Heaven.

827 106 6
                                    

"Panas banget!" keluh Apo sambil membaringkan tubuhnya ke sisi kiri Mile yang sudah berbaring lebih dulu di tengah ruang tamu mereka.

"Udah aku bilang tadi baring disini," komentar Mile sambil melirik Apo yang wajahnya telah ditekuk sempurna.

Posisi mereka saat ini berbaring terlentang, dengan pandangan ke langit-langit ruang tamu mereka. Apo berusaha memejamkan mata, berharap ia akan tertidur dan lupa jika cuaca Bangkok sedang panas-panasnya.

"Maaf ya, Po? Aku ngga tau kalau AC kita rusak," sesal Mile.

Apo mencurutkan bibirnya, pandangannya tetap terarah ke langit-langit. "Kamu udah minta maaf sampai lima kali sejak tadi, aku capek dengarnya. Dan udah aku bilang juga kan, ini bukan salah kamu, Sayang.."

Kata terakhir Apo membuat Mile terbatuk kecil, kikuk. Jarang sekali ia dan Apo menggunakan kata itu untuk memanggil satu sama lain.

Tawa Apo mengudara, mengisi penuh ke seluruh sisi rumah kecil mereka. "Cie, ada yang salting," godanya pada Mile.

"Apa sih, Po?" elak Mile namun bukti salah tingkahnya berupa semburat merah muda masih tampak pada pipinya yang cerah.

Apo lalu memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Mile. Tawanya mulai mereda, digantikan dengan senyum jenaka yang menggemaskan. Jemarinya bergerak perlahan, menyusuri struktur wajah Mile yang tiada dua. Sesekali ia memberi usapan lembut membuat Mile merasa nyaman meskipun panas Bangkok meronta-ronta.

"Ternyata kamu ganteng ya, kalau dari dekat," katanya pelan.

Mile menatap ke arah Apo, alisnya terangkat satu, "Jadi kalau dari jauh aku jelek?"

Apo tertawa. "Kayaknya sih," ia kembali menggoda Mile.

Mile lantas mengalihkan pandangannya dari Apo, ekspresinya terlihat lucu dengan bibir melengkung ke bawah, ciri khasnya ketika ngambek.

"Dih, ngambekan, ingat umur, Pak," Apo masih terus menggoda Mile. Ia terlalu senang melihat wajah Mile saat ini. Sangat menggemaskan.

"Udah ah, maaf ya? Balik sini dong, aku masih mau liat muka kamu," tutur Apo setelah sekian menit berlalu dan kepala Mile masih saja tidak mengarah padanya. Mile kemudian menurut, namun ekspresinya tidak jauh beda seperti tadi. Masih ngambek rupanya, pikir Apo.

Sebuah ide muncul di kepala Apo, cara paling ampuh yang biasa ia gunakan untuk membujuk bayi besarnya. Ia segera mengeluarkan cute face-nya, lalu dengan suara yang dibuat menggemaskan, ia berkata "Uhmmm, P'Mee ngga mau maafin Po?"

Melihat pandangan dihadapannya membuat Mile tidak kuasa menahan senyumnya. Ia tersenyum lebar, lalu tangannya perlahan terulur, mengacak-acak rambut Apo pelan. Apo yang awalnya ikut tertawa, seketika terdiam, jantungnya berdebar tidak karuan.

Menyadari perubahan ekspresi itu, Mile lalu bertanya, "Kamu kenapa, Po?" yang ditanya malah menggeleng kaku, masih berusaha mengontrol debaran yang masih menggila.

"Oh, karna rambutnya diacak-acak, ya?" giliran Mile yang menggoda Apo. "Kamu nih gimana sih? Kan yang diacak-acak rambutnya, kok yang berantakan hatinya?"

"P'Maiiiiiii!" teriakan Apo menggelegar, ia refleks memeluk Mile, menyembunyikan wajah semerah tomatnya pada pelukan paling hangat itu. Ia berusaha tidak peduli dengan Mile yang masih tertawa.

Mile mungkin saja tertawa puas, tetapi tangan kirinya tetap saja refleks memberikan elusan pelan pada kepala Apo, sementara tangan lainnya menahan punggung Apo.

Mereka terdiam dalam posisi itu cukup lama hingga sinar matahari mulai berganti jingga, ditemani hanya dengan helaan napas tenang keduanya. Tangan Mile masih senantiasa mengelus kepala Apo, sedangkan Apo masih menikmati debaran jantung Mile yang ia tahu, tidak jauh beda dengan miliknya. Nyatanya, keduanya mampu membuat panas kota Bangkok tidak lagi menyulitkan dan AC yang rusak tidak lagi menjengkelkan.

"Phi.."

"Hm?"

"Lagi mikirin apa?" tanya Apo pelan.

Senyum kecil langsung melintasi wajah Mile, "Kamu tau darimana aku lagi mikir?"

Masih dalam pelukan Mile, Apo mengangkat kepalanya, menatap ke arah manik kegemarannnya. "Elusan ke kepala aku beda, biasanya kalau kayak gini, kamu lagi mikir." Mile terkekeh pelan. Apo memang se-detail itu.

"Jangan ketawa, okai?" pinta Mile yang diangguki oleh Apo.

"Aku ngga enak sama kamu. Kamu seharusnya bisa tinggal dirumah yang lebih besar dari ini. Bisa punya rumah yang AC-nya ngga rusak. Ngga perlu ngeluh karna kepanasan. Ngga perlu baring di lantai kayak gini yang nanti bikin badan kamu ngga nyaman." Mile menghela napasnya kasar, kemudian melanjutkan, "Aku mikir keras, apa Apo bakal lebih bahagia kalau ngga sama aku?"

Apo menatap ke dalam manik Mile, rasa minoritas terpapar jelas disana. Ia lalu memberi kecupan singkat pada rahang Mile, sedangkan yang dikecup hanya diam, kebingungan. "Itu tanda terima kasih karna udah mau cerita kegelisahan kamu," kata Apo sambil memberikan senyum kecilnya.

"Phi, siapa yang jamin aku bakal lebih bahagia kalau ngga sama kamu? Aku bahagia dengan rumah kita. Aku bahagia baring di lantai sama kamu kayak gini. Mau AC-nya rusak, kepanasan, atau badan aku bakal sakit-sakit nantinya, aku bahagia. Karena buat aku yang penting bukan tempatnya, tapi ada kamu atau ngga didalamnya."

Mile terharu, sungguh. Ditatapnya lama manik coklat madu yang berkilau ditemani kilat jingga matahari. "Terima kasih," katanya tulus pada lelaki dalam pelukannya. Ia kemudian menarik Apo semakin dalam ke pelukannya, disusul dengan kecupan-kecupan pada setiap sisi wajah Apo. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Sampai-sampai sudah tidak terhitung jumlahnya membuat yang menerima kecupan terkekeh, bahagia.

"P'Mile," panggil Apo setelah hujan kecupan itu reda.

"Hm?"

"It's always heaven when I'm with you."













|end|

Peace [Mile Apo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang