15.

107 5 0
                                    

Sebenarnya, tak banyak yang bisa diceritakan mengenai kehidupan atlet, apalagi atlet badminton. Karena memang kehidupannya monoton, rutinitas yang dilakukan juga terus seperti itu, jarang sekali ada yang berubah.

Jika boleh Thalia jabarkan bagaimana kehidupan sehari-seharinya menjadi atlet nasional tim Indonesia, ya runutannya hanya berulang dan seperti itu saja.

Di hari senin, terkadang ada evaluasi untuk perkembangan dan kekurangan di latihan minggu-minggu sebelumnya, biasanya evaluasi dilakukan satu sampai dua kali dalam satu bulan, bisa lebih jika pertandingan internasional tengah beruntun.

Jika ada evaluasi, semua atlet ganda putri harus tiba di tempat latihan pukul setengah tujuh pagi. Jika tidak ada, latihan dimulai pukul 7 pagi.

Mengapa disebutkan atlet ganda putri saja? Karena memang Thalia hanya tahu sektornya saja. Meskipun mungkin jadwal latihan antar sektor sama, tetapi mekanisme penjadwalan kapan latihan fisik , kapan latihan bermain ditentukan oleh kepala pelatih sektor masing-masing, jadi setiap sektor terkadang ada yang memilki jadwal yang sama, ada yang memiliki jadwal yang berbeda.

Menyambungkan jadwal, biasanya latihan dimulai dengan pelatihan fisik dengan berlari dan jogging di arena lari. Tentu saja pace berlari sudah ditentukan oleh pelatih. Waktu yang dilakukan bisa 30 menit sampai satu jam. Setelahnya dilakukan latihan fisik lain seperti latihan otot yang dipimpin pelatih fisik, ataupun pergi ke gym. Lalu setelahnya pada pukul setengah 11 atau jam 11 beristirahat sampai pukul 2 siang.

Dari pukul 2, kembali berlatih, biasanya latihannya memfokuskan kelebihan-kelebihan yang dimiliki pemain. Mulai dari berlatih drilling, penempatan-penempatan shuttlecock di tempat yang sulit dijangkau lawan, sampai menerapkan strategi permainan harus seperti apa. Lalu setelahnya bermain melawan pasangan lawan, atau terkadang berganti pasangan. Latihan selesai pukul lima atau bahkan menjelang magrib. Setelahnya, pukul 7 malam kembali berlatih 2 sampai 3 jam.

Sehari tiga kali berlatih, tetapi jika ada kejuaran tertentu yang cukup bergengsi, biasanya latihan bisa dilakukan lebih dari 3 kali dalam sehari, atau porsi latihan sama 3 kali dalam sehari, tetapi ada beberapa atlet yang berinisiatif meminta porsi latihan tambahan kepada pelatih jika dirasa ia masih mampu untuk berlatih.

Hari-hari Thalia seperti itu, monoton sekali bukan? Kadang berlatih di lapangan, kadang di gym, kadang di arena berlari, kadang di kolam renang, kadang berlatih di atas pasir. Semuanya harus dilakukan untuk menunjang endurance dan performanya sebagai atlet.

Jika Thalia pernah ditanya apakah ia pernah bosan menjalani keseharian yang siklusnya hanya seperti itu saja? Tentu Thalia akan menjawab ia pernah merasakan bosan dan jenuh karena melakukan keseharian yang terjadwal dan itu-itu saja. Tetapi tentu saja itu konsekuensi seorang atlet, atlet apapun bukan hanya atlet badminton.

Sebelum akhirnya berada di sini, orangtuanya juga sudah berkali-kali bertanya apakah ia yakin ingin menseriusi dunia atlet? Apakah ia yakin harus jauh dari keluarga? Apakah ia menerima jika hampir seluruh kehidupannya hanya terfokus dengan olahraga? Apakah ia tidak apa-apa jika kegiatan sosialnya tidak seperti orang di luaran sana? Apakah ia tidak papa jika waktu dengan keluarganya sangat sedikit? Banyak sekali pertanyaan dan tantangan yang harus dihadapi sebelum sampai di titik ini tentu saja, dan Thalia menyanggupi semuanya walaupun ia lewati dengan tidak mudah.

Semua pekerjaan tentu memiliki resiko dan konsekuensinya masing-masing. Thalia memilih karirnya menjadi atlet badminton tentu saja bukan dengan pertimbangan satu dua kali saja, berkali-kali ia banyak berdiskusi dengan keluarganya. Semuanya tidak semulus yang orang kira, berlatih di klub lalu masuk pelatnas, tentu tidak semudah itu.

Meskipun ia teramat menyukai olahraga yang tengah digelutinya, tetapi Thalia juga manusia biasa yang pernah merasakan ingin berhenti untuk mengubur mimpinya karena banyak kegagalan yang menghampiri. Mulai dari cidera, kalah pertandingan, perdebatan dalam berpartner, dan lainnya harus dihadapi dengan mental yang luar biasa. Jika bukan karena dukungan orangtuanya yang gigih dalam memberikan support, dan keinginan dan cita-citanya mencetak banyak sejarah untuk Indonesia di kancah internasional, tempat Thalia mungkin bukan di sini. Bukan hal tabu dalam dunia atlet, semua yang dirasakan Thalia, ya meskipun setiap atlet memiliki struggle yang berbeda-beda.

Tak hanya teknis yang harus dikuasai Thalia, faktor-faktor non teknis seperti psikologis, fokusnya, pikirannya, dan lainnya juga harus sangat Thalia jaga supaya tidak mempengaruhi performanya di lapangan. Karena terkadang sebagus apapun teknik dalam bermain badminton, tetapi pemikiran kita sedang runyam dan malah berperang dengan pemikiran diri sendiri, yang ada permainan akan kacau dan teknik-teknik yang sudah dilatih tidak akan keluar saat bermain, ujungnya bisa saja kalah. Pelatih dan partner kecewa dengan permainan yang tidak dapat melampaui ekspektasi.

Itulah kenapa keluarganya kemarin sempat menyembunyikan kabar sang ayah masuk rumah sakit, karena tidak mau mengganggu fokus Thalia yang sedang akan mempersiapkan diri untuk mengikuti rangkaian Asia Tour, mulai dari super 300 sampai super 750, yang akan dilaksanakan satu minggu lagi.

Jika menyangkut keluarganya, terutama Ayahnya, Thalia memang sering kali memiliki rasa khawatir yang berlebih, apalagi ia jauh dan tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi tentu saja ia juga sudah bisa mengontrol perasaan dan pemikirannya supaya tidak mengganggu performanya. Thalia hampir selalu bisa mengatasi, karena bukan satu dua tahun saja ia menjadi atlet, lebih dari separuh umurnya ia menjadi atlet. Tetapi tentu saja teramat bohong jika rasa khawatirnya jika mendengar kabar kurang sedap dari keluarganya tidak mempengaruhi performanya sama sekali.

Meskipun ia yakin bisa mengatasinya, terkadang 5 sampai 30 persen hal tersebut bisa sangat mempengaruhi.

Ya begitulah kehidupan atlet. Hanya itu-itu saja, monoton, tetapi tentu saja harus punya mental yang kuat untuk menjalaninya. Tanggung jawabnya juga teramat besar karena membawa nama negara. Apalagi jika orang-orang sudah mengetahui prestasinya, maka tanggung jawabnya semakin berat karena banyak ekspektasi orang-orang kepadanya untuk terus berprestasi terus menerus. Pada akhirnya, ekspektasi dan harapan-harapan itu menjadi tekanan yang harus Thalia kuasai supaya tidak merusak ekspektasinya juga dalam menghadapi pertandingan.

Padahal jika ditelaah, dalam sebuah permainan, menang dan kalah itu sudah hal yang lumrah karena adanya persaingan. Begitupun di dunia badminton, turun naik performa atlet dan menang kalahnya, semuanya hal yang wajar dan lumrah terjadi, ya meskipun semua atlet tentu ingin terus konsisten untuk meraih prestasi.

Jika kegagalan didapat karena kalah di babak-babak tertentu, terkadang bukan support yang didapat sang atlet, melainkan cacian, makian dan bahkan bully yang memenuhi sosial media pribadi sang atlet. Padahal siapa sih yang mau kalah? Semua atlet tentu saja ingin meraih banyak prestasi, tetapi tentu saja yang juara yang bisa mengeluarkan permainannya secara luar biasa, bisa memaintain ekspektasinya, bisa konsisten dengan permainannya, dan bisa menanggung pressure yang luar biasa itu.

Yang mencaci maki seorang atlet ya mungkin karena sudah berekspetasintinggi akan hasilnya, tetapi tidak sesuai harapannya, yang berakhir rasa kecewa yang luar biasa menguasai, sehingga ucapan dan ketikan tidak terkontrol.

Jika boleh dijabarkan, sebagai penonton saja sakit hati dan kecewa melihat atletnya kalah 'kan? Apalagi atletnya sendiri, ia juga tentu sangat sedih akan hasil yang tidak sesuai dengan ekspektasinya, tetapi tentu saja atlet tidak perlu tunjukan itu kepada publik.

Mengkritik itu teramat diperbolehkan, tetapi gunakan kata yang baik dan benar yang sesuai dengan kekurangannya, jangan melebar ke mana-mana dan bahkan malah menyerang hal yang tidak ada kaitannya.

Meskipun prestasi Thalia belum sementereng senior-seniornya yang sudah banyak mencetak prestasi di kancah internasional, tetapi kini ia juga mulai disoroti penikmat bulu tangkis tanah air karena menjadi partner baru Arabella.

Followers sosial medianya juga sudah bertambah cukup lumayan, dan terkadang kolom komentarnya postingannya pun sudah tidak seramah dahulu. Ada saja bully yang terselip karena mungkin bagi mereka permainannya sangat tidak sesuai dengan keinginan mereka. Tetapi tentu saja Thalia harus mengabaikan hal tersebut, walaupun tidak bohong terkadang ia juga sakit hati karena bully tersebut, karena saat masih bermain di kelas junior jarang sekali ada yang mem-bully-nya di sosial media.

Tetapi lagi-lagi ya itulah konsekuensi lain menjadi seorang atlet, di tengah perkembangan pesat sosial media. Bahkan atlet yang sudah menyumbang banyak medali kejuaran bergengsi pun, jika ada kalanya performa sedang tidak baik, tetap mendapat caci maki dan bully, dan seolah-olah prestasi-prestasi gemilang yang sudah diraih sebelumnya, tidak berarti apa-apa karena dituntut harus terus berprestasi di setiap turnamen.

Bersambung

Selesai ditulis pada hari Rabu, 29 Mei 2024, pukul  05.23 wib.

Maaf kalau mungkin part ini gak nyambung sama part sebelumnya, dan bertele-tele, ini hanya menyampaikan bagaimana kehidupan atlet dari sudut pandangku sebagai pengamat.

Dia, Adthia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang