2.

378 28 2
                                    

Bunda dan Ayahnya sudah mengeluarkan banyak uang untuk ia bisa masuk ke dunia bulutangkis, masih banyak pengorbanan yang sudah orangtuanya berikan untuk mimpinya di dunia bulutangkis, apakah Adthia tetap yakin ingin menyerah dan melepas karirnya sebagai atlet badminton?

"Makannya habiskan Thalia. Obrolan serius seperti itu bisa dilanjutkan nanti."

Adthia tersadar dari lamunannya saat suara tegas sang Ayah menyapa gendang telinganya. Ingin rasanya ia sedikit tertawa mendengar suara ayahnya yang sebenarnya hanya ditegas-tegaskan, jatuhnya malah terdengar lucu.

Namun karena situasinya serius, Adthia akhirnya fokus melanjutkan makannya, walaupun sebenarnya pemikirannya tetap memikirkan banyak hal tentang keraguan dan mimpinya yang begitu banyak.

Adthia semakin mempercepat kegiatan makannya saat melihat bunda dan ayahnya sudah beranjak dari meja makan. Ia akan mengungkapkan semua yang dirasakannya kepada ayah dan bundanya, dan akhirnya keputusan yang ia ambil akan bergantung terhadap obrolan yang akan mengalir ke mana nantinya.

Besok tentu saja ia harus segera kembali ke klub, karena ia hanya memiliki waktu di libur di hari weekend, itupun di hari sabtu masih ada latihan sampai tengah hari.

"Thian, nanti tolong sekalian simpenin bekas piring kakak ke tempat cuci piring ya, Kakak mau ngobrol sama ayah bunda. Karena kamu gak akan ngerti obrolannya, nanti langsung ke kamar aja ya."

Tanpa harus menunggu jawaban iya dari sang adik, Adthia langsung beranjak dari posisinya dan sedikit berlari menuju ruang keluarga, di mana bunda dan ayahnya berada. Tanpa babibu ia langsung duduk di sofa panjang yang juga diduduki ayahnya, kemudian meletakan kepalanya di paha ayahnya.

"Kak kamu tuh atlet masih aja gak tahu, abis makan gak boleh langsung tiduran kayak gitu." Tegur Fathia saat melihat putrinya yang langsung merebahkan tubuhnya di samping Adnan dengan kepala di paha suaminya itu.

"Gak sering kok bun, kali ini aja mumpung aku deket sama ayah, pasti nanti lama lagi mau kayak gini ke ayah."

"Dasar si anak ayah yang selalu nempel mulu kayak perangko. Memangnya masih mau lanjut badmintonnya? Tadi siapa ya yang minta pendapat gimana kalau lepas karir badminton." Gurau Fathia sembari terkekeh. Sedangkan tatapan putrinya sudah pasti kesal.

Adnan? Pria itu hanya fokus melihat wajah putrinya dengan tatapan sayang sembari terus mengusap lembut kepala Adthia. Seumur-umur nikah, rasanya hampir gak pernah Fathia dilakukan seperti itu oleh Adnan, yang ada malah ditepis duluan karena merasa geli, sama Thalia saja bucin.

"Ayah ikhlas tidak jika Thalia berhenti untuk menjadi atlet badminton?" Tanya Adthia, matanya menatap Ayahnya yang juga sedang menatapnya. Ditatap seperti itu, Adthia merasa beruntung sekali memiliki ayah seperti ayahnya, ah mungkin bundanya yang lebih beruntung karena menikah dengan ayahnya, walaupun ia sudah tahu garis besar pernikahan orangtuanya berawal seperti apa.

"Memangnya Thalia sudah tidak ingin menjadi atlet lagi?"

"Entahlah ayah Thalia bingung. Sejujurnya Thalia masih sangat menyukai badminton, tapi setelah pertandingan kemarin, Thalia ingkar janji ke ayah, rasanya kecewa dengan kemampuan Thalia."

"Rasa kecewa hal yang wajar, ayah juga pernah merasa bosan melukis, bahkan pernah kecewa karena lukisan ayah pernah dibilang jelek sama orang-orang, tapi pada akhirnya ayah selalu kembali untuk melukis. Yang membuat Thalia kecewa adalah ambisi Thalia yang tidak tercapai seperti yang Thalia inginkan. Kalau ayah minta Thalia untuk meneruskan badminton, boleh? Ayah masih ingin melihat putri ayah bermain badminton di lapangan dengan semangat siapapun lawannya."

Adthia terdiam sejenak mendengar permintaan sang ayah. Tentu saja permintaan sang ayah adalah salah satu hal yang tidak pernah bisa ia tolak.

"Asik tontonan series gratis nih. Jadi referensi novel baru bunda kayaknya asik."

"Ck.. bunda ganggu aja, ini lagi serius tahu." Tutur Adthia sembari menatap kesal sang bunda yang sedang tersenyum jail ke arahnya. Padahal bundanya seorang penulis novel, yang seharusnya selalu paham situasi karena sering berimajinasi tentang banyak situasi, tetapi tetap saja jahilnya selalu ada.

"Iya lanjut aja ngomong sama ayahnya, bunda cuman jadi nyamuk kalian aja."

Tanpa menggubris ucapan bundanya, Adthia kembali melirik Ayahnya yang ternyata masih menatapnya, ayahnya bahkan tidak terdistrack ucapan jahil bundanya. Bisa-bisanya ayahnya tahan dengan bundanya yang selalu jahil tak tahu situasi.

"Kalau memang ayah meminta seperti itu, Thalia akan melanjutkan karir Thalia sebagai atlet badminton. Tetapi Thalia minta doa ayah sama bunda ya, supaya ke depannya kemampuan Fathia lebih bagus lagi dan bisa masuk pelatnas."

"Ayah pasti selalu doain Thalia, tanpa perlu Thalia minta."

***

Makan malam sudah.
Mengobrol dengan ayah dan bundanya sudah.
Mempersiapkan beberapa pakaian dan barang yang akan dibawanya besok ke asrama klub, sudah.
Shalat isya sudah.

Rasanya Adthia sudah melakukan kegiatan yang harus dilakukannya malam ini, tetapi matanya belum mengantuk dan ia sudah bingung akan melakukan apa lagi. Ayah, bunda dan adiknya juga pasti sudah masuk kamar, menonton series juga tidak ada yang sedang disukainya. Akhirnya yang bisa ia lakukan beranjak dari kasurnya, menghampiri sudut kamarnya yang terdapat peralatan lukisan di rak kecil. Mungkin disela-sela ia bingung akan melakukan apalagi, melukis adalah salah satu kegiatan yang harus dilakukannya lagi, karena setelah masuk asrama, ia sudah sangat jarang sekali untuk melukis karena dari pagi sampai malam waktunya sudah habis untuk berlatih, jadi sisa waktu yang dipunya hanya untuk makan, shalat dan istirahat.

Adthia memang tidak sejago ayahnya dalam melukis, tetapi setidaknya bisa dibilang ia bisa melukis. Ayahnya tentu saja sudah pernah mengikuti pameran lukisan di luar kota, bahkan pernah keliling Eropa untuk ikut pameran lukisan saja, dirinya? Melukis hanya untuk mengisi waktunya jika kosong. Sebelum fokus di dunia bulutangkis, waktu kecil ia sering minta diajari ayahnya untuk melukis, bahkan nenek dan kakeknya berharap bahwa ia menjadi penerus ayahnya menjadi seniman, tetapi setelah melewati jalan panjang dan berbagai diskusi, akhirnya bulutangkis yang dipilihnya, tentu saja ayah dan bundanya mendukung seratus persen apapun yang dilakukannya.

Di tengah asiknya menggoreskan cat di kanvas, ponsel yang tadi ia letakan di nakas samping meja terdengar berdering, menanandakan sebuah panggilan telpon masuk. Awalnya Adthia coba tidak hiraukan karena ia berpikir pasti ulah teman satu asramanya yang memang jahil sering menelponnya tengah malam, tetapi panggilan terus saja masuk dan tentu saja membuatnya kesal karena kosentrasinya melukis buyar karena suara dering ponselnya. Mau tak mau ia berjalan ke arah nakas di mana ponselnya berada. Alisnya langsung mengerenyit bingung saat mendapati nomor asing tertera di layar ponselnya.

"Assalamualaikum, Adthia?"

"Wa'alaikumussalam. Mohon maaf ini dengan siapa?"

"Kamu lupa sama suara pelatih kamu?"

"Ih mas Ari kirain siapa soalnya nomornya asing. Iya mas ada apa?"

"Besok ada kabar baik yang mau mas sampaikan, jadi pulang ke klubnya jangan sore ya, pagi aja."

"Memangnya kabar baiknya apa mas? Gak bisa langsung diobrolin sekarang?"

"Gak bisa Thia, pokoknya besok harus on time ketemu Mas buat obrolin semuanya. Jam 9 harus udah di kantor. See you besok ya. Assalamu'alaikum."

"Iya mas, siap. Wa'alaikumussalam."

Bersambung

Selesai ditulis pada Sabtu, 28 Mei 2022, pukul 22.39 wib.

See u ^_^

Dia, Adthia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang