04 : Tawaran Masuk Band

259 50 24
                                    

Umji meneliti tulisan di kertas yang ia terima di lokernya hari ini. Ini sudah satu bulan sejak ia menerima surat pertama di lokernya. Tulisannya semakin lama semakin terlihat familiar di mata Umji, tapi sampai sekarang ia tidak tahu siapa pemilik tulisan itu.

.

Untuk : Umji Almira Ziva
13 November

Surat ke-30, udah bisa tebak belum gue siapa?

Mau tanya, dong. Lo bosen nggak sih terima surat recehan begini? Kalau bosen, lo bisa balas surat ini dan taruh di loker, nanti gue baca dan cari akal biar lo gak bosen.

Karena gue maunya buat lo nyaman, bukan bosan.

.

Kali ini kertas yang digunakan adalah kertas polos seukuran buku tulis standar. Setiap harinya kertas yang diterimanya selalu berbeda, membuat Umji jadi sulit mencari tahu pemiliknya. Bagaimana ia bisa menebak kalau si perngirim surat saja sama sekali tidak memberi petunjuk?

Helaan napas Umji terdengar oleh SinB yang sedang sibuk mencoret buku LKS dengan berbagai macam gambar dan tulisan. SinB menoleh, sepertinya sang sahabat juga tidak dalam perasaan yang baik untuk fokus dengan pelajaran.

"Kenapa lo?" tanya SinB dengan suara bervolume kecil.

Umji menggelengkan kepalanya pelan. "Cuma tiba-tiba kepikiran aja, kapan gue bisa tau siapa yang kirim surat-surat ini."

"Besok kita datang pagi aja, biar bisa tau siapa yang taruh kertasnya di loker lo."

"Hmm, oke."

* * *

"Lo beneran gapapa ditinggal sendiri, Ji?" tanya SinB khawatir pada Umji yang wajahnya memucat.

Saat ini Umji sedang menunggu Mama menjemput. Tadi tiba-tiba saja tubuh Umji terasa lemas, kepala pusing, dan perut nyeri. Umji baru saja kedatangan tamu. SinB jadi tak tega meninggalkan Umji sendirian di pos satpam sekolah.

"Gapapa, Bi. Bentar lagi Mama gue datang, kok," jawab Umji menenangkan.

"Hm.. besok lo gak usah sekolah dulu, deh. Istirahat di rumah," nasihat SinB.

"Iya, kalau masih sakit." Padahal besok rencananya ia ingin berangkat pagi ke sekolah untuk menciduk si pengirim surat harian.

"Lo kenapa nggak pulang sama Wooseok aja, sih?"

"Dia udah duluan, katanya ada kerja kelompok."

SinB menghembuskan napas cukup keras. "Ya udah, gue pulang dulu. Lo jangan kemana-mana kalau belum dijemput!"

Umji hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Setelah SinB berlalu dari hadapannya, ia segera bersandar pada dinding. Perutnya tak sesakit tadi, tapi tetap saja rasanya lemas.

Tangan kecil Umji meraih botol air mineral di atas meja yang memang sempat ia beli sebelum duduk di sini. Dengan tutup botol yang masih tersegel cukup rapat, Umji sedikit kesulitan membukanya. Saat sedang berusaha membuka tutup botol tersebut, sebuah tangan lain meraihnya.

Umji mendongak untuk melihat pelakunya, ternyata Juyeon--salah satu teman sekelasnya. Tangan Juyeon membuka tutup botol tersebut dengan sangat mudah lalu menyerahkan kembali botol dan tutupnya pada Umji.

"Thanks," ucap Umji saat menerimanya.

"Ya," jawab Juyeon santai dan mendudukkan diri di samping Umji. "Belum dijemput?" tanya lelaki itu basa-basi. Meski berada di satu kelas yang sama, mereka jarang sekali mengobrol. Oleh karena itu keduanya berada dalam keadaan canggung sekarang.

"Belum," jawab Umji setelah meneguk seperempat air dari botol. "Lo habis dari dalam? Ada barang ketinggalan?"

Juyeon mengangguk. "Buku kimia."

"Oh iya, besok ada PR kimia." Umji ingat setelah pelajaran kimia berakhir tadi, ia memasukkan set buku kimia ke dalam tas karena akan mengerjakan tugas malam ini.

"Kalau masih sakit, istirahat aja. Jangan paksain diri. Bolos sehari gak bikin nilai lo turun drastis, kok."

Umji tersenyum tipis, benar kata Juyeon. "Lo belum mau pulang?"

"H-hah? Oh belum, masih nunggu temen."

"Oh gitu." Keadaan kembali canggung.

"Lo bisa nyanyi?" pertanyaan random tiba-tiba saja dilontarkan oleh Juyeon.

"Eh? Lumayan, sih."

"Mau gabung band?"

"Maksudnya?"

"Band sekolah kurang vokalis. Vokalisnya keluar karena mau fokus olimpiade."

"Lo ikut band sekolah? Kok, gue nggak tau, ya?"

"Setiap ada acara sekolah, lo hampir gak pernah masuk. Satu kelas hapal sama kebiasaan lo itu."

Umji meringis pelan. "Gue separah itu?"

"Gak juga." Juyeon ikut bersandar pada dinding di belakangnya. "Jadi mager itu manusiawi. Yang gue heran, meski lo kelihatan mager tapi nilai lo tinggi terus."

"Itu namanya bakat."

Juyeon terkekeh. "Lagi sakit, masih bisa songong."

Baru saja Umji ingin membalas, suara klakson mobil di luar pagar mengalihkan perhatian keduanya. Umji tahu jelas jika itu mobil milik sang Mama.

"Gue duluan, ya?" pamit Umji sudah berdiri dari duduknya.

"Ji," panggil Juyeon yang membuat langkah Umji terhenti.

Yang dipanggil menoleh ke sumber suara. "Ya?"

"Soal tawaran gue tadi, gue harap lo mau. Lo bisa pikirin dulu. Kalau udah dapat keputusan, lo bilang aja sama gue."

Umji mengangguk mantap.































"Oh iya, get well soon."

"Makasih." Umji tersenyum manis pada Juyeon sebelum akhirnya kembali melangkah menuju mobil yang menunggunya.

Sakit tak lagi dirasakan tubuh Umji. Pikiran gadis itu malah terarah pada tawaran Juyeon tadi. Ikut band? Hm, boleh juga.








 Ikut band? Hm, boleh juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Part 04 ✅

Hayuk tebak-tebakan, di chapter depan apa Umji bakal liat si pengirim surat naruh suratnya pagi-pagi?

Dari dan Untuk [Umji FF]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang