"Pak, lagi ngapain?"
"Bersihin saluran irigasi!"Aljinan diam sejenak memandangi petugas sekolah yang sedang membersihkan daun kering di dalam irigasi dekat parkiran. Biasanya Aljinan akan cuek saja jika melewati siapapun kecuali perempuan, tak jarang dia akan melemparkan gombalan mautnya.
"Nggak tuh, biasa aja!" celetuk Aljinan.
Orang lebih tua dari Aljinan itu langsung berhenti kemudian menatap anak berbaju seragam sekolah di hadapannya. "Ha?"
"Bapak kalau mau bersih - bersih silahkan aja, saya nggak iri!" jelas Aljinan kemudian berlalu meninggalkan orang itu begitu saja.
Entah Aljinan sedang melakukan lelucon atau apa, tapi ia sukses membuat orang yang sudah berusia matang itu terheran.
Kaki jenjangnya melangkah dengan bebas di koridor kelas, beberapa siswi terpana melihat ketampanan Aljinan. Kali ini ia tidak berangkat bersama ketiga sahabatnya karena ia terlalu siang bangun pagi ini, untung saja ia tidak telat masuk.
"Pagi, guys! Orang cakep datang!" seru Aljinan saat tiba di dalam kelas. Ia langsung ikut nimbrung, duduk melingkar di depan papan tulis.
"Wih, makhluk halus dateng!" sambut Matheo ketika Aljinan duduk di sampingnya.
"Iya, dedek 'kan soptie."
"Dedek jangan gitu, inget umur."
"Asu!"Teman disekitrnya langsung tertawa mendengarnya, memiliki sircel yang bagus dan cocok adalah sebuah keberuntungan tersendiri. Selain untuk membuat semangat beraktifitas tapi juga bisa menambah keluarga. Jingga dan Agipta yang termasuk orang baru bagi Tenggara dan sahabatnya kini mulai sering bersamaan.
"Neng Agipta Nawangsari cakep amat hari ini?" Aljinan mulai menggoda Agipta yang duduk tepat didepannya, perempuan berkuncir kuda dengan jepitan manis dirambutnya membuatnya terlihat lebih menggemaskan.
"Awas, Ta. Godaan Jin!" Matheo berseru kepada Agipta yang menatap Aljinan muak.
Jingga yang berada disamping Agipta menyenggol bahunya. "Wah! Parah, Ta. Jadi kemaren lo nggak cakep dong?!"
"Kepala lo pernah digenjreng nggak, Jin?!" kata Agipta dengan tatapan mautnya.
"Weh, sabar dong!" Aljinan mencoba menenangkan Agipta yang mulai marah akibat perkataan Jingga. "Bapak kamu kompeni, ya? Kalau dekat kamu bawaannya pengen tanam paksa." Aljinan malah memberikan gombalan recehnya yang entah sudah diberi keberapa banyak perempuan diluar sana.
Tenggara mencoba menyahut ketika mengingat salah satu kartun diacara televisi yang biasa adiknya tonton. "Tanam - tanam ubi."
"Tak perlu dibaje."
"Orang berbudi."
"Tak perlu dibaje."
"Kita berbahasa, goblok!"Kini Tenggara malah kesal dengan Matheo yang salah menyambung lirik lagu itu. Tamparan ditengkuk Matheo cukup membuatnya meringis. Sementara kelima temannya tertawa renyah.
૮₍´˶• . • ⑅ ₎ა
Setelah jam istirahat tiba, Tenggara dan Jingga dipanggil untuk menemui wali kelasnya. Sedikit gugup, terakhir mereka berdua berhadapan dengan wali kelasnya karena masalah. Apakah kali ini mereka berdua berbuat salah kembali?
"Jadi gini," Pak Galang melepas kacamata yang setia bertengger dihidung. "Akhir semester ini ada Olimpiade IPA antar sekolah, Bapak manggil kalian berdua untuk mengikuti lomba ini mewakili Sekolah kita," jelasnya dengan air muka serius.
Tenggara yang mendapat kenyataan bahwa dirinya diikutkan dalam hal penting ini langsung menolak. "Kok saya, Pak?"
"Kamu itu pintar dalam pelajaran IPA, Bapak milih kalian juga bukan asal. Bapak liat dari belajar kalian di kelas dan nilai harian kalian, terutama kamu, Tenggara."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Glimpse Of Us
Teen FictionDekripsi menyusul, kalau penasaran langsung baca saja.