Sumber Kekuatan

25 4 0
                                    

Rima tersenyum dan mengangguk, ia kembali memeluk gadis yang kini sedang meneteskan air matanya.

Rima melepaskan pelukannya tersenyum lembut sambil menteskan air yang membasahi pipinya. "Jangan menangis lagi ya sayang, hati nenek sakit jika Dhira terus menangis." Rima mengusap pelan pipi Nadhira yang basah, ada rasa seaak yang kini menyelimutinya.

Nadhira tersenyum sendu, mengangguk.

Deringan ponsel Nadhira yang berada di atas nakas memtus percakapan mereka. Ia langsung mengambil ponselnya, di layar terdapat telpon dari Hanna.

"Nenek keluar ya." Nadhira mengangguk.

Nadhira segera mengangkat panggilan dari Hanna.

"Ra, lu dimana ? Kenapa dari kemarin malam gua telpon ga diangkat-angkat."

"Maaf."

"Gua di depan rumah lu."

"Ngapain?"

Saat Rima keluar, ia mendengar suara ketukan pintu berkali-kali. Segera ia membuka pintu utama

"Eh udah di buka sama nenek lu."

Hanna segera mematikan sambungan telponnya, Nadhira yang mendengar suara samar-samar Hanna dari dalam kamar segera ia turun dari tempat tidurnya menuju asal suara yang membuatnya sedikit terhibur.

Saat Hanna sedang menyapa Rima, langkah derap kaki dari kejauhan mengalihkan pandangan Hanna ke sumber suara.

"Dhira." Hanna segera memeluk Nadhira dengan erat. "Lu baik-baik aja kan?"

Nadhira yang sedikit bingung dengan Hanna yang tiba-tiba memlukanya dan mengatakan seperti itu. "Gua baik-baik aja."

Hanna langsung melepaskan pelukannya, memegang kedua bahu Nadhira mentapnya lekat-lekat, terlihat kesedihan dimata sayunya. Matanya yang bengkak sudah jelas Nadhira sering sekali menangis, Hanna merasa bersalah, ia seperti sahabat yang tidak beguna untuk Nadhira, di saat seperti ini saja Hanna tidak ada di sampingnya.

"Maafin gua, Ra," sesal Hanna menunduk.

Nadhira mengangkat kepala Hanna. "Kenapa harus minta maaf, ini bukan salah lu, Na."

"Gua nggak ada buat lu, saat lu sedang sedih,"lirih Hanna.

"Lu udah jadi sahabat gua aja, gau bersyukur, Na. Masih ada orang yang mau jadi sahabat gua dengan sikap gua sering berubah suasana."

Hanna merasa tersentuh, ia memeluknya sekai lagi. "Gua selalu jadi sahabat lu selamanya, Ra."

Kini Nadhira beruntung mempunyai Hanna yang kini menjadi sumber kekuatannya selain neneknya.

"Nenek tersentuh, persahabat kalian sungguh indah," ucapnya sambil mengusap air mata yang sudah membasahi pipinya.

Hanna dan Nadhira berdiam sesqat sambil menatap satu sama lain dan kembali menatap Rima secara bersamaan, kemudian mereka tersenyum bersama.

"Kita kan bestiee," seru Hanna.

Nadhira hanya tersenyum melihat Hanna bergelantungan memegang lengannya. Nadhira tidak boleh terpuruk lagi, ia tidak ingin menyusahkan siapapun lagi.

"Gua mau ngajak lu keluar, ayo kita hangout berdua. Jarang-jarang kan metime," seru Hanna.

Nadhira tersenyum mengangguk.

"Sebelum itu, kalian makan dulu ya, nenek buatkan nasi goreng,"

"Siap, Hanna bantu yaa," ucap Hanna. "Lu mandi dulu, Ra," tambahnya.

Nadhira mengangguk segera ia berjalan menuju kamarnya.

***

Hanna dan Nadhira sudah berjalan-jalan. Mereka pergi ke suatu tempat yang membuat Nadhira refresh, Hanna tidak ingin Nadhira terus memikirkan masalah yang sedang dihadapinya. Ia hanya ingin Nadhira bisa tersenyum walaupun hanya sesaat dan tidak berlarut dalam kesedihan yang mendalam.

Fake DatingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang