Dua Arah.

486 69 6
                                    

Menjalin hubungan bertahun-tahun tanpa ada masalah yang berarti menurut kebanyakan orang tak mungkin. Mile seminggu yang lalu terus terang saja akan menyanggah opini itu sebisa yang ia mampu, namun hari ini berbeda. Ritme bertahun-tahun antara ia dengan Apo, nyatanya tidak dinamis seperti sedia kala.

Matanya menerawang, menilik ke satu titik; orang lain yang berada dalam kamar kosannya yang tidak seberapa luas. Helaan napas berat saling bersahut menunjukkan dua orang dalam ruangan ini sedang tidak baik-baik saja. “Jadi.. benar?” Mile membuka suara pertama kali untuk memecah keheningan yang terpampang jelas di antara mereka. Apo terdiam, bingung harus bagaimana.

“Selingkuh ternyata buat orang jadi bisu.”

Apo menegak ludahnya, tangannya terkepal kencang, berusaha menahan tangis yang sedari tadi sibuk mencari cara untuk keluar. Ia yang mulanya tertunduk, perlahan mengangkat kepalanya, ditatapnya lelaki yang selalu menemaninya selama bertahun-tahun ini. Apo menelisik ke wajah yang pernah menjadi kegemarannya, tidak ada senyum cerah nan menawan seperti yang sudah-sudah, dan Apo cukup tahu diri bahwa ia adalah satu-satunya yang harus disalahkan akan hilangnya senyum itu.

“Aku minta maaf, Mile.”

Terdengar sahutan berupa decihan pelan setelah Apo berani mengeluarkan suaranya.

“Kenapa?”

“Aku minta maaf, Mile.”

“Apo, kamu tahu kamu bisa menyangkalnya dan aku akan percaya,” Mile berkata pelan sambil menatap Apo dalam, berharap bahwa semua ini tidak pernah ada karena meskipun nyatanya ini adalah fakta, jika Apo memilih untuk berdusta dan berkata bahwa ia tidak melakukannya, Mile akan dengan senang hati menariknya kembali dalam dekapan hangat sampai pagi.

Namun Apo, ia tidak ingin menyakiti lelaki sebaik Mile lebih dari ini. Maka dibanding berdusta seperti yang Mile harapkan, Apo justru menggeleng tegas. “Aku memang melakukannya.”

Mile menghela napasnya lagi, air mata mulai menetes namun ia sesegera mungkin menepisnya. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan disini, meskipun nyatanya memang demikian. Sesak dalam dadanya seperti muntahan lava yang siap untuk menyembur keluar kapan saja.

“Sejak kapan?”

“Tiga bulan yang lalu.”

“Kenapa?”

Apo menerawang, pikirannya sibuk berkelana kesana kemari, mencari-cari apa keunggulan dia bila disandingkan dengan Mile. Dalam kurun waktu tiga bulan, Apo mungkin merasa bahwa ia kembali menemukan sesuatu yang menyenangkan ditengah hubungannya yang biasa dengan Mile. Rasanya benar-benar menggairahkan. Namun ketika ia sampai dititik ini, melihat kearah Mile, laki-laki yang bahkan setelah ia khianati pun tetap memujanya dengan sangat, Apo tahu bahwa dia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan.

“Aku tidak tahu, Mile. Aku tidak tahu.”

Mile menatap Apo tidak percaya. Seminggu setelah ia mengetahui hal ini, Mile dirundung nelangsa, ia terus menatap cermin berkali-kali bertanya pada pantulan dirinya, apa yang kurang? Cinta sudah ia bagi tumpah ruah, kepercayaan sudah ia kasih sepenuhnya, perhatian tidak perlu lagi mengemis untuk didapat. Dan lelaki yang sudah ia beri segalanya ini tidak tahu alasan ia berkhianat? Sungguh ironi yang lucu.

“Mungkin aku jenuh..” Apo mulai menyuarakan hal yang mungkin menjadi penyebabnya. Ia menjeda sedikit, dengan hati-hati ia kembali melanjutkan, “hubungan kita berjalan begitu saja, berulang-ulang.”

Mile tertawa kecil, seolah alasan Apo adalah lelucon yang konyol. “Po, apa yang salah dengan berulang-ulang? Bukannya kebahagiaan yang didapat juga akan dirasa berulang-ulang?” Mile memberikan senyum tipis, ia lantas melanjutkan, “aku menikmatinya, Po, hubungan yang katamu begitu saja, nyatanya memberiku kebahagiaan berulang-ulang.” Mile kembali menepis air mata yang hendak jatuh membasahi pipinya yang saat ini berwarna kemerahan, entah menahan amarah atau pilu. “Tapi hubungan itu selalu dua arah, kan? Kalau ternyata sejauh ini cuma aku yang nikmati, rasanya aku egois sekali kalau memaksamu tetap disini,” Mile terkekeh lemah.

Apo memilin lengan bajunya, rasa bersalah tumpah ruah berceceran kemana-mana, dalam benaknya, ia berkali-kali mengutuk diri, ia tahu kelakuannya ini tidak memiliki pembenaran sama sekali. Alasan apapun tidak akan pernah menjadi alibi kuat untuk mewajarkan perselingkuhan, dan meskipun ia sadar betul ini salah, dengan bodohnya ia melakukannya.

“Aku minta maaf, Mile,” ketiga kalinya dalam kurun waktu yang singkat.

Mile mengangguk pelan, sudah cukup. Ia tidak tahan melihat Apo mengemis maaf, sesak yang ia rasa justru makin bertambah. Maka segera diberikannya kepada Apo sebuah senyum tulus terima kasih, bertahun-tahun yang ia bagi dengan Apo terasa sangat menyenangkan untuknya, dan meskipun akhirnya tidak sejalan dengan yang ia harapkan, Mile tidak ingin egois dengan mengedepankan sakit hatinya. Seperti memulai dengan baik, Mile ingin menyelesaikannya dengan baik pula.

“Peluk aku, Po,” pintanya pelan, mungkin untuk terakhir kali bagi mereka.

Apo mengangguk cepat, tangis yang telah ia coba tahan nyatanya sudah tidak terbendung lagi, rasa bersalah semakin bertumpuk ketika ia menarik Mile dalam pelukannya, diusapnya kepala lelaki itu sayang seperti yang sering ia lakukan. 

“Terima kasih, Mile. Terima kasih.”

Mile mengeratkan dekapannya, menghidu sebanyak mungkin aroma caramel yang selalu menjadi kegemarannya itu. Diberikannya sedikit kecupan pelan pada bahu lelaki yang selama ini telah menjadi sandarannya dikalah pelik, sebagai bentuk apresiasi dan terima kasih.

“Selamat tinggal, Apo.”

•••

Beberapa menit lalu Apo telah pergi, menyisakan Mile dengan kosong dan sakit hati. Diliriknya meja yang biasanya ia pakai bekerja, dengan gontai, ia membuka laci meja kayu coklat itu.

Tawa miris terdengar memenuhi kamar kosannya, bersamaan dengan kotak kecil berwarna merah maroon dalam genggaman.

Ah, mungkin bukan Apo orangnya, hiburnya pada diri sendiri.
















|end|
MAAF BARU UP LAGIIII:( dateng2 langsung bawa yang angst WKWK. eh cukup angst ga si iniii:( gatau dehhh, wkwk.

Peace [Mile Apo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang