Sepi kembali merambat secara perlahan menyelubungi dirinya yang telah duduk di balkon kamarnya. Tidak ada senyum di bibir, matanya juga sendu. Di lantai paling atas rumahnya tepatnya kamar Tenggara ini, membuatnya seakan lebih dekat dengan langit. Di matanya, warna menghilang, kecuali hitam dan putih, lalu kelabu, lalu abu - abu. Ia tidak beranjak dari balkonnya dan membiarkan angin membelai rambutnya yang kelabu, rambut itu menari bersama angin dengan nyanyian sunyi dibawanya.
Matanya menerawang jauh di depannya, deretan rumah mewah, jalanan dan orang - orang seakan lenyap, hanya ada awan, tanaman dan bebatuan. Lampu kota tengah menyala - nyala. Malam begitu jelas ditemani bulan meskipun tanpa bintang, dan oleh karena sinarnya malam menjadi bermandikan cahaya perak yang romantis. Perasaannya masih pilu, miris hingga ingin menangis sampai membuat penjaga malam merunduk.
"Hallo, hot pants lo pink, ya?" kata Tenggara setelah panggilannya terhubung.
Tenggara memutuskan untuk menghubungi tetangganya, mungkin sosok itu bisa menenangkan pikiran dan suasana hatinya yang sedang begitu hancur. Melepaskan seseorang yang sebenarnya masih sangat ingin digenggam is another level of pain. Apakah seseorang juga ada yang merasakan seperti posisi Tenggara?
Ia berharap dirinya bukan satu - satunya manusia yang merasakan hal ini.
"WOI, KOK TAU?!"
Mendengar suara di sebrang dengan nada kencang membuat Tenggara menjauhkan ponselnya dari telinga, ia tidak ingin telinganya pecah dengan cara seperti ini. Tetangganya ini begitu cempreng baik bicara langsung maupun dalam sambungan telepon. Kadang, hal ini membuat Tenggara gemas sendiri melihat kelukannya hingga ingin memasukan roti panggang dalam mulut kecil Jingga agar tidak cerewet lagi.
"Keliatan dari balkon kamar gue." Tenggara masih memandangi kamar Jingga yang terlihat, posisi balkon dan kamar keduanya begitu sama sehingga bisa dengan mudah untuk sekeedar saling menatap.
"Jadi selama ini lo? Argh! Mata genit, mata sapi! Gue doain lo timbilan segede telur puyuh!"
Tenggara tergelak sendiri, mungkin Jingga juga bisa mendengar tawanya lumayan kencang itu. Bisa dibayangkan sekarang Jingga sedang gelagapan dan menutupi seluruh badannya dengan selimut tebal di atas kasur. Atau mungkin, Jingga akan keluar rumah menuju kamar Tenggara dan melayangkan tinjuan kencang pada perut berotot Tenggara. Tidak, jangan sampai itu terjadi.
"Eh, tunggu? Kamar gue emang ada jendela kacanya tapi gorden itu 'kan nggak pernah gue buka? Gue cuma buka pintu kaca balkon dan itu ngarah depan, bukan ke kamar lo? Lo boongin gue anjir?"
Kesadaran Jingga yang lambat ini membuat Tenggara terpingkal, tangannya memegang perut karena tertawa mendengar perkataan Jingga barusan. Benar, kamar Jingga tidak terlihat seperti yang dipikirkannya. Tenggara hanya berbohong soal celana pendek itu, kebetulan tebakannya benar sampai membuat tetangganya gelagapan.
Disadari atau tidak, beberapa menit yang lalu Tenggara telah tersenyum hanya dengan ulah kecil Jingga. Ia melupakan sejenak masalah hubungannya yang telah kandas.
Tenggara masih menatap kamar Jingga namun kini dengan raut wajah yang sendu kembali. "Lo bisa keluar kamar nggak? Ke balkon aja," pintanya penuh harap.
Meskipun tanpa balasan suara, selang beberapa detik saja Jingga telah muncul di balkon sembari melambaikan tangan, Jingga menuju samping balkon untuk melihat Tenggara. Hal itu membuat senyum Tenggara kembali tersungging, cewek berbaju lengan pendek itu meloncat - loncat girang entah apa yang dilakukan. Setelah itu, cewek di sebrang berhenti dari aksinya, sebelah tangannya menopang dagu sambil menatap Tenggara.
"Gue galau," kata Tenggara, ia mengambil kursi plastik tak jauh darinya kemudian didudukinya agar lebih nyaman menatap Jingga.
"Ngapain sih galau?" tanya Jingga. Tetangganya ini harusnya senang, bukannya kemarin tetangganya baru saja balikan? Lalu apa yang harus disedihkan? Atau mereka tidak jadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Glimpse Of Us
Novela JuvenilDekripsi menyusul, kalau penasaran langsung baca saja.