Lovers [2].

542 94 5
                                    

Menurut Apo, cinta yang dielu-elukan para pujangga itu haruslah demikian, berisik.

Ia dibesarkan dengan pemahaman bahwa segala sesuatu harus disuarakan. Diikuti dengan berbagai pembuktian. Jika tidak, bagaimana orang lain bisa paham mau kita apa? Maka sedari dulu, sedari ia masih berseragam putih merah, Apo selalu dikenal banyak bicara. Tingkahnya pun tidak kalah jumlahnya.

Ia akan tidur, jika ia ingin tidur. Ia akan makan, jika ia ingin makan. Begitupun dengan bermain bola. Ia akan bermain bola, jika ia ingin. Tidak peduli dengan jeweran yang akan diterimanya dari sang ibu. Tidak peduli dengan hukuman mencuci seragam sendiri yang akan diterimanya, karena ia punya seseorang yang selalu tenang disisinya. Lelaki yang usianya lebih tua dua tahun diatasnya, dengan kulit putih susu yang resah dengan hujan karena dapat membuatnya basah kuyup.

"Mileeee!" teriaknya nyaring dari depan pekarangan rumah yang berhadapan langsung dengan rumahnya. Itu pukul empat sore, mereka baru tiba setengah jam yang lalu karena menunggu hujan reda terlebih dahulu. Apo telah membasuh dirinya setelah mendapatkan jeweran ditelinganya terlebih dahulu, ia juga sudah berganti pakaian; celana coklat pendek dengan kaos kuning bermotif anak ayam.

Pintu berwarna coklat tua itu terbuka, menampilkan Mile dengan dengusan kecilnya, Apo hanya terkekeh pelan melihatnya. "Dihukum lagi?"

Apo mengangguk bersemangat, lalu seperti biasanya, ia akan membuka pagar rumah Mile, melangkahkan kakinya riang mengikuti si pemilik rumah yang tampak terlalu memaklumi tingkahnya.

"Mana seragamnya?" Mile bertanya begitu mereka telah sampai ke halaman belakang, tempat dimana biasanya Mile dan ibunya mencuci pakaian. Apo dengan senang hati menyodorkan sebuah kantong plastik berisi seragamnya yang sudah kotor sana sini, jangan lupakan dengan kutangnya yang kondisinya tidak jauh mengenaskan.

Mile menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir. Sedangkan yang berbuat hanya cengengesan saja.

Apo memperhatikan Mile yang tengah serius mengucak celana birunya, "Ini yang terakhir deh, aku janji."

"Minggu lalu juga kamu bilang begitu."

Apo tertawa, Mile yang protes terhadap tingkahnya terlalu menggemaskan.

Beberapa waktu mereka habiskan dengan Mile yang mencuci dan Apo yang menemani sembari berceloteh ria tentang bagaimana sekolahnya hari ini. Tentang ia yang tidak mengerjakan tugas sekolah, ia yang mengutang pada ibu kantin, dan tentang kemenangannya melawan anak kelas 8 dalam pertandingan bola hujan tadi.

"Terima kasih, Mile!" hebohnya setelah menemani Mile menjemur seragam dengan hanger berwarna biru. Mile mengangguk kecil sebagai tanggapan, lalu lelaki yang lebih tinggi dari Apo itu berjalan, menuju ke ruang makan, kemudian mendudukan Apo pada salah satu dari empat kursi yang ada disana.

"Tunggu sebentar," katanya sambil berjalan tenang. Selang beberapa menit ia kembali, dengan kotak bening dengan tulisan P3K berwarna merah cerah. Ia mengambil duduk dihadapan Apo, dengan menopang pada salah satu kaki.

Kaki Apo ia bawa perlahan, diletakkannya hati-hati seperti barang antik ke pahanya sebagai tumpuan. Mile mengeluarkan kapas, membasahinya dengan alkohol.

"Maaf kalau perih."

Apo membalasnya dengan tawa kecil, "Terima kasih, Mile."

Apo beranjak remaja yang kala itu masih berseragam putih biru tidak tahu, bahwa tanpa sadar, ia telah membiasakan dirinya dengan Mile, atau mungkin ia belum mengerti, bahwa rasa terbiasa, dapat meluas ke sesuatu yang tak pernah ia duga.

Bertahun dilalui sampai usia Apo lima belas. Seragamnya kini telah berganti menjadi putih abu. Kulitnya tidak lagi secoklat dulu karena sudah jarang bermain bola di siang bolong. Rahangnya menegas, semakin menawan tentu saja. Namun Apo tetap sama, tetap menyuarakan isi kepalanya secara cuma-cuma. Maka tak jarang, ia akan ada dalam kondisi seperti ini, babak belur dengan luka sana sini.

"Lagi." Tentu saja itu bukan pertanyaan, nada suara yang pelan namun tegas itu menyuarakan pernyataan. Apo terkekeh saja.

Ruang UKS terasa sedikit sesak karena banyaknya siswa yang ikut tawuran kali ini. Belum lagi dengan beberapa anggota PMR yang beraksi mengobati luka-luka para petarung ini. Beberapa kali anggota PMR mendatanginya, ingin membantu Apo mengobati luka-lukanya, namun tentu saja, Apo dengan lantang menolak. Ia punya obat-nya sendiri dan seperti yang telah Apo duga, ia datang, dengan wajah yang tetap tenang seperti biasanya, namun Apo dapat melihat peluh yang membasahi dahinya.

"Kamu ini.." sedikit mengomel kecil namun langkahnya tetap mendekat, membuat Apo mampu tersenyum kecil walaupun sudut bibirnya berdenyut nyeri.

Mile mengambil kapas, membasahinya dengan alkohol seperti yang sudah biasa ia lakukan.

"Maaf kalau perih."

Apo membalasnya dengan anggukan kecil, ia memperhatikan segala tingkah Mile. Mile yang menahan pipinya dengan telapak tangannya, Mile yang sedikit meringis saat membersihkan luka Apo yang ada disudut bibir padahal Apo tidak merasakan apapun, Mile yang memberikan tiupan pelan acap kali alkohol membasahi luka itu. Apo mau tidak mau terkekeh kecil, "Terima kasih, Mile."

Apo remaja yang kala itu masih berseragam putih abu akhirnya mengerti, meskipun Mile terlalu tenang untuk Apo yang berisik, rasa terbiasa ternyata dapat meluas ke sesuatu yang tak pernah ia duga. Mungkin.. suka?

Tidak.

Mungkin dia sebetulnya cinta.











▪︎▪︎▪︎
ada satu part lagi gais habis ini, HEHE! makasih banyak masih baca cerita aku meskipun akunya sempat hilang seminggu <3

Peace [Mile Apo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang