Diam.

22 28 17
                                    

"Ngapain lo keliatan gelisah banget? Wah? Jangan - jangan abis bawa kabur anak gadis orang, ya?" tuduh Tenggara.

Hari itu, sore sendu senda, atap langit memerah. Angin di buritan menghempas sayu di pepohonan. Semakin gelap, senja kian menguning sekarang.

Ketika suara ketukan di daun pintu rumahnya menggema, ia lantas membuka dan memberhentikan aktifitas sebelumnya. Kedatangan sosok cowok di kediamannya dengan raut wajah tidak tenang itu membuat sang pemilik rumah berpikir yang tidak - tidak. Meskipun sebenarnya, itu hanya lelucon semata. Tamunya itu terlihat memutar bola matanya malas membuat Tenggara tergelak, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk mengeluarkan sifat absurdnya. Akhirnya, Tenggara mempersilahkan Lengkara yang masih mematung di amabang pintu itu masuk. Tak perlu waktu lama, keduannya kini telah duduk di atas sofa berbalut kain katun di ruang tamu.

Tidak ada sosok Althair maupun Senna saat ini, entah ke mana, Lengkara tak tahu. Suasana tampak hening, berharap degup jantungnya yang masih mendalu itu tidak ikut didengar oleh Tenggara. Kejadiaan menimpanya beberapa menit yang lalu masih memberikan efek serius seperti ini, ulah siapa lagi kalau bukan dari Papa Lengkara — Dereen. Bagi Lengkara, bertemu Derren seperti bertemu setan. Lengkara ingin segera pergi tunggang langgang dari hadapan lelaki itu. Alasannya sepele, ia hanya benci dengan pemikiran Derren. Maaf, jika ini terlihat durhaka.

"Nih, Martabak dari Bokap lo." Akibat terlalu memikirkan soal Derren, hampir saja lupa jika tujuannya mampir ke rumah Tenggara 'kan hanya untuk menyerahkan titipan Arga. Tapi, seketika ia menggigit bibir bawahnya. Kalian tahu apa? Iya, dirinya salah berkata.

Tenggara mengerjap beberapa kali, menatap lawan bicaranya dengan serius. Apa tidak salah dengar dirinya? Ia memang tidak tahu di mana perginya Arga, tetapi kenapa Lengkara menyebut seperti itu? Dari sekian tanya dibenaknya, hanya satu yang berani ia katakan, "Bokap gue atau Bokap lo?"

"Bokap kita." Lengkara tidak berani menatap mata sahabatnya, ia beralih membuka kotak berisi martabak di atas meja. Harumnya menguar di indra penciuman seketika ia mencomot satu potong. "Bokap sapa aja dah!" 

Meskipun pengakuan Lengkara membuat kecurigaannya semakin menjadi, tetapi Tenggara memilih untuk tidak ambil pusing saja. Ia mangganggukakan kepala untuk jawaban sahabatnya sekaligus menghilangkan raut tak percaya yang kemungkinan terlihat dari Tenggara.

"Widih, selai Gedang!" seru Tenggara girang. Dirinya menatap martabak di tangannya kemudian melahap dan kembali mengambil makanan itu dengan cepat.

"Pepaya dong?" Lengkara mengamati martabak di tangannya, ia membuka tumpukan berbahan tepung itu untuk memastikan selai apa di dalamnya. Setelah itu, Lengkara menggeleng cepat tidak setuju dengan ungkapan cowok di sampingnya.

"Pisang goblok! Gedang itu pisang!"

"Yang ngomong Gedang itu Pisang semoga dicaplok Megalodon!"

"Meneng cocotmu sak urunge tak kon nguntal gapuro!"

Memang setiap daerah memiliki bahasa khas masing - masing, setiap menyebut apapun itu pasti ada perbedaan satu sama lain. Semestinya, mereka sadar bahwa saat ini tinggal di negara yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda tapi tetap sama. Namun, akhirnya mereka sama - sama diam sejenak. Tidak diteruskan perdebatan yang tidak ada ujungnya, mereka masih fokus melahap martabak yang masih banyak berjejeran. Lagipula, berdebat di depan makanan itu tidak baik.

Entah, mereka diam karena malas berdebat atau yang terlihat tenang sebenarnya sedang tidak baik - baik saja dan yang terlihat diam namun sebenarnya ia sedang dihantam berbagai masalah.

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

A Glimpse Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang