Nyamuk.

40 53 2
                                    

Sunyi menggeliat resah, ada debar gelisah yang mendetak dan juga ribu tanya menunggu jawaban. Masih di sini, duduk kemudian berdiri lagi dan lagi. Tangannya sedikit keram kala beban berat di tangannya tidak pernah berganti posisi. Matanya menelisik ke arah jalan yang  sepi akibat malam mulai larut, menunggu kedatangan gadis dengan rambut panjang datang menghampirinya. Bukan, bukan perempuan berambut panjang dengan gaun butih mengambang.

Tenggara mengamati jam yang bertengger di pergelangan tangannya. Sudah lama dirinya berada di rumah ini, rumah yang terlihat sering sepi akibat ditinggalnya sang penghuni. Keadaan sekitarnya cukup nyaman dan asri, ada banyak pepohonan tumbuh subur dan terawat menghias di taman kecil sebelah pojok. Tempat ini tidak begitu banyak yang berubah, masih sama seperti 7 tahun yang lalu. Hanya ada beberapa renovasi dan pergantian cat dinding.

"Ngunggg."

Suara itu membuyarkan lamunan Tenggara, ia mencari sumber suara yang terdengar sangat dekat. Tapi di mana? Apakah ada makhluk tak kasat mata? Konon, jika suara terdengar jauh maka sebeneranya 'dia' dekat tapi jika suara itu dekat maka 'dia' jauh. Tenggara bergidik ngeri membayangkah hal menyeramkan. Tunggu, apa ada setan dengan suara seperti tadi?

Kepala cowok dengan celana boxer di atas lutut dan hoodie putih oversize itu beralih menatap ke bawah, lebih tepatnya pada lengannya. Ia mendapati sang adik menatapnya dengan cengiran girang, sepertinya bocah itu telah senang membuat Kakaknya ketakutan apalagi melihat raut wajah Tenggara yang tidak bisa menyembunyikan rasa takut.

"Heh, Cil. Ngapain?" Alis Tenggara menukik tajam melihat Althair malah tertawa renyah dengan tatapan polos. Tenggara membenarkan dekapan tubuh mungil adiknya yang mulai merosot karena ulah tak mau diam.

"Amuk!"
"Loh, kok ngamuk? Gue ngapain lo?"
"Amuk ngunggg."

Tenggara menggelengkan kepalanya, didekatinya sang adik kemudian mengecup kening mulus itu meskipun sejurus kemudian Althair mengelap dengan cepat dahinya. Gemas, adiknya itu belum lancar pengucapan membuat Tenggara harus menebak - nebak dulu apa maksud dibaliknya. Ia jadi berpikir apakah dulu dirinya juga cadel seperti ini?  Jika iya, pasti dirinya lebih imut ketimbang Althair.

"Nyamuk, Bang," kata Tenggara seraya mengusap rambut Althair. Ternyata, minyak telon yang dioleskan oleh Senna sore tadi sudah tidak berfungsi untuk menangkis nyamuk nakal mengisap darah adiknya. Memang beberapa kali suara nyamuk seakan berbisik di telinga untuk meminta perijinan mengambil setetes darah pemiliknya. Jika bukan untuk menunggu tetangganya, Tenggara pasti sudah pulang sejak satu jam yang lalu. "Lo kapan gedenya sih? Biar gue nggak bingung tiap lo ngomong." Tenggara menatap bocah tampan didekapannya, mengelus lengan mungil itu agar sedikit menangkis dingin.

Sudah dari kemarin Althair selalu menanyakan keberadaan Jingga, bocah itu juga sering menunggu di teras rumahnya sekedar melihat Jingga keluar atau pergi. Namun, Althair tidak pernah melihat gadis itu padahal dirinya sangat rindu. Althair tidak tau jika tetangganya itu tengah sibuk dengan aktifitasnya, Jingga pernah bilang pada Tenggara bahwa gadis itu akan menginap pada apartement Kakaknya. Mungkin itu juga salah satu sebab jarang terlihatnya Jingga.

Mungkin Tenggara akan membawa adiknya ke rumah Jingga besok, dirinya sudah penat menunggu kepulangan tetangganya. Pun jika Jingga akan pulang malam ini. Dirinya sudah menghubungi lewat sambungan telepon, katanya Jingga akan pulang. Tapi, sudah dari tadi batang hidungnya tak kunjung muncul.

Kaki jenjangnya baru saja maju selangkah, namun sinar keemasan menerpa dirinya dan Althair. Keduanya menatap motor yang baru datang, terparkir tepat di depan Tenggara. Sosok baru datang itu adalah Jingga dan Lengkara. Terlihat mereka membawa buntalan dalam kantong plastik putih berlogo salah satu tempat belanja.

"Dari mana aja jam segini baru pulang?" serbu Tenggara dengan tatapan mengintimidasi. Dirinya sudah seperti seorang suami dengan anak didekapannya yang tengah menunggu pulang istrinya, raut wajah Tenggara pun juga terlihat sangat marah. Itu mendukung perannya sebagai seorang suami posesif. Tenggara membenenarkan posisi gendongan adiknya yang sudah tidak memeluk lehernya. Bocah itu sepertinya ingin menghampiri Jingga.

A Glimpse Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang