06. Matahari dan bulan

29 4 0
                                    

13 Maret 1987

Malam ini bulan bersinar terang seperti wajah Mentari sekarang. Entahlah, dia hanya merasa malam ini terasa istimewa dari malam-malam sebelumnya.

"Bulannya terang banget," gumamnya.

"Cantik, sepertimu." suara yang tak asing muncul dari belakang Mentari.

Dia menengok ke belakang dan menemukan Erthan tengah memandangnya sembari tersenyum.

"Er? Kenapa kemari?" tanya Mentari dengan nada kesal.

"Kenapa? Kau marah?" Erthan berjalan mendekat kearahnya.

"K-kau pergilah! Menjauh!" teriak Mentari.
Namun bukannya menjauh, Erthan malah semakin berjalan mendekat kearah Mentari.

"K-ku bilang menjauh!"

Erthan memberhentikan langkahnya, dia berpikir kalau ada yang salah dengan gadis di depannya ini.

"Kau....kenapa?" tanya Erthan dengan nada khawatir.

"Aku tidak mengenalmu, pergilah."

"Hey, coba lihat aku, apa kau benar-benar tidak mengenalku?" tanya Erthan.

"Aku temanmu, Mentari."

"Teman? Tapi kenapa saat aku kesulitan kau tak datang?" tanya Mentari.

"Kapan kau kesulitan? Kenapa tidak mencariku?"

"Kemarin, aku ada ujian, ku pikir kau akan datang kemari dan aku akan meminta bantuanmu untuk mengajariku. Aku menunggumu sampai malam, tapi ternyata kau tidak datang," jawab Mentari.

Erthan menepuk dahinya. "Astaga, maaf. Kemarin kakakku datang kemari, jadi aku harus terus bersama mereka."

"Maaf, ya?" ujar Erthan lirih.

Mentari hanya menganggukkan kepalanya saja.

"Apa ada yang perlu aku bantu lagi? Atau kau mau apa? Untuk menebus kesalahanku."

"Apa kau mau menemaniku melihat bulan malam ini?" tanya Mentari.

"Hanya itu? Tentu saja bisa," sahut Erthan.

"Kenapa hanya ada bulan? Kenapa tak ada bintang?" Mentari melirik kesana kemari.

"Bintangnya takut denganmu," ledek Erthan.

"Ck! Mana ada," decak Mentari.

"Er," panggil Mentari.

Erthan melirik kearah Mentari. "Ya?" sahutnya.

Mentari tersenyum sekilas dan berkata, "Kita sama seperti matahari dan bulan, ya?"

"Maksudnya?"

"Matahari dan bulan yang saling menyayangi tapi tak bisa memiliki, dan tak akan pernah bisa bertemu."

"Itu tidak benar. Apa kau lupa kalau ada gerhana matahari? Disitulah matahari dan bulan bertemu. Meski waktunya singkat, namun mereka pernah merasakan yang namanya pertemuan. Jadi kalau kau bisa bersabar dan terus berjuang, pasti akan bisa bertemu, walau nantinya kau tak bisa memilikinya."

"Apa kita sama seperti itu?" tanya Mentari.

"Belum tentu, kita tidak tahu takdir kita akan seperti apa," jawab Erthan sambil mengelus rambut indah gadis didepannya ini.

Mentari kembali menatap bulan diatas sana. "Kenapa kau mau berteman denganku?"

"Kau tau? Sejak kecil aku tak pernah punya teman. Hanya bermain di dalam kamar dan di dalam rumah saja, karena ayah melarangku berteman dengan siapapun. Bahkan aku hanya bisa memandangi anak-anak yang bermain bola dari atas balkon saja." Erthan tersenyum tipis mengingat masa kecilnya yang sama sekali tidak punya teman.

"Er—"

"Aku terus berusaha baik-baik saja, walau sebenarnya banyak luka yang ku pendam."

"Eum, sebenarnya aku ingin cerita sesuatu," ujar Mentari.

Erthan mengernyit kala melihat gadis didepannya tengah menunduk sambil memilin pakaiannya.

"Aku... Dari tahun 2022, aku tak sengaja masuk ke mesin waktu dan tiba di sini," jelas Mentari.

"K-kau? Jadi tentang teori mesin waktu di masa depan itu benar?" Erthan masih bingung dengan penjelasan gadis itu.

Mentari mengangguk, "Benar," jawabnya.

"Wow, lalu bagaimana masa depan?"

"Dunia rusak. Bumi dipenuhi sampah, dan manusia.... Menjadi egois," ucap Mentari dengan nada lirih.

"Egois?" tanya Erthan.

"Ya, semua manusia hanya ingin untung, tapi tidak ingin rugi. Semuanya tergila-gila pada uang, tapi tak mau berusaha. Ribuan hati wanita telah tersakiti oleh laki-laki. Banyak anak yang di banding-bandingkan oleh keluarganya, sehingga membuat anak itu tertekan mentalnya."

Erthan yang mendengar penjelasan dari gadis itu hanya terdiam.

Mentari menengok kearah Erthan yang diam saja mendengar penjelasannya, "Rusak, kan?" tanyanya.

"Kau beruntung hidup di masa ini, Er. Apa lagi kau anak kesayangan tuan besar, kau pasti tak akan tahu rasanya dibanding-bandingkan," ujar Mentari sambil menepuk pundak Erthan.

"Sebenarnya aku rindu dengan ayah ibuku disana. Tapi entah kenapa aku nyaman di sini. Walau nantinya aku akan keluar dari sini, aku tetap mengingat betapa nyamannya tempat ini. Dan aku juga akan mengingat temanku yang satu ini." Mentari mencubit hidung Erthan.

"Kau nantinya akan pergi dari sini?" tanya Erthan.

"Ya, tapi aku tak tahu kapan aku keluar dari sini," jawab Mentari.

"Mari terus bersama selamanya, di mana pun."

"Aku berjanji tak akan melupakanmu meski aku telah kembali ke masa depan."

•••

Bunga Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang