16.

75 9 1
                                    

"Mau dibawain oleh-oleh apa bun? Tanyain Naufal juga, ya."

"Oleh-olehnya medali aja kak, boleh gak? Hahaha. Yang semangat ya kak latihannya, ayo juara lagi."

Sebelum menjawab pertanyaan dari bundanya, Thalia melirik ke arah depan, untuk memastikan bahwa teman-teman atletnya yang lain masih ada di pandangannya. Ia takut tertinggal saja. Ia memang melakukan videocall dengan bundanya sembari berjalan kaki menuju arena latihan. Apalagi ia sedikit kesusahan berjalan, karena jalanan yang dipijaknya licin akibat salju yang turun.

Setelah dirasa aman, ia kembali memfokuskan pandangannya ke ponsel. "Insyaallah bunda, tapi Thalia gak bisa janjiin. Ayah mana bun? Belum makan siang emang jam segini?" tanya Thalia memastikan, karena perbedaan waktu Indonesia dengan Swiss adalah 5 jam. Sementara di sini ia baru memulai paginya untuk berlatih sebelum besok bertanding di hari pertama.

"Biasalah, kalau lagi fokus ngelukis susah diganggu. Oh iya, kalau udah sampai Hall matiin aja langsung telponnya, gak perlu pamit, bunda mau siapin makan siang dulu, udah mateng ini."

Thalia hanya mengangguk mengiyakan, meskipun muka Fathia sudah tidak terekam di layar ponselnya.

Tiba-tiba gambar sop iga yang masih mengepul di panci memenuhi layar ponsel Thalia, membuat air liurnya bergejolak saat melihatnya. Bundanya ini memang bisa sekali membuatnya menahan ngiler, apalagi cuaca sedang dingin sekali karena salju sedang turun meskipun tidak terlalu lebat. Sangat cocok bukan memakan sop iga di tengah cuaca dingin yang dirasakannya?

Jika ada pintu doraemon atau jurus berpindah tempat dalam sekejap, Thalia tentu akan menggunakannya untuk merasakan makanan favoritnya dan ayahnya itu.

Thalia jadi rindu makan bersama keluarganya, apalagi sang Ayah sering memberinya bagian daging yang agak berlemak ke piringnya. Ah ia baru sadar sudah lama tidak merasakan hal itu.

"Bunda ih bikin ngiler aja. Makin ngiler ini aku, mana di sini dingin banget,"

Suara tawa menggelegar langsung terdengar dari ponselnya. Fathia memang suka sekali menjahili putri sulungnya, apalagi tengah jauh begini, tak akan bisa mengadu kepada ayahnya jika dijahili.

"Sengaja biar kamu ngiler dan kangen masakan bunda. Entar bunda masakin ini ya kalau kakak pulang."

***

"Pertandingan tadi cukup alot ya, apalagi di set ketiga dengan skor deuce. Hal apa sih yang membuat kalian bisa menjaga untuk tetap bisa menang, walaupun sempat tertikung?"

Thalia menyunggingkan senyumnya saat Arabella menyodorkan mic ke arahnya, bermaksud bahwa ia yang harus menjawab pertanyaan itu, setelah 2 pertanyaan sebelumnya Arabella yang menjawab.

"Fokusnya tetap dijaga, walaupun gak bisa dipungkiri tenaga kita udah terkuras banget. Pas poin lawan 18 kita 20, meskipun kita unggul, tapi sejujurnya aku cukup tegang buat dapat 1 poin lagi buat menang, yang pada akhirnya terkejar. Kak Bella terus nenangin aku, komunikasi mau pola main yang seperti apa lagi untuk kembali merebut poin, dan alhamdulillah kami berhasil memenangkan game ketiga. Intinya fokus dan komunikasinya dijaga terus." setelah menyelesaikan kalimatnya, Thalia langsung mengambil nafasnya dengan panjang, karena jujur saja ia masih sedikit ngos-ngosan.

"Kalian ini 'kan hitungannya masih pasangan baru ya, baru 4 turnamen bersama. Masuk final lagi gimana rasanya? Terus apa sih yang akan dipersiapkan untuk final besok?"

Setelah memahami pertanyaan yang diajukan, Thalia mendekatkan kepalanya ke arah Arabella, "mau kakak atau aku yang jawab," tanyanya agak berbisik.

"Kamu aja yang jawab,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dia, Adthia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang