I'm All Ears.

508 82 4
                                    

Apo menarik napas panjang dan menghelanya perlahan sebagai bentuk usaha menenangkan diri. Matanya melirik dengan tajam dan tidak suka namun ia tetap harus bisa mengendalikan ekspresi. Tidak, tidak boleh, ucapnya pada diri sendiri.

“Mile, pulang..” bisik yang Apo harapkan terdengar biasa saja, justru ditangkap indra pendengaran Mile seperti sebuah rengekan pelan. Diulasnya sebuah senyum tipis yang sarat akan kebingungan, pasalnya Apo jarang sekali akan merengek didepan umum seperti ini. Ditambah jemarinya yang menarik ujung kemeja putih Mile pelan membuat Mile menarik sebuah kesimpulan, ada sesuatu yang membuat Apo tak nyaman.

“Sebentar lagi, ya?” kata Mile sambil berbisik ke telinga yang lebih muda.

Apo menatap Mile berang, diliriknya orang yang sedari tadi sibuk mengajak Mile berbicara. Bertanya ini itu dengan dalih ‘teman lama yang sudah lama tidak bertemu’ yang tentu saja ditanggapi Mile dengan baik, kekasihnya itu kadang terlalu polos untuk menangkap sinyal-sinyal bahaya. Namun Apo yang selalu memperhatikan secara detail tentu paham, binar mata dari orang itu pada Mile, tentu bukan hanya sekadar teman lama.

Apo mendengus pelan, tetapi ia tetap mengangguk, meskipun rasa tidak nyaman telah menggerogotinya membabi buta, menarik Mile pulang dari reuni SMA yang baru dapat terlaksana setelah sepuluh tahun tentu saja merupakan tindakan yang keliru. Kaki jenjangnya dengan hati-hati perlahan bergerak, keluar dari kerumunan beberapa orang yang tengah asik mengobrol dengan kekasihnya, ia berusaha tidak menimbulkan perhatian siapapun. Sesegera mungkin ia mengambil minuman yang tersedia, ditegaknya dengan cepat entah karena haus, atau rasa panas yang menggelegar dalam dada.

“Ayo, pulang.”

Baru beberapa menit, suara Mile tertangkap indra pendengarannya sembari menepuk bahunya pelan, sedikit mengagetkan Apo yang sedang termenung dengan gelas yang masih berada dalam genggaman.

“Eh, udah?” yang ditanya hanya menangguk sebagai jawaban. Mile bergerak dengan gesit, diselipkan jemarinya pada tangan Apo, digenggamnya erat seraya menuntun lelaki yang lebih muda dua tahun darinya itu keluar dari tempat reuni, menuju kearah parkiran.

“Kamu sakit?” Mile bertanya ketika Apo telah mendudukkan dirinya disamping kursi pengemudi, lelaki itu bahkan menarik tangan Apo kembali, membawanya dalam genggaman dan memberi afeksi berupa elusan pelan.

“Engga.”

“Kamu keliatan nggak nyaman tadi, aku pikir nggak enak badan.”

Apo menggeleng pelan, “Cuma mau pulang aja, Mile.”

Mile mengangguk, paham. Ia tahu Apo belum ingin berbagi tentang ketidak nyamanannya, bertahun-tahun bersama membuatnya mengerti bahwa Apo terkadang butuh waktu untuk mengutarakan perasaannya. Maka dibanding menuntut penjelasan, Mile memilih untuk memberi ruang. Namun bagi Mile, memberi ruang bukan berarti mendiamkan, maka sesekali jemarinya ia bawa ke arah jemari kekasihnya, diberinya elusan pelan ketika mereka berhenti di lampu merah.

Jealousy is a disease,” adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir merah muda Apo segera setelah Mile memarkirkan mobil di garasi penthouse mereka. “Maaf, aku pasti bikin suasananya nggak enak.”

“Aku tahu tingkahku tadi kekanakan, pasang muka jutek, minta kamu buat pulang ditengah kamu lagi asik-asiknya ngobrol, terus aku main pergi gitu aja nggak bilang-bilang kamu,” helaan napas samar Apo terdengar memenuhi ruangan mobil Mile, ia terdiam beberapa menit sebelum melanjutkan, “aku nggak suka, Mile, cara dia ngelihat kamu, ajak kamu ngobrol. Aku minta maaf. Aku akui tindakan aku hari ini nggak dewasa sama sekali.”

“Sayang, hei..” Mile meletakkan telapak tangannya pada rahang Apo, menuntun lelakinya itu agar melihat ke arahnya. Seulas senyum manis ia tampilkan membuat Apo mau tak mau ikut tersenyum, lega. Sedikit afeksi Mile berikan dengan mengelus rahang Apo dengan ibu jarinya.

“Terima kasih karena mau cerita,” dengan pelan diberikannya kecupan di dahi Apo sebagai bentuk apresiasi.

“Aku minta maaf karena aku bahkan nggak sadar kalau hal itu bikin kamu nggak nyaman. Tapi kamu juga pasti tahu kalau aku tadi benar-benar cuma ngobrol, dan aku nggak ada niatan buat lebih dari itu.”

Apo lantas mengangguk sebagai bentuk ia memahami maksud Mile.

“Jangan ngerasa nggak dewasa karena kamu cemburu, aku juga sering ngerasain itu. Justru dengan kamu pergi ambil minum buat nenangin diri dulu, mikir selama perjalanan sampai akhirnya kamu berani buat cerita ke aku, that’s a very good thing, aku bangga sama kamu, Sayang.”

“Mileeee..” sesegera mungkin Apo menarik Mile dalam pelukan, wajahnya ia simpan diceruk leher kekasihnya sambil menikmati aroma kegemarannya ditemani tepukan-tepukan pelan pada punggungnya. “Terima kasih, aku pikir kamu bakal marah.”

“Po, justru aku yang harusnya terima kasih sama kamu, dengan kamu cerita aku jadi ngerti, kamu nggak nyaman, dan aku bakal jauh lebih tahu gimana caranya bersikap kalau ada situasi kayak tadi. Mungkin aku bisa genggam tangan kamu sambil ngobrol, atau aku bisa aja ciu-, a-aduh, aduhhh, sakit jangan digigit lehernya Pooo..”

“Rasain, siapa suruh nakal.”

Mile tertawa mendengarnya, lantas dielusnya puncak kepala Apo penuh sayang, ditambah dengan kecupan pada hampir setiap sudut wajah Apo yang membuat Apo terkekeh geli.

“Seterusnya tetap kayak gini ya, Po, kalau ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku, jangan takut buat jujur sama perasaan kamu sendiri, karena apa yang kamu rasain itu valid. Kamu tahu, sekecil apapun itu, I’m all ears.”













|end|

Peace [Mile Apo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang