"Jadi kenapa akhirnya kamu memilih Mile?"
Pertanyaan Build membuat lelaki dua puluh delapan tahun itu berbaring menyamping, menumpu kepalanya dengan tangan sambil mengamati dengan seksama orang yang baru dinikahinya sehari lalu. Diperhatikan tiap lekuk wajah seputih susu yang bisa dibilang rupawan itu.
Interaksi keduanya tak banyak, sepanjang hidupnya menghadiri satu acara ke acara yang lain, menjalin koneksi dari satu perusahaan ke perusahaan lain, Apo tak pernah sekalipun mendengar nama Mile sampai tiga bulan yang lalu, di pesta ulang tahun perusahaan Bible, suami Build, nama itu mengalun ditelinganya.
"Mile! Sudah lama sekali!" itu sapaan hangat yang diberikan Bible, membuat Apo yang berdiri tak jauh dari Bible karena sedang berbincang dengan Build pun ikut mengarahkan pandangannya. Netra coklat mudanya menangkap objek itu, lelaki dengan tuxedo biru tua dengan sedikit aksen garis-garis putih yang berjalan vertikal. Tak sampai disana, sesudah memeluk kawan lamanya itu, Bible mengenalkan Mile pada Apo, dan darisana semuanya bermula.
Mile Phakphum Romsaithong.
Apo hampir saja melupakan nama itu jika bukan karena sebulan setelah pesta Bible, ayahnya mengatur sebuah perjodohan yang berkedok makan malam dengan kolega. Apo tentu saja tak bodoh, ia tahu maksud ayahnya dan 'makan malam dengan kolega' bukanlah hal baru dalam hidupnya karena Apo telah lima kali terjebak didalamnya, yang tentu saja berakhir dengan penolakan mentah-mentah.
Malam itu Apo telah siap menolak lagi, namun tampilannya tetap menawan seperti yang sudah-sudah, tuxedo coklat tua dipilihnya untuk membungkus tubuh semampainya dengan apik, membuat putra bungsu Wattanagitiphat itu terlihat semakin menarik. Isi kepalanya pun telah dipenuhi berbagai alasan penolakan, berbagai cara telah ia pikirkan matang-matang, ia telah lolos lima kali, seharusnya yang kali inipun berhasil. Tetapi, ketika memasuki ruangan VIP sebuah restoran bintang lima yang menjadi tempat 'makan malam dengan kolega' itu, atensinya terperangkap pada sepasang netra hitam legam, membuat Apo entah kenapa lebih banyak diam dan bahkan mengangguk-angguk saja ketika ayahnya memintanya untuk mencari udara segar bersama pemilik netra itu.
Namun, seberapa jauh pun Apo terperangkap dalam netra itu, penolakan harus tetap berjalan. Maka segera setelah mereka mendudukan diri dibagian luar lantai dua restoran, Apo membuka pembicaraan.
"Mile."
"Ya?"
"Saya akan menolak perjodohan ini," Apo memperhatikan ekspresi lawan bicaranya, anehnya tidak ada keterkejutan seperti lima orang sebelumnya.
"Kamu nggak kaget?"
Mile tersenyum tipis sekali. "Tidak, saya mengerti."
"Hah?" Apo sedikit kebingungan, reaksi Mile diluar dugaannya. "Kamu nggak marahin saya gitu? Atau minimal menatap culas pada saya?"
Mile tertawa kecil. Tawa pertama yang ia bagi dengan Apo, dan demi kuku kaki Neptunus, Apo ingin melihat tawa itu lagi dan lagi.
"Kenapa saya harus marah dan menatap culas pada kamu, Apo?"
"Karena sebelumnya mereka melakukan itu. Tapi kamu tidak, maka rasanya sedikit aneh."
"Kamu tentu punya hak untuk menolak perjodohan ini, Apo," Mile memberikan senyuman tipisnya lagi, "tetapi boleh saya meminta waktu untuk kita? Cobalah kenali saya, saya juga akan mencoba mengenali kamu, jika nanti pun nyatanya kamu tak bisa, saya tidak akan memaksa."
Sial, Mile tahu bagaimana cara mengendalikannya. Amarah dan tatapan culas tentu akan dibalas Apo sama kerasnya, tapi lelaki itu lemah dengan permintaan pelan yang tidak menuntut. Lebih sial lagi karena Mile membumbui permintaan itu dengan senyuman tipis menawannya. Maka meski enggan mengakui ketidakberdayaannya, Apo memberikan waktu untuk mereka.
