Tangisnya malah pecah di dada bidang Lengkara, bahunya naik turun. Lengkara semakin gelisah, apa yang terjadi pada sahabatnya ini. Tidak berani bertanya lagi, takut tangis itu semakin menjadi. Akhirnya, Lengkara hanya menenangkan dengan mengelus surai lembut milik cewek itu. Semoga, secuil perlakuannya ini dapat menenangkan perasaan sahabatnya.
"Jingga? Heh! Lo apa - apaan sih?"
Tiba - tiba Tenggara datang dan langsung menarik tubuh Jingga hingga terhuyung. Tenggara marah kepada Lengkara yang seenaknya memeluk Jingga hingga lupa bahwa setatusnya hanya sebatas teman di mata Lengkara. Saat nanarnya menatap ke arah kekasihnya, betapa terkejut bahwa mata indah Jingga sudah berair.
Jingga menepis jari yang mencengkram pergelangan tangannya, lumayan sakit, mungkin sudah memerah. Ia berpindah tempat, melangkah ke arah Lengkara membuat Tenggara membulatkan matanya. Tidak peduli jika Tenggara akan merasa tersisih dengan perlakuanya saat ini. Yang jelas, dirinya sedang tidak ingin bersama Tenggara.
"Jingga? Lo kenapa?" Tenggara kembali mengambil tangan Jingga meskipun ditepis kembali, seingatnya hubungannya sedang baik - baik saja. Lantas, apa yang membuat Jingga hingga seperti ini? Atau dia sudah mendengar tadi? Semoga tidak. "Jingga, ayo gue anter pulang, ya?" ajaknya penuh perhatian. Sungguh, ini bukan pengalih rasa bersalah. Tapi dirinya kian bingung dengan sikap Jingga apalagi melihat cewek itu menggeleng. Jadi, benar Jingga sedang marah dengannya?
"Tuh, Dia aja nggak mau sama lo!" semprot Lengkara seakan mewakili suara Jingga yang tertahan di kerongkongan. Melihat cewek di sampingnya menunduk, ingin rasanya ia kembali melayangkan pertanyaan sebelumnya yang belum terjawab. Kembali, ia takut merusak suasana hati Jingga. Lengkara menatap Tenggara dengan nyalang. "Lo sama gue itu sama - sama sahabat Jingga, jadi nggak usah ngelarang buat dia deket sama gue." Lengkara menarik napas kemudian beralih menatap nanar sendu Jingga. "Jingga, balik sama gue, ya?" tawarnya. Jam belajarnya sudah selesai, jadi tidak salah jika ia mengatakan hal ini.
"Nggak! Jingga dateng ke sini sama gue, jadi dia balik sama gue juga."
"Tapi dia nggak mau sama lo njirr!"
Situasi macam apa ini? Kenapa malah kedua sahabatnya berdebat di depannya? Hal ini membuat kepalanya berdenyut nyeri. Tanpa disadari, mereka telah mendapat tatapan heran dari banyak pasang mata yang melewatinya. Jingga sendiri malu, berada di sekolahan lain dan menarik perhatian murid yang tidak dikenalnya. Haruskah dirinya menarik kedua Kuping mereka agar berhenti berdebat? Tidak, karena semenjak suara familiar yang datang membuat mereka menoleh.
"Dua bocah bisa diem nggak? Jingga balik sama gue."
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀૮₍'˶• . • ⑅ ₎ა
"Ngapain tadi nangis? Jelek, jadi ingusan."
"Ihh, bisa diem nggak?!"
Tarikan keras di rambutnya membuat dirinya mengaduh, lumayan nyeri. Kadang takut jika rambutnya itu akan tercabut semuanya karena adiknya sering melakukan hal itu. Hampir setiap minggu, setiap dirinya pergi ke rumah kedua orangtuanya. Tidak bisa dipungkiri, Kakak beradik akan sering bertengkar kecil. Seperti Jingga dan Galaksi. Mengusili Adiknya adalah agenda yang tak boleh terlewati, meskipun rambut kerennya menjadi taruhan. Namun, sebagai seorang Kakak ia sangat tidak mau adiknya disakiti oleh orang lain. Hanya dirinya yang boleh membuat Jingga 'menangis', tidak dengan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Glimpse Of Us
Ficção AdolescenteDekripsi menyusul, kalau penasaran langsung baca saja.