10 : Katanya Saling Kenal

92 25 2
                                    

"Nih," ujar Wooseok sembari meletakkan sebungkus roti bakar isi cokelat-bluberi di atas mejar ruang tamu rumah Umji.

"Makasih, Wooseok!" Umji menyeru senang, bertepatan dengan Wooseok yang mendudukkan diri di sebelah kanannya.

Tangan Umji bergerak cepat membuka bungkusan roti bakar tersebut. Senyumnya merekah begitu aroma khas roti mentega yang bercampur dengan selai cokelat dan bluberi memasuki indera penciumannya.

Melihat tak ada lagi raut sedih di wajah sahabatnya, Wooseok berinisiatif untuk bertanya. "Kenapa tadi lo nangis?"

Tadi saat di perjalanan pulang, lelaki jangkung itu melihat Umji yang beranjak lesu dari tempat penjual es kacang merah langganan mereka. Niatnya sih sekedar bertanya saja pada gadis itu, tapi tak disangka yang ia terima bukan jawaban melainkan sebuah tangisan.

Panik? Tentu saja. Karena bingung dengan apa yang terjadi pada Umji, Wooseok akhirnya memutuskan untuk mengantar tetangganya itu pulang ke rumah dulu. Setelah mengantar, ia kembali melesat pergi untuk membelikan roti bakar yang kini ada di hadapan mereka.

"Eh, gue mau cerita, deh," kata Umji, mencoba mengalihkan topik. Mana mungkin ia menjawab bahwa tangisnya dikarenakan overthinking rasa suka yang tidak berbalas. "Gue udah diterima sama band sekolah."

Wooseok sempat diam sejenak. Ia menghembuskan napas pelan, kini paham bahwa Umji sedang tidak ingin membahas alasannya menangis. "Wih, selamat!"

Umji memasukkan sepotong roti bakar isi cokelat ke dalam mulutnya dengan semangat. "Suara gue juga dipuji sama anggota band yang lain," katanya setelah berhasil menelan kunyahan rotinya.

"Sobat gue satu ini emang paling keren," ucap Wooseok ikut memuji. Tangan kirinya mengusap pelan kepala Umji beberapa kali. "Nanti kalau tampil, gue jadi penonton paling depan."

"Mwahaswih (makasih)." Umji berucap dengan mulut dipenuhi potongan roti bakar, kali ini rasa bluberi. Ia sengaja bicara dengan mulut terisi untuk menutupi rasa gugupnya.

Dan bisa ditebak, tentu saja Umji tersedak lalu terbatuk karena perbuatannya. Dengan cekatan Wooseok menyerahkan botol minum dari tasnya, akan memakan waktu lebih lama jika harus mengambilnya di dapur.

"Duh, jangan mati dulu, Ji! Lo masih ada hutang sepuluh ribu sama mamang cilok di kantin," kata Wooseok yang langsung dihadiahi pukulan pedas di punggung oleh Umji.

Mau semanis apa pun perlakuannya, Wooseok tetaplah sosok yang penuh kejahilan dan menyebalkan.

* * *

Satu minggu berlalu dan selama satu minggu itu pula Umji tak lagi menerima surat di lokernya. Rasanya sepi sekali, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.

Umji dan Wooseok melangkah keluar dari area parkiran. Keduanya berangkat bersama hari ini dan baru saja sampai. Kebersamaan mereka bukanlah sesuatu yang mengherankan bagi warga sekolah, jadi tidak ada yang menaruh perhatian lebih pada Umji yang kini terus berceloteh dan Wooseok yang sibuk merapikan seragamnya.

"Menurut lo kenapa? Apa jangan-jangan dia beneran berhenti kasih surat, ya?"

Saat ini Umji sedang menceritakan perihal surat yang tidak kunjung diterimanya lagi. Tak peduli dengan Wooseok yang hampir tidak mendengarkan, gadis itu tetap bicara.

"Tapi kata SinB, masih banyak kemungkinan lain. Kayaknya gue yang terlalu berpikiran negatif, deh. Mau gimana lagi, ini pengalaman pertama gue dapat surat begitu," lanjut Umji.

Wooseok menghentikan langkahnya, membuat Umji juga ikut berhenti. "Lo bahagia banget dapat suratnya, ya?"

"Iya, dong! Selagi yang kasih surat itu nggak nulis hal jahat atau kurang ajar, gue fine dan seneng-seneng aja."

Dari dan Untuk [Umji FF]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang