14. Kemarahan

28 6 0
                                    

22 Maret 1987

Erthan memandangi wajah pucat gadis yang masih tidak sadarkan diri di depannya ini.

"Kenapa belum sadar? Apa kau tidak ingin bersamaku lagi? Kau tidak ingin melihatku lagi, ya? Kau marah padaku, kan?" Air matanya tanpa sadar menetes membasahi pipinya. "Ayo bangun, kita akan ketaman dan memetik bunga mawar bersama."

"Tuan muda." Dari ambang pintu, Antono memanggil Erthan.

"Tuan muda dipanggil tuan besar keruang pribadinya," lanjutnya.

"Baik, saya akan kesana nanti," sahut Erthan.

"Tuan besar bilang kalau tuan muda harus kesana sekarang," sela Antono.

"Sekarang?" tanya Erthan. Mungkin ada hal penting yang ingin ayah bicarakan sekarang, Batin Erthan.

"Baik, saya kesana sekarang."

Sebelum pergi, Erthan melirik kearah Mentari sejenak, jujur sebenarnya ia tak rela meninggalkan gadis itu sendiri dengan keadaan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, jika ayahnya sudah memerintah, maka itu tak bisa di tolak.

Dengan terpaksa Erthan pergi meninggalkan gadis itu sendiri. Ia berjalan kearah ruang pribadi ayahnya dengan keadaan gugup.

Tok

Tok

Erthan mengetuk pintu kamar ayahnya berulang kali, namun tidak ada yang membukakan pintu.

"Aya—"

Saat akan memanggil sang ayah, tiba-tiba pintu terbuka dan Eric muncul dari dalam dengan raut wajah menahan amarah. Hal itu lah yang membuat Erthan seketika gemetar.

"Masuklah," titah Eric.

Erthan mengangguk, berusaha untuk tetap biasa saja dan tak gugup. Namun sepertinya tak bisa, ia sudah melihat wajah ayahnya yang menahan amarah. Ia sepertinya tahu apa yang ingin ayahnya bicarakan.

"Kau ada hubungan apa dengan gadis itu?" tanya Eric.

Ya, benar dugaan Erthan, ayahnya itu pasti menanyakan tentang dirinya dan Mentari.

"Kami hanya sebatas teman, ayah," jawab Erthan.

"Teman? Kau berteman dengan anak seorang koruptor? Kau benar-benar mudah sekali di tipu, Erthan. Kau hanya di manfaatkan oleh gadis itu untuk membebaskan keluarganya."

"Dan, ya! Sepertinya kau dan dia bukan hanya sebatas teman. Ayahmu ini tahu kalau kau memyukai gadis itu," celetuk Eric.

"Tidak, Ay—"

"JAUHI GADIS ITU SEKARANG!!" bentak Eric.

"Kau ingin gadis itu aman, kan? Maka jauhi dia mulai sekarang!"

Tangan Erthan mengepal, jika saja yang di depannya ini bukan ayahnya, maka dia tak segan segan untuk memukulinya.

Erthan menghembuskan nafasnya. "Bagaimana jika aku menolak?" tanyanya sembari menaikkan sebelah alisnya.

Eric menatap tajam kearah putranya itu. "Jadi kau ingin menolak? Maka ayah tak segan segan membunuhnya beserta keluarganya juga," balas Eric.

"APA MAKSUD AYAH?!" bentak Erthan.

Baru kali ini Erthan membentak ayahnya, entah dapat keberanian dari mana sampai-sampai ia membentak sang ayah.
"Wow, jadi kau sudah berani membentak ayahmu? Pasti kau seperti ini karena pengaruh gadis itu."

Eric tersenyum miring. "Jika kau ingin gadis itu selamat, maka menikahlah dengan gadis pilihan ayah," bisiknya ditelinga Erthan.

Bunga Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang