aku masih tidak menemukan seseorang yang tepat. Bisakah kakak membantuku?"
![](https://img.wattpad.com/cover/292045749-288-k117591.jpg)