Sebelum bertemu Mile, Apo tak pernah mengira definisi memberikan waktu untuk saling mengenali bisa berarti diberikan tepuk-tepukan pelan pada kepala seusai rapat yang melelahkan di kantor, sepasang telinga yang siap mendengarkan keluh kesahnya dengan seksama, sebuah dekapan hangat yang menenangkan ketika perasaannya gundah gulana, dan sepasang netra yang akan terus menatapnya dengan kagum meskipun Apo bertingkah konyol.
Apo terkekeh mengingat rangkaian cerita singkatnya bersama Mile, dielusnya wajah orang yang masih terlelap padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Lelaki ini, Mile Phakphum, berhasil membuat Apo kebingungan, kenapa ia bisa berbaring disampingnya pagi ini? Atau, seperti pertanyaan Build, kenapa akhirnya ia memilih Mile?
Cinta?
Rasanya terlalu terburu-buru menafsirkannya seperti itu.
Lantas apa?
Mungkin karena perbincangan mereka satu bulan yang lalu.
"Kenapa kamu mau mencoba mengenal saya, Mile?" Apo bertanya sambil memasukkan beberapa popcorn caramel dalam mulutnya. Malam itu memutuskan untuk menonton sebuah film yang telah ditunggu-tunggu Apo sejak berbulan-bulan yang lalu.
"Kamu menarik atensi saya, Apo. Senyum kamu dipertemuan pertama kita, raut kebingungan kamu di 'makan malam dengan kolega' itu, keterkejutan kamu dengan reaksi saya. Kamu lucu, saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang kamu," jawabnya sambil tangannya bergerak, mengambil telapak tangan kiri Apo yang tidak menggenggam popcorn, diletakkannya beberapa popcorn disana.
Apo memperhatikan semua tingkah itu, lengkungan bibirnya tak bisa ia cegah ketika melihat popcorn dengan banyak caramel telah dikumpulkan Mile ditangannya.
"Aneh."
Mile mengerutkan alisnya, sedikit kebingungan.
"Biasanya orang akan bilang cinta, kamu malah bilang saya lucu?"
Mile terkekeh pelan, "Apo, menurutmu berapa banyak pasangan yang menikah karena cinta?"
"Banyak."
"Apa mereka berakhir bahagia?"
"Belum tentu."
"Lantas, berapa banyak orang-orang yang menikah tanpa cinta?"
"Banyak juga."
"Apakah mereka berakhir tak bahagia?"
"Belum tentu."
Mile mengulas senyum, diacaknya surai Apo pelan.
"Menurut kamu, kita akan berakhir seperti apa, Apo?"
Apo tampak berpikir keras, "Tidak tahu, rasanya setiap hubungan itu seperti bertaruh, Mile. Akhirnya seperti apa, tidak ada yang tahu, iya kan?"
Mile mengangguk, lelaki itu membalikkan sedikit kepala Apo hingga menghadap ke arahnya, "Apo, cinta mungkin terlalu berlebihan untuk kita, terlalu membual juga jika saya bilang saya akan membuat kamu bahagia selamanya. Tapi, saya mau menemani kamu Apo, dalam hidup yang serba tak pasti. Saya tidak bisa janji selalu ada, tapi saya akan mengusahakan untuk selalu ada. Apo, jika kamu butuh seseorang yang bisa dibagi apapun bersama, susah maupun senang, sakit maupun sehat, saya ingin mengambil bagian itu jika kamu mengizinkan."
Mile menghela napasnya pelan, tampak gugup dihadapan Apo, namun lelaki itu tetap melanjutkan, "Apo, mari bertaruh seperti apa kita pada akhirnya."
"Lamarannya jelek banget di bioskop," Apo bergurau, menutupi kegugupan dan salah tingkahnya.
"Jadi saya ditolak?"
Apo memberikan sebuah jitakan pelan pada kepala Mile. "Jelek bukan berarti saya nolak, Mile Phakphum."
Apo menatap Mile. Lucu karena lelaki ini tak bilang cinta, tak juga membual soal bahagia selamanya. Lebih lucu lagi, melihat bagaimana ia menyukai cara Mile menyampaikan maksudnya. Maka dengan senyuman semanis madu, Apo berkata, "saya juga mau bertaruh seperti apa kita pada akhirnya."
Ia memilih Mile karena lelaki itu tidak mengada-ada.
|end|
Apa aku bikin dari pandangan Mile juga yaaa? Tapi ini panjang bgt 1000 lebih kata, wkwk. Semoga sukaaa hehe <3.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peace [Mile Apo]
FanfictionKumpulan one-shot MileApo yang dibuat saat gabut menunggu KinnPorsche.