23. Too poor.

88 12 5
                                    

_______________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_______________________

"Saya lebih miskin. Dari mereka semua."

—KSG
______________________

Sorak sorai penuh tawa dan kekesalan terdengar menggema di satu ruangan berwarna biru navy. Satu ruangan yang berisikan tempat tidur dan teman-temannya, membuat tiga manusia terlihat nyaman menetap di sana.

Tentu saja, ketiga manusia itu adalah Rahagi, Tiyan, dan Hasta. Setelah pulang sekolah, Tiyan dan Hasta langsung berencana bermain di rumah Tiyan sore ini. Tentu saja, keduanya sangat bersemangat akan hal itu.

Terkecuali dengan Rahagi. Pastinya cowok itu harus di paksa atau bahkan di seret dulu oleh kedua teman sengkleknya itu. Setelah seribu satu permohonan dan kompromi yang sangat amat mendalam. Akhirnya, Rahagi bisa mereka bawa ke rumah Tiyan.

Walau sampai mereka di kamar Tiyan, Rahagi hanya diam saja. Tiyan dan Hasta tetap bersyukur. Setidaknya teman mereka yang satu itu memiliki waktu untuk bertingkah laku sewajarnya anak sebaya mereka. Walaupun hanya sesekali.

Sebenarnya Rahagi bukan tidak mau bermain ataupun menikmati masa mudanya. Apalagi menolak bermain atau menamani Tiyan dan Hasta. Yang notabene-nya adalah orang yang paling mengetahui dan mengenal kehidupan Rahagi.

Namun, rasa takut dan khawatir Rahagi pada kakaknya selalu berhasil mengalahkan keegoisan dan hasratnya untuk bersenang-senang. Jika bukan Rahagi yang meng-handle semuanya, siapa lagi yang akan melakukannya?

Rahagi merasa dirinya adalah orang miskin. Yang lebih miskin dari anak-anak yang pernah ia lihat mengemis di jalanan ataupun berpakaian compang-camping.

Semua potret ayah, kakak, dan dirinya yang terpampang jelas di semua media berita. Semua itu bohong. Senyuman lebar yang mereka tampilkan, bahkan tangan ayahnya yang merangkul putra putrinya. Hanyalah sandiwara.

Pakaian mewah? Rumah besar? Kendaraan mahal? Prestasi tinggi? Ribuan pujian? Ribuan rasa hormat? Atau nama besar keluarga Estiawan? Rasanya semua itu kosong bagi Rahagi. Tak ada rasanya. Tak ada yang bisa ia rasakan.

Sejak kecil, semua itu hanya beban bagi Rahagi. Bagai burung merpati yang tak pernah keluar dari sangkarnya. Ataupun tali tambang yang selalu menyayat lehernya. Semua itu sama menyesakkannya.

Selama bertahun-tahun Rahagi menjalani itu semua. Membuatnya semakin terbiasa dengan segala tuntutan, kepadatan, dan kesibukan di hidupnya. Sampai dia sendiri lupa, rasanya tertawa lepas. Rasanya bersenang-senang. Dan rasa bahagia yang sesungguhnya.

Yang Rahagi punya hanyalah Riska. Satu-satunya kakak perempuan yang ia punya. Dengan umur yang tak terpaut jauh, membuat Rahagi tau bagaimana tertekannya sang kakak saat kematian bunda.

Tujuh hari setelah kematian bunda. Tujuh hari itu juga Rahagi melihat dengan mata kepalanya sendiri. Saat Riska di pukuli dengan membabi buta oleh ayahnya. Anak perempuan ringkih yang masih berumur sembilan tahun pada masanya, menerima kekerasan fisik dari ayah kandungnya sendiri.

Kamu Siapa, Giya? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang