"Match game won by DKI Jakarta, twenty one sixteen, eighteen twenty one, and twenty one nineteen."
Adthia menghela nafasnya penuh dengan rasa kecewa dan perasaan bersalah. Ia dan pasangannya harus kalah dengan poin tipis dari pasangan perwakilan DKI Jakarta. Pertandingan ini adalah penentuan untuk bisa masuk ke dalam pelatnas*, jika kalah, sudah tentu tiket masuk pelatnas hangus, padahal itu salah satu mimpi Adthia.
"Maaf ya kak belum bisa ngasih hasil yang maksimal." Lirih Adthia kepada pasangannya di lapangan, Alana Salfina, saat ia melangkah keluar dari lapangan.
Adthia hanya bisa menundukan kepalanya di saat riuh sorak-sorai pendukung masih memenuhi lapangan. Ia bahkan merasa enggan untuk melirik ke arah tribun penonton, di mana Ayah, Bunda, dan Adiknya menyaksikan pertandingannya di sana. Ia terlalu takut untuk melihat raut wajah orang-orang yang dicintainya karena telah memberikan hasil yang mengecewakan untuk mereka.
Adthia langsung mendudukan tubuhnya dengan kasar di lantai saat langkahnya baru saja sampai di ruang tunggu atlet. Ia segera meraih handuk dari tas raketnya, kemudian membenamkan wajahnya di handuk, menumpahkan air mata yang sedari tadi coba ia tahan.
Hasil pertandingannya tadi tentu saja bukan keinginan dan harapannya, tetapi tadi ia bermain semampu dan sekuat yang ia bisa. Untuk bisa masuk ke pelatnas adalah salah satu mimpinya untuk membuatnya semakin berkembang dan melebarkan sayapnya di dunia bulutangkis, tetapi baru berjuang di tingkat nasional saja ia sudah merasa kepayahan, bagaimana nanti jika menghadapi top rangking dunia?
"Thalia, hei!"
Adthia mendongakan kepalanya saat namanya merasa dipanggil seseorang. Ternyata, tak jauh dari posisinya ada keluarganya yang sedang menatapnya. Tangisnya semakin deras saat melihat wajah Ayahnya, ditambah ingatan tentang janjinya kepada sang Ayah bahwa ia akan memenangkan pertandingan final hari ini.
Adthia langsung bangkit dari posisinya saat melihat sang Bunda merentangkan tangannya, ia segera memeluk dengan erat bundanya dan menumpahkan tangisnya di pelukan sang Bunda.
"Bunda, maaf Thalia--"
"Gak perlu minta maaf sayang, kamu udah keren banget kok tadi, hanya saja memang belum rezeki kamu. Thalia sudah sangat hebat bisa melangkah sejauh ini sama Alana. Kecewa hal yang wajar sayang, tapi jangan sampai menyalahkan diri kamu karena hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kamu. Allah pasti sudah menyiapkan hal baik di depan sana buat Thalia, jadi jangan patah semangat ya."
Mendengar tutur kata sang Bunda, malah membuat Adthia semakin sesegukan dan menangis di dada bundanya. Meskipun Bundanya tidak kecewa terhadap hasil yang diberikannya, tetapi tetap saja rasa kecewa terhadap diri sendiri masih begitu besar melingkupi benaknya.
"Jadikan pertandingan hari ini sebagai pelajaran supaya lebih baik lagi ke depannya, ya."
Fathia mengusap kepala putrinya dengan lembut, mencoba menenangkan Adthia. Tentu saja hasil pertandingan tadi sedikit sulit untuk diterima putrinya, apalagi mengingat ambisinya untuk bisa masuk pelatnas.
Setelah beberapa belas menit Adthia menangis di pelukan Bundanya, akhirnya ia sudah bisa meredakan tangisnya dan melepas pelukan bundanya.
Adthia melirik ke arah kanan, di mana Ayahnya tengah berdiri dan menatapnya. Senyumnya yang begitu tulus terpancar di bibirnya. Melihat itu, rasanya Fathia ingin kembali menangis seperti tadi. Tanpa perlu diminta, Ayahnya sudah merentangkan tangan mengisyaratkan untuk Adthia masuk ke dalam pelukannya.
"Ayah, Thalia gagal, Thalia gak bisa nepatin janji Thalia ke Ayah."
"Enggak kok, Thalia putri Ayah Adnan sudah hebat sekali. Jangan sedih ya, Ayah yakin Thalia akan mendapat hal yang lebih dari ini."
"Terima kasih Ayah, Thalia sayang sekali sama Ayah."
***
"Kak, ayo makan dulu."
Adthia melangkahkan kakinya dengan malas untuk membuka pintu kamar.
"Ayo makan, ayah nunggu. Ini waktunya kamu quality time sama Bunda, Ayah, nanti kalau udah balik lagi ke klub kan susah kita ketemunya."
Adthia hanya menganggukan kepalanya, kemudian mengekori bundanya untuk menuruni tangga menuju ruang makan.
Di meja makan, ternyata sudah ada ayahnya dan adiknya, jadi memang hanya Adthia yang belum turun. Adthia langsung menempati kursi di samping ayahnya, yang selalu menjadi tempat favoritnya ketika makan bersama.
"Terima kasih, Bun, sedikit aja nasinya." Ucap Adthia saat Bundanya baru saja menaruh nasi di piringnya.
"Bunda masak makanan kesukaan Thalia loh, Telur ceplok balado sama ayam semur. Kamu yang banyak ya lauknya, ayah yang kasih."
Adthia hanya menganggukan kepalanya mendengar ucapan ayahnya yang excited ingin menuangkan lauk di piringnya.
"Inget gak kak dulu waktu kecil kamu suka minta bunda masakin ayam semur tiap hari? Sampai ayah bosen sekali makannya. Kalau sekarang, setelah kamu jauh, malah ayah yang sering suruh bunda untuk masak ayam semur biar rindu ayah ke kamu sedikit terobati."
Adthia tentu saja terharu mendengar ayahnya berucap seperti itu. Meskipun orang-orang menganggap ayahnya berbeda, tetapi baginya Ayahnya adalah ayah terbaik untuknya.
"Maaf ya ayah, karena Thalia milih badminton, ayah malah jadi sering rindu Thalia. Tapi Thalia cuma ingin menorehkan prestasi untuk membuat bangga Ayah, bunda dan negara."
"Ayah sudah dengar itu puluhan kali, jadi stop bilang seperti itu Thalia. Sekarang makan yang banyak dan jangan berbicara."
Adthia menyunggingkan senyumnya saat sang ayah mengusap ujung kepalanya dengan lembut, salah satu usapan yang selalu ia rindukan ketika ia di asrama.
"Bun, kalau misalkan Thalia berubah pikiran buat gak nerusin bulutangkis buat lanjut sekolah reguler, gimana?"
Fathia menghentikan makannya, menatap putrinya bingung, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Memangnya kenapa? Kamu yakin buat melepas hal yang kamu sukai dan latih dari kecil? Apapun hal yang kamu inginkan selama itu yang terbaik buat kamu, bunda dukung kok."
"Enggak kok, cuman tanya aja. Setelah kalah kemarin rasanya semangat Thalia kayak patah aja, walaupun sebenarnya rasa suka Thalia ke badminton masih sangat besar."
"Bunda sih gimana kamu aja. Cuman kayaknya bunda wajib mengingatkan deh, gimana kamu bercerita tentang mimpi kamu untuk masuk ke rangking 10 besar dunia di ganda putri, bisa dapat emas kedua olimpiade untuk ganda putri Indonesia setelah idola kamu, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, dan masih banyak mimpi kamu yang lain di bulutangkis, yakin mau lepas gitu aja?"
Adthia termenung sebentar, mencoba mencerna lebih dalam ucapan bundanya. Tentu saja ia jadi terbayang ketika ia begitu semangatnya bercerita soal mimpinya di bulutangkis kepada Bunda dan ayahnya, apakah pemikirannya selama semalaman untuk meninggalkan bulutangkis adalah langkah yang tepat?
Bunda dan Ayahnya sudah mengeluarkan banyak uang untuk ia bisa masuk ke dunia bulutangkis, masih banyak pengorbanan yang sudah orangtuanya berikan untuk mimpinya di dunia bulutangkis, apakah Adthia tetap yakin ingin menyerah dan melepas karirnya sebagai atlet bulutangkis?
Bersambung
Pelatnas = Pusat Pelatihan Nasional.
Selesai ditulis pada Sabtu, 28 Mei 2022, pukul 21.47 wib.
(Ada yg gak ngeh gak ya cerita ini di up sebelum Dia, Adnan tamat?)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Adthia.
Chick-Lit[Spin off Dia, Adnan]. Jika ditanya mengapa pada akhirnya Adthia memilih menekuni bulutangkis, maka ia akan menjawab bahwa ia mencintai olahraga itu dari pertama kali ia melihatnya di televisi, meskipun jatuh bangun ia mempertahankan performa permai...