Renggang

23 4 0
                                    

Daniel tersenyim sinis. "Pukul aja pah... Pukul, Sampai Daniel mati."

"Daniel mati, papah puas kan ?"

Mendengar perkataan Daniel membuat hati Dani sakit, anak yang ia didik dengan susah payah kini memarahinya bahkan berkata kasar padanya.

"Kamu Daniel, bisa-bisa ngomong seperti itu sama papah, Hah?" Geram Dani.

Danie mencoba menetralkan emosinya agar tidak terpancing emosi Daniel.

"Papah..." Daniel berbalik melangkahkan kakinya  meninggalkan rumah, ia perlu udara segar untuk menjernihkan pikirannya.

Dani yanv melihat Daniel pergi hanya terdia, ia akan memberikan ruang terlebih dahulu sampai amarahnya mereda.

Daniel masuk ke dalam mobil, ia menyalahkan mein mobil, saat ini yang ada di pikirannya adalah Nadhira. Bagaimana Nadhira sekarang? Bagaimana jika Nadhira tahu? Pasti dia sangat tersiksa dan terluka sekali. Mungkin tidak akan memeafkan Daniel.

Daniel langsung tancap gas menuju rumah Nadhira, sekarang pukul 10 malam. Ia hanya ingin melihat Nadhira baik-baik saja. Ia memginjak gasnya dengan kecepatan tinggi.

Sampai di rumah Nadhira, suasananya sepi. Tak ada tanda-tanda kehidulan disana. Daniel mengyrungkan niatnay untuk mengetuk pintu, ia takut Nadhira dan neneknya terganggu dengan kehadiran Daniel disini.

Daniel memutuskan untuk pulang, mungkin besok ia akan ke sini lagi untuk melihat Nadhira. Danirl masuk kembali ke mobil dan menyalahkan mesin, ia menginjak gas 100km/jam itu sangat tinggi apalagi ia berada di jalan antar kota.

Dari arah kiri jalan terdapat mobil karah kanan sedangkan Daniel kearah lurus. Ia kaget tiba-tiba ada mobil di depannya segera ia membanting stir kearak kanan dan menginjak rem. Untung saja Daniel dan orang yang ingin di tabrak baik-baik saja.

"Hati-hati kalau dijalan, jangan ngebut," teriak orang tang berada di mobil itu. Ya. Walaupun jalanan sepj tetap tidak bisa di tolerin kelakuan Daniel.

Mobil itu pergi. Daniel mengacak rambutnya frustasi. "Aaa.." teriak Daniel.

Ia sedikit memukul stirnya dan mendorong badannya bersandar ke belakang. "Kenapa?"

Perlahan air matanya jatuh ke pipi, suasanan hatinya kini hancur ditambah rasa nyri di pinggangnya semakin terasa.

***

Setelah cukup lama mereka menangis, Rima mencoba medekati Nadhira yang teleah duduk menelungkup, membenamkan kepalanya diantara dada dan lututnya.

"Dhira..." lirih Rima. 

Rima berjalan perlahan mendeekafi Nadhira dan meraih tangannya. "Nenek tahu, Dhira pasti sulit buat terima semua ini."

Dhita mencoba mendangakkan kepalanya, menatap sendu Nenek kesayangannya. Nenek yang selama ini yang sudah merawat sampai saat ini.

Nadhira sudah tidak berkata apa-apa lagi. Hatinya sudah terlalu sakit untuk menerima semua yang sudah terjadi ia kembali menunduk, cukup lama sampai suara sedu pun mereda.

Nadhira memegang tangan Rima kembali dengan kedua tangannya. "Dhira cape... Dhira kekamar dulu ya, Nek."

Nadhir berdiri pelan-pelan, walaupun sedikit sempoyongan ia harus tetap kuat didepan neneknya.

"Nenek juga harus istirahat, sudah malam," pesan Nadhira sebelum masuk ke kamarnya.

Rima hanya mentap sedih kepergian Nadhira, ia tahu pasti tidak mudah untuk Nadhira.

Nadhira mengunci pintunya, ia bersandar di balik pintu. Hatinya begitu sakit, mata dan hidungnyapun sudah merah, rasa sesak masih menyelimutinya sesekali Nadhira menepuk dadanya mencoba menghilangkan rasa sesak tetapi tidak bisa malah semakin sakit.

Fake DatingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang