#GetWellSoonMile
▪︎▪︎▪︎
"Phi.." suara serak Apo adalah yang pertama kali terdengar setelah Mile menunggu hingga dering ketiga sambungan telepon itu.
"Po.." kata Mile pelan.
"P'Mai.." panggil Apo sekali lagi dengan kekalutan didalamnya.
"Phi ngga papa, okay?" Mile berusaha menenangkan Apo. Ia tahu bahwa informasi yang ia baru berikan pada Apo akan membuat lelaki itu mengkhawatirkannya.
Apo disebrang sana menghela napas berat, frustasi. Segala perasaan takut, sedih, dan cemas mendominasi pikirannya. Baru saja kemarin ia dibuat panik karena Mile memberitahunya bahwa lelaki itu mimisan saat sedang berolahraga, sekarang, ia dibuat menggila karena Mile mengatakan ia terkonfirmasi Covid-19.
"Beneran ngga ada gejala yang berat kan, Phi?" tanya Apo memastikan, "Jangan bilang ngga papa cuma buat nenangin aku, kalau Phi ngerasa ngga baik-baik aja, bilang sama aku, ya?" lanjutnya membuat Mile tersenyum kecil. Apo sangat menggemaskan ketika lelaki itu mengkhawatirkannya.
"Iya, Po," jawab Mile.
"Ini serius Phi, gejalanya ngga berat kan?" Apo bertanya sekali lagi dengan decakan kecil diakhir suaranya. Ia cemas bukan main.
"Po, tenang.. kayak yang aku bilang di chat, cuma sedikit sakit di tenggorokan dan demam, setelah minum obat dan istirahat, Phi yakin akan baik-baik saja, okay?" Mile mencoba meyakinkan Apo dengan lembut.
"Okay," putus Apo akhirnya, berusaha membangun kepercayaan pada perkataan Mile.
Mile bilang ia akan baik-baik saja, dan Apo akan mempercayainya.
Disisi lain, Mile memiliki kecemasan lain. Hal ini menurutnya jauh lebih penting dari kesehatannya sendiri. Hal yang sebenarnya menjadi alasan mengapa ia menghubungi Apo. "Po, kamu hasil test-nya, aman kan?" Mile bertanya hati-hati, penuh dengan kekhawatiran didalamnya.
"Phi.." Apo ingin menangis mendengar pertanyaan Mile. Ditengah situasinya saat ini, bukankah seharusnya Mile lebih mencemaskan dirinya sendiri? Tetapi, Mile, lelaki itu selalu saja seperti ini. Mementingkan Apo diatas dirinya sendiri.
Mile menahan napas, gugup. Sejak dirinya menerima hasil test-nya, benaknya dipenuhi oleh Apo. Bagaimana keadaan lelaki itu? Mereka menghabiskan waktu bersama beberapa hari ini, dan fakta tersebut benar-benar membuatnya risau.
"Po, gimana hasil test-nya?" Mile mengulang pertanyaannya sekali lagi.
"Negatif, Phi.." jawab Apo membuat Mile menghela napas, lega. Wajah kusutnya penuh kecemasannya saat ini berganti dengan senyuman hangat.
"Syukurlah, Po, syukurlah."
Apo tersenyum dan mengangguk kecil, seolah-olah Mile sedang berada dihadapannya saat ini.
"Tapi aku sedih, Phi," ucap Apo setelah jeda beberapa saat di antara mereka.
Mile terkekeh kecil. Ia tahu arah pembicaraan Apo saat ini. "Jangan sedih-sedih, nanti kita cari kesempatan lain, ya?" Mile berujar pelan, suaranya terdengar berusaha menenangkan Apo.
"Aku cuma, gimana ya, Phi? Aku tau seberapa besar usaha kamu buat series ini. Aku liat prosesnya. Aku temenin kamu jalanin dari saat series ini hampir gagal dan sampai sebesar ini." Apo menggigit bibir bawahnya pelan, menahan isakan yang hampir keluar.
"Pas kita mau nonton episode terakhir bareng, mau liat hasil akhir dari usaha dan kerja keras kita, kenapa ya, Phi? Kenapa kesempatan itu ngga berpihak sama kita?"
"Poo.." Mile memanggil Apo, entah untuk menenangkan lelaki itu, atau menenangkan dirinya sendiri.
"Padahal yang aku mau sekecil itu. Duduk disamping P'Mai, nonton episode terakhir bareng sambil sesekali mengomentari scene-scene yang ada. Menurutku, itu bukan sesuatu yang terlalu berlebihan untuk diminta, iya 'kan?"
"Iya, Po," jawab Mile menyetujui perkataan Apo. Keinginan Apo atau lebih tepatnya keinginan mereka bukan sesuatu yang berlebihan. Tetapi, Mile menyadari bahwa hal yang terjadi padanya diluar kendali mereka. Diluar kemampuan mereka untuk mengatasinya. Maka, ia melanjutkan lagi, "Tapi mungkin saja nanti ada kesempatan lain, Po."
Apo terdiam mendengarnya. P'Mai-nya selalu seperti ini. Lelaki baik itu membuat Apo ingin berlari dan membawanya ke dalam pelukan Apo jika ia bisa. Ia juga ingin mengelus surai hitam legam itu dengan jemarinya, agar setidaknya, meskipun Mile tidak baik-baik saja, ia akan tahu bahwa Apo akan selalu menemaninya. Namun, situasi saat ini tidak memungkinkan ia melakukan itu. Apo bisa saja menerobos dan berbaring disamping Mile, tetapi ia yakin Mile tidak akan menyukai ide itu.
"Iya, Phi," putus Apo kemudian.
"Nanti kita cari kesempatan yang lain bareng-bareng, ya?"
Apo tersenyum manis. Mile selalu memposisikannya istimewa, menjadikan Apo ada dalam setiap perjalanan hidupnya membuat Apo merasa dihargai.
"Iya, P'Mai, makanya, cepat sembuh," rajuk Apo membuat Mile tertawa. "Makan yang banyak, Phi, minum air juga. Obatnya rutin diminum, nanti aku call deh biar ingat."
Mile tersenyum. "Iya, Powwww.." katanya dengan suara manja membuat Apo salah tingkah.
"Apasih, Phi!"
Mile tertawa lagi.
"Malam ini ngga boleh tidur larut, Phi! Harus tidur lebih cepat, bentar lagi aku matiin call-nya, biar P'Mai bisa istirahat."
"Masih jam tujuh, Po," Mile mengeluh. Ia masih ingin mendengar suara Apo sedikit lebih lama.
"Phi.. biar bisa cepat sembuh, biar bisa cepat ketemu."
Rengekan Apo membuat Mile ingin berteriak saja rasanya. Sial, Apo, lelaki itu membuat Mile kehilangan kata.
"P'Mai," Apo memanggil Mile lembut. "Jangan marah, ya? Po matiin dulu, biar Phi bisa tidur. Tapi kalau ada apa-apa, langsung kabari, handphone aku siap sedia," katanya dengan kekehan kecil diakhirnya.
"Iya." Meskipun tidak rela, Mile tahu bahwa Apo ingin yang terbaik untuknya, maka ia menutup percakapan seperti yang biasanya mereka lakukan, "Good night, Po."
Apo kemudian menjawab, dengan suara yang terdengar sangat menggemaskan ditelinga Mile, "Good night, P'Maiiii."
Setelahnya sambungan telepon itu terputus. Menyisakan kekosongan dalam diri Mile karena biasanya, sambungan telepon mereka akan bertahan lama, berjam-jam. Apo akan bercerita heboh dan Mile akan mendengarkan, sesekali menimpali dengan tawa atau mungkin saran jika Apo membutuhkannya. Atau sebaliknya, Mile akan menceritakan kisahnya dan Apo akan mendengarkan. Mereka terus mengobrol sampai kantuk menyerang mereka.
Tetapi sekarang, Mile rasa percakapan malamnya dengan Apo belum cukup. Mile masih ingin mendengar ocehannya. Maka baru lima menit setelah sambungan telepon tadi terputus, Mile kembali menghubungi Apo.
"Phi, kenapa? Sakitnya tambah parah? Badannya makin ngga enak? Perlu Apo ke-," ucapan penuh kepanikan Apo terputus ketika Mile memanggil namanya.
"Po.."
"Ya, Phi?" tanya Apo dengan posisi menjepit handphone dengan bahunya, ia mulai mengenakan sweater, bersiap menuju ke rumah Mile karena kekhawatiran telah memenuhi dirinya. Apo bahkan sudah tidak peduli jika nanti dirinya ikut terinfeksi.
Ia bergerak cepat, menyambar kunci mobil lalu melangkahkan kakinya gesit. Baru hendak menggapai gagang pintu kamar, ucapan Mile selanjutnya membuat Apo tertegun.
"Kangen."
|end|
KAMU SEDANG MEMBACA
Peace [Mile Apo]
FanfictionKumpulan one-shot MileApo yang dibuat saat gabut menunggu KinnPorsche.