14.

85 11 0
                                    

"Oma, itu Om Andi mau ikut juga? 'Kan Thalia udah bilang gak mau dianter sama dia," dengan badan yang dirapatkan mendekati Omanya, Thalia membisikan kalimatnya.

"Oma udah bilangin kok, gak tahu kenapa malah tetep ikut siap-siap."

"Tapi Oma aku--" belum selesai Thalia mengucapkan kalimatnya, bahunya ditepuk dari arah belakang.

"Semua barang kamu udah masuk ke bagasi tuh, gak ada yang ketinggalan 'kan? Yaudah masuk ke mobil."

Thalia hanya menganggukan kepalanya sesaat setelah Kalila menyelesaikan kalimatnya. Ia kemudian melihat bahwa hanya dirinya, sang Oma, dan Andi yang masih berada di luar mobil, sedangkan keluarga Kalila sudah duduk rapih di mobil.

Thalia bersandar pada mobil sebentar, menyaksikan Omanya yang terlihat berdebat dengan Andi, entahlah apa yang diperdebatkan, tapi Thalia sudah tentu dapat menebak apa permasalahannya.

Thalia menghampiri kedua orang yang masih terlibat perdebatan, tangannya menepuk pelan bahu sang Oma,
"Oma masuk duluan, biar aku yang bilang ke Om Andi."

Bundanya, Tantenya, bahkan Omanya tidak digubris oleh Andi, dan Thalia tidak menyukai hal itu.

"Kehadiran om tuh ganggu banget tahu gak? Nyadar gak sih? Mending kayak sebelumnya aja om, kita gak saling kenal, om gak perlu ikut campur hal tentang aku, meskipun itu cuman anterin aku ke asrama. Jangan merasa kamu omku, dari dulu kita baik-baik aja tanpa kehadiran om, kenapa sekarang malah maksa mau deket seenaknya?" Thalia tak peduli jika omongannya menyakiti kakak dari ayahnya itu, ia kesal melihat orang keras kepala yang ada di hadapannya saat ini. Entah rasa kesal dan benci itu hadirnya dari mana, seperti meluap dari hati Thalia, tetapi Thalia tidak memperdulikan kenapa seperti itu.

Tanpa menunggu jawaban, Thalia langsung melangkah dengan cepat memasuki mobil, dan menutup pintunya dengan sekuat tenaga, "Langsung jalan aja,  Om." perintah Thalia kepada suami Kalila yang sudah siap di belakang kemudi.

Entahlah Thalia merasa tidak nyaman dan sebal berada di sekitar Omnya yang tidak jelas itu. Tidak pernah dekat, ketemu bisa dihitung jari selama Thalia hidup, tiba-tiba saja ingin berkontribusi dalam hidupnya, tentu saja Thalia tidak ingin menerima sedikitpun aksi Andi dalam hidupnya.

"Kenapa kamu segitunya sama Andi, Thal? Gimana 'pun itu om kamu loh,"

"Berhenti bicarain dia ya Oma, Thalia gak suka." setelah mengucapkan kalimatnya, Thalia memilih mengambil earphone-nya dan memakainya. Thalia sedang tidak mau diajak mengobrol, mood-nya sudah buruk, entahlah ia juga bingung kenapa harus merasa seperti ini.

***

"Boleh gabung gak?"

"E–eh, iya boleh." lamunan Thalia buyar seketika, dan ia hanya dapat tersenyum setelah mengeluarkan kalimat singkatnya. Kemudian ia meneruskan kegiatan makannya yang tertunda karena melamun.

Kantin asrama sedang tidak terlalu ramai, tapi entah mengapa Natya memilih untuk duduk satu meja dengan Thalia.

"Aku boleh nanya sesuatu gak, Thal?"

Thalia yang tengah asik mengunyah makanannya, hanya dapat menganggukan kepalanya menanggapi ucapan Natya.

"Bunda kamu hiatus dari buat novel, katanya belum tahu sampai kapan hiatusnya, tapi kok kayak tiba-tiba banget ya? Padahal sebelumnya bilang lagi garap 2 apa 3 novel gitu, agak lupa aku,"

Dahi Thalia tentu saja mengerenyit bingung, ia juga baru tahu bahwa bundanya berhenti menulis novel untuk sementara waktu. Apalagi bundanya juga jarang membahas tentang pekerjaannya kepadanya.

"Emang iya? Aku gak tahu sama sekali, bunda juga gak ada bilang apa-apa kok."

Terdengar desahan kecewa dari bibir Natya. Tentu saja Thalia paham bagaimana perasaan Natya yang merupakan penggemar novel karya bundanya itu harus menerima keputusan bundanya yang tiba-tiba.

Meskipun bundanya jarang sekali membicarakan novel-novel karyanya, tetapi beliau selalu tak lupa untuk berbagi sedikit cerita kepada Thalia jika ada novel yang akan naik cetak ataupun best seller. Thalia selalu senang melihat bundanya yang masih sering excited membicarakan novel-novelnya, padahal beliau sudah mencetak belasan novel.

"Padahal aku udah nabung dan excited nunggu karya bunda kamu, ternyata sekarang malah mau hiatus dan beliau gak jelasin alasannya kenapa harus hiatus,"

Thalia melirik Natya yang terlihat lesu dan hanya mengaduk makanannya tanpa minat. Meskipun ia paham mengenai perasaan Natya, tetapi memang harus menyayangkan sebegitunya ya saat mendengar penulis kesukaannya hiatus? Paham bukan berarti Thalia pernah merasakan hal tersebut.

"Maaf ya, aku kurang tahu. Nanti deh aku tanyain bunda. Kemarin itu ayahku masuk rumah sakit, jadi mungkin waktu bunda ke ganggu banyak untuk kehidupan dan pekerjaannya. Nanti deh aku tanyain ke bunda alasannya, khusus buat kamu."

Sedikit sunggingan senyum Thalia terima dari Natya, teman satu kamarnya itu mulai memiliki sedikit semangat untuk menikmati makanannya kembali.

"Makasih banyak ya, maaf kalo ngerepotin karena aku suka banget sama karya-karya bundamu. Salamin ya nanti."

***

Thalia menyunggingkan senyumnya saat melihat layar ponselnya yang menampilkan  sang ayah yang sedang beristirahat di kasurnya. Ia bersyukur ayahnya sudah pulang dari rumah sakit.

Sesaat setelahnya, sang bunda langsung menampakan wajahnya dan terlihat berjalan keluar dari kamar.

"Udah ya jangan kepikiran lagi, ayah udah sehat kok, tinggal pemulihan aja. Sekarang kakak fokus sama tujuan kakak, latihannya yang serius, kasian partner mu kalau kamu banyak gak fokus latihannya."

Thalia menganggukan kepalanya,
"Oh iya bun, ada yang mau aku tanyain. Natya bilang bunda hiatus dari nulis novel, kenapa? Dia sebagai penggemar setia novel-novel bunda sedih lo, katanya dia udah nabung buat beli karya bunda selanjutnya."

"Iya, bunda mau hiatus dulu. Semakin sering karya seseorang laku di pasaran, semakin tinggi juga tuntutan untuk terus membuat banyak karya, dan jujur sekarang udah agak sedikit kewalahan karena Naufal 'kan mulai masuk TK. Ayah kamu beberapa kali masih suka ada pameran, jadi bunda mau fokus dulu ngurusin keluarga, kalau nanti bunda udah ngerasa bisa menyesuaikan dan bagi waktu, baru deh nyoba nulis lagi. Sampaikan maaf bunda ya ke temenmu,"

Thalia hanya menganggukan kepalanya, tentu saja ia teramat paham dengan kesibukan bundanya. Mungkin saja bundanya juga tidak ingin melewatkan mengantar dan melihat Naufal bersekolah, meskipun sebenarnya Naufal bisa diantar jemput pengasuhnya.

"Siap bun. Oh iya, nanti kalau ayah udah bangun, bilangin Thalia kangen dan sayang banget sama ayah. Sering-sering juga nanti kabarin Thalia mengenai hal apapun, jangan ada yang disembunyiin kayam kemarin lagi. Thalia bakal marah banget kalau bunda dan yang lainnya kayak kemarin. Kalau kejadian kayak gitu lagi, Thalia gak mau pulang deh," terdengar nada yang sedikit ketus dari Thalia, padahal itu hanya ia buat-buat saja karena masih sedikit kesal teringat kejadian saat ia tidak diberitahu jika ayahnya tengah sakit.

Terdengar kekehan dari bundanya,  "siap bu bos, nanti bunda sampaikan kepada ayah kalau kakanda sudah bangun dari tidurnya."

Tawa Thalia langsung pecah saat mendengar nada baku dari bundanya, terdengar aneh dan tidak cocok sekali.

"Bunda ih! Diinget ya tadi kata-kata aku apa, itu bukan gertakan biasa loh."

"Insyaallah, tapi emangnya kamu bisa nahan buat gak pulang ke sini? Sok ngancem, padahal kalau tiap minggu bisa pulang bakal dijabanin tuh kayaknya,"

Thalia pura-pura kesal mendengar ucapan bundanya, ia memasang ekspresi sekesal mungkin walau terlihat ketara dibuat-buat.

"Iya, bunda bakal inget kok. Sehat-sehat ya sayang. Fokus terus sama tujuan dan mimpi-mimpi kamu, ditunggu medali-medali lain yang mau dibawa pulang ya."

Bersambung

Selesai ditulis pada hari Rabu, 29 Mei 2024, pukul 04.18 wib.

Aku agak lupa punya kewajiban next ini, maafkan hehe. Ternyata masih ada yang nunggu juga cerita ini, pdhl terakhir aku nulis pas desember thn lalu, skrg udh mei akhir:"

Dia, Adthia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang