7.

195 22 6
                                    

"Gimana persiapan berangkat tandingnya?"

"Capek banget bun, program latihannya bener-bener ekstra. Tapi ya konsekuensi Thalia juga yang milih berkarier menjadi atlet."

Tanpa perlu Fathia tanya, sebenarnya tentu saja ia mengetahui bagaimana putrinya berlatih dan bersiap untuk pertandingan karena hampir setiap hari Adthia menceritakan kegiatannya, tetapi saat ini memang ingin mendengar putrinya bercerita secara langsung, seperti biasanya.

"Tapi kamu gak tertekan dan gak ngerasa kenapa aku harus lakuin ini sih, bla..bla?"

Dengan cepat Adthia langsung menggelengkan kepalanya, kemudian beberapa detik setelahnya langsung menyunggingkan senyumannya.

"Alhamdulillah mau selelah apapun latihannya, Thalia enjoy dan seneng banget jalaninnya. Pelatihnya juga baik banget, selalu ngasih tahu apapun yang mungkin Thalia sedikit kurang bisa, hal-hal kecil pun dijelasin secara detail kalau memang diperlukan. Teman-teman dan para senior di asrama juga baik-baik banget, sering sharing pengalaman dan ilmu yang mereka miliki, apalagi jam terbangnya udah tinggi. Pengennya sih mau ketemuin mereka sama bunda, apalagi beberapa ada yang suka baca novel bunda, kayaknya mereka kaget sama seneng deh kalau ketemu bunda."

Fathia tak bisa lagi menahan senyumnya, ia senang mendengar putrinya bisa menerima dengan baik kehidupan barunya, walaupun tentu saja di bulan-bulan awal putrinya berada di Pelatnas, beberapa kali mengadu bahwa Adthia rindu rumah dan hanya bisa menangis saat video call

"Semoga nanti pertandingannya dilancarkan, gak ada cidera. Apapun nanti hasilnya, Thalia harus lapang dada terima karena ini baru debutan awal ya. Tapi tetep harus dipenuhi mental yang kuat dan semangat juang yang tinggi, ya."

"Aamiin, pasti bun."

Keheningan terjadi beberapa saat setelah Adthia mengucapkan kalimat singkatnya. Ia kemudian melirik ayahnya yang sedari tadi hanya diam menyimak obrolan sembari menatapnya, tetapi tidak ikut menimbrung.

"Ayah tidak rindu dengan Thalia?"

"Tentu saja rindu."

"Kenapa diam saja, tidak ikut mengobrol bersama Thalia dan bunda?"

"Melihat Thalia berbicara dengan senang sudah cukup untuk ayah."

Fathia menghela nafasnya berpura-pura sibuk mengipas-ngipaskan telapak tangannya di atas tubuh Naufal yang sedang tertidur, berpura-pura ada nyamuk ataupun lalat yang mengganggu putranya tertidur, karena ia malas melihat ke-uwu-an Adnan dan Adthia yang akan segera dimulai karena melepas rindu sudah lama tidak bertemu.

***

"See you kakak! Semangat ya latihannya, nurut sama pelatih, sama senior."

Adthia menganggukan kepalanya lalu tersenyum saat sang bunda menggerak-gerakan tangan adiknya untuk dadah kepadanya yang sudah berdiri di dekat gerbang masuk Pelatnas.

"Dadah bunda, ayah, Naufal see you!"

Hampir satu menit Adthia hanya diam berdiri mengamati mobil yang keluarganya tumpangi mulai berjalan menjauh. Setelah mobil yang diperhatikannya hilang dari pandangan, ia segera bergegas beranjak dari posisinya. Kemudian ia menyapa pak satpam yang berjaga di pos satpam yang tak jauh dari posisi gerbang.

Selama perjalanan menuju asramanya, ia beberapa kali berpapasan dengan atlet lain dan ia hanya bisa tersenyum menyapa basa-basi saja karena beberapa ada yang belum Adthia kenal.

"Ketemu gak Thi sama penulis buku Dia Adnan?"

Adthia yang baru saja membuka pintu kamar asramanya agak sedikit kaget mendengar ucapan Natya yang agak lantang dari dalam kamar.

Dia, Adthia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang