Setiap hari merupakan anugrah yang diberikan, jam berlalu tidak bisa dihentikan oleh siapapun. Harus menjalani hidup dengan semangat dan berikan energi positif pada setiap orang disekitar. Hidup itu indah jika dilakukan dengan santai dan penuh bahagia. Dunia begitu indah jika kalian amati dengan hati, banyak warna didalamnya.
Seragam rapi, dasi terpasang dengan benar, rambut hitam segar tak kalah segar dengan muka tampannya. Bulir embun mulai hilang, matahari menyapa dengan cerah pagi ini membuat lebih semangat menggebu untuk menuntut ilmu. Cowok itu bersenandung kecil sambil berjalan, tangannya merapikan poni rambutnya yang jatuh di dahi. Ia melangkah menuju rumah tetangganya, sengaja meninggalkan motor dahulu.
Tenggara sedikit berlari, alisnya menukik tajam seraya mengamati motor sahabatnya yang sudah terparkir di halaman rumah Jingga. Tak jauh dari situ, sosok cowok dengan seragam dan buntalan di tangannya berdiri di depan pintu. Tenggara lantas menghampiri sosok tersebut.
"Ngapain lo pagi - pagi udah di rumah tetangga gue?" Tenggara bersedekap dada, menelisik lawan bicaranya. Baru kali pertama, Lengkara mengunjungi rumah Jingga sepagi ini. Apakah Lengkara tidak akan telat berangkat ke sekolahnya? Atau mungkin, rumahnya memang dekat daerah rumah Jingga. Entahlah, Tenggara malas berpikir terlalu jauh.
"Rumah tetangga lo itu rumah sahabat gue juga!" seru Lengkara. Tadinya, dirinya ingin menemui Tenggara juga, tapi setelah dipikir mungkin lain kali saja. "Lo berangkat sana, ngapain juga pake mampir ke sini?" Mungkin setiap hari Jingga dan Tenggara berangkat bersama, Lengkara tidak tau. Harusnya, dirinya juga memilih sekolah yang sama dengan kedua sahabatnya itu agar setiap hari bisa bertemu. Tapi apa boleh buat, Papa dari Lengkara itu selalu mengaturnya, jauh berbeda dengan Ayah tirinya.
"Woi, ngapain?" Jingga muncul dari balik pintu, ia sudah siap berangkat sekolah. Ia kaget melihat kedua sahabatnya berdiri di depan rumahnya, sempat terdengar perdebatan dan ternyata benar suara itu bersumber dari kedua orang tersebut.
Nyeri di kaki Jingga mulai hilang, ia juga sudah bisa berjalan meski sedikit diseret. Semalam, Ellen sudah memijit dengan telaten menggunakan minyak dengan bau menyengat di indra penciumannya. Suara Jingga hampir hilang ulah dari teriaknya, sakit sekali saat kakinya dipijit apalagi Ellen tidak memperdulikan teriakkannya. Tapi itu berbuah hasil, buktinya sekarang dirinya sudah membaik. Untungsaja Ellen tidak memarahinya tentang kenapa bisa terjatuh.
"Jingga, kaki lo kenapa?" Lengkara mengamati kaki Jingga, ada perban kecil di sana. Jingga tidak mamakai kaos kaki mungkin karena hal tersebut.
"Jatuh," jawab Jingga. Ia sengaja tidak mengabari Lengkara karna dipikir ini masalah kecil, toh sekarangan dirinya tidak apa - apa. Tapi sedikit tidak enak ketika melihat respon cowok itu yang begitu panik.
"Kok bisa?!"
"Panjang, nanti gue ceritain di Telegram."Tenggara yang menyimak lantas membulatkan matanya, ia tidak tahu jika selama ini kedua sahabatnya sering mengirim pesan. Apalagi Jingga, sering Tenggara meminta ID Telegram cewek itu tapi tidak diberitau. Namun, kenapa Lengkara bisa mendapatkannya? Ingin marah tapi tak bisa, ia akan protes saja.
"Kalian sering chat-an di aplikasi biru tapi kok nggak ngajak gue? Apa - apaan ini?!" Tenggara berdecak sebal kemudian mengerucutkan bibirnya, kini dirinya persis seperti Althair.
Jingga dan Lengkara saling menatap kemudian beralih menaatap Tenggara yang bersikap seperti anak kecil, marah karna hal kecil seperti perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Cowok itu berkacak pinggan menelisik kedua sahabatnya, haruskah dirinya memeriksa ponsel keduanya itu agar tau apa yang selama ini dibicarakan? Tidak. Entah mengapa Tenggara menjadi seposesif ini kepada Jingga, padahal mereka sama - sama bersahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Glimpse Of Us
Fiksi RemajaDekripsi menyusul, kalau penasaran langsung baca saja.