i slip and wonder who i'd be if i never found you and you never found me.
▪︎▪︎▪︎
Apakah Mile pernah memberitahumu mengapa ia pada akhirnya memilih Apo dari sekian banyak orang yang pernah dikencaninya?
Mile juga sebenarnya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Ia bahkan tidak memiliki alasan yang pasti dan jelas mengenai mengapa sampai saat ini, ia masih berbaring di ranjang yang sama seperti sepuluh tahun lalu, dan lelaki yang berbaring sembari bersandar pada dada-nya tetap sama.
Apo.
Sejak pertama kali melihatnya, Mile tidak tahu bahwa ia akan jatuh begitu dalam pada lelaki ini, yang ia tahu saat itu adalah hukum gravitasi seolah tak bermakna, karena Apo, dengan wajah rupawan itu seolah menarik Mile ke arahnya. Dan Mile tentu saja, tidak memiliki kuasa untuk menolaknya.
"Saya Apo, rekan kerja P'Tong, maaf karena tiba-tiba bergabung di obrolan kalian." Mile bahkan masih ingat persis kalimat pertama yang diucapkan lelakinya.
"Santai saja, Mile tidak akan keberatan, iya 'kan? Justru ia yang membuat kamu harus datang di saat hari libur seperti ini," Tong berkata melirik tidak suka pada Mile sambil meminum sedikit americanonya.
Mile saat itu terkekeh pelan, entah untuk mengabaikan kalimat menyindir Tong atau berusaha menutupi ketertarikannya pada lelaki dengan kulit sawo matang dan wajah semanis madu yang sialnya, duduk dihadapannya. "Tentu saja, saya tidak keberatan sama sekali."
"Apo, maaf karena membuatmu membawa pekerjaan di hari Sabtu yang tenang ini, Mile tiba-tiba menghubungiku tadi dan ingin melihat sejauh mana proyek itu berkembang, dan karena proyeknya dipindahkan dari kelompokku ke kelompokmu, aku jadi merepotkanmu dengan permintaan mendadak temanku yang aneh ini," tampak sedikit raut tidak enak pada wajah Tong ketika menatap Apo.
"Tidak apa-apa, P', saya juga tadi hanya tiduran di rumah," katanya sedikit bercanda, berusaha mencairkan suasana.
"Baiklah, karena kalian sudah bertemu, silahkan bahas proyek itu sendiri, aku harus segera menjemput anakku dari rumah ibuku." Setelah berkata demikian, Tong lantas pergi, meninggalkan segelas americanonya yang baru ia minum setengahnya dan juga suasana canggung yang aneh antara Mile dan Apo.
Mile melirik Apo, sedikit malu-malu. Sial, biasanya ia adalah penggoda ulung.
"Baiklah, P'Mile, boleh saya panggil begitu?" tanya Apo, memecah keheningan, dan pertanyaannya dijawab anggukan oleh Mile. Apo tersenyum, membuat Mile perlu untuk meremas ujung kursi tempat duduknya agar ia tetap waras. Sudahkah ia bilang kalau Apo ini membuat hukum gravitasi tak bermakna?
Pertemuan pertama itu diakhiri dengan Mile meminta kontak Apo, katanya, untuk keperluan proyek. Tetapi pada kenyataannya, Mile menghubungi Apo untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan proyek, mulai dari mengajaknya berkeliling kota, mengunjungi cafe baru di sekitar kantornya, atau bahkan sekadar menemaninya berbelanja bulanan setiap bulannya.
Dari pertemuan pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan bahkan berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya yang sudah tak pernah terhitung lagi oleh keduanya. Pertemuan-pertemuan yang membuat Mile menyadari bahwa Apo adalah segala yang ia perlukan untuk merasa cukup.
Maka jika pertanyaan itu diulang lagi, mengapa ia pada akhirnya memilih Apo dari sekian banyak orang yang pernah dikencaninya?
Jawabannya sesederhana karena ia adalah Apo.
Mile menggemari keindahannya, kulit sawo matang yang bercahaya dibawah sinar mentari dan rembulan, wajah rupawannya, bibir manisnya, lekuk tubuhnya, dan perasaan penuh nan hangat saat jemari jenjang itu menyusuri dirinya.
Mile menganggumi pemikirannya, absurd, cerdas, dan menggemaskan disaat yang bersamaan. Bagaimana seseorang bisa memiliki pemikiran seperti itu?
Mile menyukai caranya berbicara, memanggilnya dengan tingkah seperti bayi, tertawa dengan lelucon Mile yang tak lucu, memarahinya ketika Mile lupa untuk makan siang, dan bahkan, ia masih menyukai lelaki itu saat mereka bertengkar.
Namun, yang paling Mile gemari, kagumi, dan sukai adalah, Apo selalu disana, ia tak pernah kemana-mana, selalu saja menawarkan pelukan paling nyaman sekaligus paling hangat saat Mile membutuhkannya.
Memori tentang kebersamaan mereka mengudara, membuat Mile bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika ia tidak bertemu Apo, dan Apo tidak bertemu dengannya?
Mile lantas melirik ke arah lelaki yang bersandar di dada-nya. Jemarinya bergerak tanpa sadar, mengelus puncak kepala lelaki itu dengan hati-hati agar tidak membangunkannya.
Gerakan Mile yang hati-hati nyatanya tetap membangunkan lelaki itu, sedikit menggeliat, Apo mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha menyesuaikan dengan cahaya matahari yang muncul lewat jendela kamar mereka. Setelahnya, ia melirik ke arah Mile.
"Kamu dan overthinking adalah sahabat selamanya," sarkasnya ketika melihat wajah Mile yang kusut, bersama selama sepuluh tahun membuatnya mengenali ekspresi itu dengan baik.
Mile tersenyum, lalu berkata, "Maaf, aku membangunkanmu."
Apo menggeleng, ini sudah pagi menuju siang, sudah sepantasnya ia bangun.
"Memikirkan apa, hm? Ingin berbagi?" tanya Apo pelan sambil mengambil posisi duduk, menghadap ke arah Mile.
Mile tersenyum, satu lagi alasan mengapa ia ingin menghabiskan selamanya bersama Apo. Lelaki ini tidak pernah menuntut, ia membebaskan Mile untuk bercerita ketika lelaki itu siap.
"Apo," Mile menatap ke arah manik coklat tua milik lelakinya. "Bagaimana jika, aku tidak bertemu denganmu, dan kamu tidak bertemu aku?"
Apo melirik ke arah Mile, terkekeh pelan. Mile sangat menggemaskan dengan pemikiran-pemikiran randomnya.
"Ehm, mungkin tidak ada kita?" jawabnya dengan nada sedikit menggoda. Ia kemudian melanjutkan dengan nada yang lebih serius, "Tapi, aku tidak mau. Aku tidak mau jika tidak bertemu denganmu, P'. Bahkan jika ada kehidupan ke seratus pun, aku akan bertemu lagi denganmu."
"Kamu ingat P' bagaimana kamu melamarku?" tanya Apo pada Mile yang hampir menangis terharu karena jawaban Apo tadi.
Mile mengangguk.
"Won't you give me tonight, and the rest of your life, Apo? I wanna have it all with you," Mile mengulang kalimat yang ia ucapkan saat melamar lelakinya.
Apo tersenyum lebar, menampilkan barisan gigi putihnya. "Aku juga P', aku juga mau semuanya. Malam itu, sisa hidupmu, dan bahkan, kehidupan kita selanjutnya. Aku mau semuanya bersamamu."
"Jika kamu tidak bertemu denganku, dan aku tidak bertemu denganmu, aku tidak tahu harus apa, P'Mile. Aku tidak tahu harus apa. Memikirkannya saja tidak berani, apalagi jika itu benar-benar terjadi," Apo berkata sembari menunjukkan ekspresi takut yang membuat Mile tertawa. Lelakinya sangat dramatis.
Melihat tawa Mile, Apo juga ikut tertawa, ia kemudian menarik Mile dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggung lelaki yang sudah mengisi hari-harinya. "Jangan terlalu memikirkan hal yang tidak terjadi, P'. Nyatanya aku disini, memelukmu agar berhenti dengan pikiran-pikiran aneh yang justru akan menyiksamu."
Dalam pelukan Apo, Mile mengangguk, menghapus air mata yang mulai membanjiri matanya, lantas mengeratkan pelukannya pada Apo.
"Terima kasih karena mau bertemu dan menerima lelaki overthinking ini, Apo."
Apo tertawa, "Ya, aku tidak memiliki pilihan lain P'Mile. Aku kasihan karena kamu terlanjur tergila-gila pada pesonaku," ujarnya dengan nada jumawa.
Mile langsung menggigit daun telinga lelaki itu. "Kamu terlalu sombong, aku harus memberikanmu hukuman yang membuatmu tergila-gila padaku."
|end|
KAMU SEDANG MEMBACA
Peace [Mile Apo]
FanfictionKumpulan one-shot MileApo yang dibuat saat gabut menunggu KinnPorsche.