"Tenggara, minggir!" geram Jingga bukan kepalang. Dirinya 'dikunci' oleh Tenggara, posisi kedua tangan Tenggara berada di samping tubuh Jingga kemudian punggungnya telah menempel pada tembok. Hal ini membuat dirinya semakin kesal dengan Tenggara, ia berdecak sebal, "Nggak enak kalau ada yang masuk, inget, ini di sekolah!" seru Jingga.
Pagi ini, suasana kelas masih sepi. Tadinya ada beberapa murid dalam kelas, tapi entah di mana mereka sekarang. Semestinya, mereka tidak usah pergi agar Jingga tidak ada dalam posisi seperti ini. Berdua dengan Tenggara ditambah aksi Tenggara pagi ini yang menyebalkan. Jingga berharap bel berbunyi lebih awal atau dirinya mendapat ilmu ajaib supaya bisa menghilang dari tatapan pemuda tampan di hadapannya ini.
Tenggara menatap mata indah milik kekasihnya, ia rasa semakin hari Jingga menjadi lebih cantik. Apalagi dilihat dari dekat seperti ini. Bibirnya tersenyum tipis, bahkan ia yakin gadis di hadapannya itu tidak dapat melihatnya. Lucu sekali melihat rona merah di pipi gadis itu, entah karena kesal atau sedang malu ditatap cowok tampan seperti dirinya. Hatinya semakin senang karena seakan semesta mendukungnya saat ini, kelas sepi. Tapi sungguh, ia tidak akan berbuat yang macam-macam. Tenggara seperti ini karena Jingga juga yang memulai.
"Kasih tau dulu, kenapa lo kemarin hindarin gue? Lo marah sama gue?" tanya Tenggara yang entah sudah dilayangkan berapa kali, namun tetap tidak ada jawaban yang diterima. Gadisnya sedari tadi hanya menghindar, mulai dari pertemuan di gerbang sekolah sampai di sini sekarang.
Bukannya dalam hubungan itu lebih baik jika saling terbuka? Jadi, kenapa Jingga tidak mengatakan alasan apa yang membuatnya kesal? Atau sengaja Jingga membuat dirinya merasa bersalah seperti ini? Hal ini membuat Tenggara pusing saja.
Tidak tahu kenapa, bibir Jingga seolah kelu. Suaranya juga tertahan di kerongkongan. Susah sekali jujur kepada Tenggara bahwa dirinya tengah menahan cemburu, ia tidak akan mengakui hal itu. Tapi, alasan apa untuk menjawab rentetan pertanyaan dari Tenggara? Lagi pula, kenapa cowok itu tidak peka? Dasar!
"Kasih tahu," desak Tenggara.
Jingga tersentak, selain suara Tenggara membuyarkan lamunannya tapi wajah cowok itu mendekat. Dirinya semakin gugup. "G-gue—" perkataannya terhenti saat suara familiar datang dari ambang pintu. Sontak, Tenggara dan dirinya menatap siapa pemilik suara lembut itu.
"Upss, sorry. Gue ganggu kalian, ya?"
Jingga mengembuskan napas lega, sangat lega. Dewi Fortuna sedang memihak kepada Jingga, Jingga tak henti mengucap syukur dalam hati. Bahkan, Jingga dengan spontan telah mengusap dadanya sendiri. Ia berjanji akan membelanjakan jajan pada gadis yang menjadi penyelamatnya saat ini.
Tidak ingin kehilangan kesempatan, Jingga yang melihat Tenggara sedang menatap ke arah lain langsung melayangkan pukulan keras ke perut berotot cowok itu, yang sebelumnya tidak terpikirkan.
"Auu!" Tenggara memegangi perutnya telah perih. Ia takut absnya akan berubah bentuk seketika. Bukan dirinya yang lemah! Ingat, Jingga juga pernah meninju rahangnya hingga memar. Mengerikan sekali gadis itu jika sudah menjadi Reog. Tidak tahu Jingga diberi makan apa oleh Ellen hingga menjadi sekuat itu.
Terlihat sakit, Tenggara mengaduh cukup keras hingga menggema di ruang kelas. Jingga membolakan matanya, ia menggigit jari miliknya. Jingga tidak sengaja, ia tidak tahu akan menjadi sekeras ini. Tapi tidak apa, itung-itung sebagai pelajaran agar Tenggara tidak akan berbuat seperti ini lagi.
Sementara Agipta yang mematung di ambang pintu dengan menyaksikan kejadian barusan merasa ngilu sendiri. Dirinya menggeleng dengan kelakuan temannya, ia sedikit bergidik ngeri. Aneh, padahal pertama yang tertangkap oleh matanya saat masuk kelas adalah keromantisan yang sempat membuatnya iri, bagaimana tidak? Kedua sosok berlawan jenis itu terlihat mesra. Namun, menit kemudian terjadi baku hantam. Agipta tidak habis pikir dengan kedua teman sekelasnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Glimpse Of Us
Teen FictionDekripsi menyusul, kalau penasaran langsung baca saja.