Lovers [1].

774 94 8
                                    

Menurut Mile, cinta yang dielu-elukan para pujangga itu haruslah tenang.

Bukan tenang sepi nan asing yang membuat sesak menggerogoti paru-paru. Tenang dalam artian menyejukkan, menenangkan. Cinta tidak perlu berisik, tidak perlu berkoar-koar, tidak perlu digembar-gembor sana-sini, karena nyatanya, debarannya saja sudah membuat tidak karuan.

Namun, uniknya, ketika melihat, membaca, maupun mendengar cinta, Mile akan langsung mengarah ke satu titik, yaitu seseorang yang paling liar yang ia kenali dengan baik. Seseorang yang meneriaki namanya dengan nyaring yang membuat Mile terkadang lari pontang-panting untuk menghentikan teriakannya. Seseorang yang teramat menyayangi kebebasan, yang pandai menyuarakan isi kepala, yang selalu terkekeh renyah sambil menggodanya.

Mile tidak ingat bagaimana persisnya, tapi yang jelas itu hari Minggu, pagi sekitar pukul delapan. Ibunya meminta tolong untuk mengantarkan kudapan pada tetangga-tetangga sekitar rumah. Mereka baru pindah ke kota itu kemarin, dan menurut ibunya, ini cara agar mereka akrab dengan tetangga. Mile menurut saja. Diantarkannya kudapan dari rumah yang paling jauh, satu persatu, hingga rumah terakhir yaitu rumah yang berhadapan dengan rumah barunya.

Mile menghela napas, tangannya yang waktu itu masih berukuran kecil digunakannya, mengetuk pintu rumah berwarna merah maroon itu. Pada ketukan ke empat terdengar suara langkah kaki mendekat, Mile bersiap dengan piring kudapan dalam genggamannya.

Pintu dibuka. Menampilkan sosok yang tubuhnya lebih kecil dari Mile, tersenyum manis menampilkan rentetan giginya yang kontras dengan kulit kecoklatan karena serangan matahari.

"Cari siapa?" tanya si kecil dengan mata menatap Mile polos.

"E, eh, enggak, aku baru pindah ke rumah depan, ini untukmu," meskipun tidak mengerti apa yang terjadi padanya, Mile berusaha tetap tegar, menyampaikan maksudnya dengan baik dan benar. Tangannya menyodorkan sepiring kudapan itu, yang disambut manis oleh si kecil.

"Wah! Terima kasih.." si kecil menatapnya dengan pandangan bertanya.

"Mile, namaku Mile."

Si kecil terkekeh renyah, "Terima kasih, Mile!" katanya heboh.

"Aku Apo. Salam kenal, tetangga baru!"

Dan hari-hari berikutnya dilalui Mile dengan tenang meski debaran jantungnya tidak karuan. Ia banyak mengikis waktu dengan Apo, Mile mengetahui beberapa fakta, Apo dua tahun lebih muda darinya, ia menyukai kucing dan sering bermain bola ketika matahari sedang panas-panasnya maupun saat hujan sedang deras-derasnya. Dan fakta terbarunya adalah sekolah baru Mile ternyata sekolah Apo juga, Mile duduk di kelas 5 dan Apo kelas 3.

Kelasnya tidak berjarak jauh, hanya sekitar dua menit jika berjalan dengan tenang, namun untuk Apo, hanya diperlukan tiga puluh detik saja. Seperti biasa, waktu makan siang adalah kegemaran keduanya. Bagi Apo, ia bahagia karena dapat menyantap bekal makan siang Mile yang selalu terlihat lebih menggoda dibanding miliknya, sedangkan bagi Mile, ia bahagia karena bisa mendengar celotehan Apo yang tidak ada habisnya, meskipun bell tanda masuk kembali ke kelas telah berkumandang.

Mile kecil yang kala itu masih berseragam putih merah tidak tahu, atau mungkin ia belum mengerti, bahwa perasaannya mungkin jauh lebih luas dibandingkan hanya bahagia karena dapat mendengar celotehan Apo yang tidak ada habisnya.

Cukup lama dari sana, titik sadar Mile akhirnya menyeruak ke permukaan. Hari ke dua puluh ia duduk di kelas 9 dan Apo kelas 7. Hujan deras memenuhi kota pukul dua siang, waktu untuk pulang dari sekolah. Mile mengeluh kecil, ia tidak membawa payung. Namun langkahnya tetap tenang, ia berjalan melewati koridor lantai dua, sambil matanya melirik ke arah lapangan di antara bangunan-bagunan kelas.

Apo disana. Riak tawanya dari jarak sejauh inipun masih mampu terdengar oleh telinga Mile. Ia sedang asik bermain bola sambil menikmati air hujan yang jatuh mengikuti arah gravitasi. Kemeja putihnya sudah terlepas entah kemana, menyisakan kutang dan celana birunya saja. Kaos kaki dan sepatupun sudah tidak dipakainya.

Jika ibu Apo melihat ini, Apo mungkin akan dijewer dan dimarahi, lalu setelahnya Apo akan dihukum mencuci seragam sekolahnya sendiri. Namun yang melihatnya adalah Mile, yang meskipun rambut hitam kelam milik Apo lepek karena air hujan, kulit kecoklatannya yang terbakar matahari itu basah kuyup, serta telapak kaki tanpa alas itu terdapat beberapa luka, dan meskipun telah berkali-kali melihat Apo dalam keadaan seperti ini, baginya, Apo selalu berakhir dengan satu kata; indah.

"Mileeee!" teriakan itu nyaring, memenuhi indra pendengarannya meskipun bunyi hujan tidak kalah berisik. "Tunggu sedikit lagi sampai hujannya reda, kita pulang sama-sama, okay?" Kata yang bernada permintaan disusul dengan senyum manis Apo itu membuat Mile hanya mampu terdiam, mengangguk kecil.

Ia lalu mengambil langkah tenang, menuruni tangga ke lantai satu, duduk dikursi kayu yang dekat dengan lapangan sekolah. Senyum kecil menghiasi wajahnya yang rupawan.

Mile remaja yang kala itu masih berseragam putih biru akhirnya mengerti, meskipun Apo terlalu berisik untuk Mile yang tenang, perasaannya pada Apo mungkin lebih luas daripada yang pernah dikiranya. Mungkin.. suka?

Tidak.

Mungkin dia sebetulnya cinta.

Peace [Mile Apo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang