09. Adwilson Family

24 3 0
                                    

17 Maret 1987

Disinilah Erthan berada, diruang pribadi milik ayahnya bersama dengan kedua kakaknya.

"Apa kita akan terus berdiam seperti ini?" Eric menatap satu persatu anak-anaknya dengan tatapan tajam.

"Saya mengumpulkan kalian disini untuk menanyakan sesuatu, bukan saling diam seperti ini," ujar Eric.

Erthan mengernyitkankan dahinya, tak biasanya ayahnya mengumpulkan anak-anaknya seperti ini hanya untuk menanyakan suatu hal.

Eric melirik Hellena yang menundukkan kepalanya, "Hellena Adwilson, menghadap ke saya," ujarnya.

"Iya, ayah," sahut Hellena.

Hellena tau, ayahnya akan menanyakan soal apa nantinya.

"Kemarin Hars bilang kalau kau dan dia sedang ada masalah. Apa kau sebagai perempuan tidak becus mengurus rumah tanggamu? Apa ibumu itu tidak mengajarkanmu cara mengurus suami dengan benar? Apa kau yang egois, tidak mau mengurus suamimu?"

Hellena hanya mampu menunduk dan tak mampu memberi jawaban atas pertanyaan sang ayah.

Ekal dan Erthan hanya menunduk, mereka tak mampu melawan ayah mereka ataupun memotong pembicaraan ayahnya itu.

"Jawab!" bentak Eric.

"H-hanya masalah sepele, ayah. Aku akan segera menyelesaikan masalah itu dengan Hars secepatnya. Aku berjanji," jawab Hellena.

"Baguslah, kau bisa pergi dan uruslah kedua anakmu yang berisik itu."

Setelah mendapat perintah dari sang ayah, Hellena segera pergi dan meninggalkan ruang pribadi Eric.

"Ekal, kenapa nilai ujianmu belakangan ini turun?" tanya Eric dengan nada halus namun dengan tatapan tajam.

"Apa kau mau mempermalukan keluarga ini? Apa kau mau keluarga ini disebut keluarga terbodoh? Kau berniat menghancurkan nama baik keluarga ini?"

"Tidak, ayah," jawab Ekal.

Eric berdiri dan menyeret Ekal sampai diambang pintu, "Maka pergi dan belajarlah sekarang!" usirnya.

Ekal memgangguk dan segera pergi dari ruangan—lebih tepatnya neraka itu.

"Erthan Adwilson," panggil Eric.

"Ya?" sahut Erthan dengan wajah datarnya.

"Belakangan ini Laila selalu bilang kalo ia memergokimu sering berjalan kearah kamar sandera. Untuk apa kau kesana?" tanya Eric.

Dasar pelayan sialan, batin Erthan.

"Hanya sedang tidak tahu ingin melakukan apa. Jadi, aku berjalan hingga kesana, lalu kembali lagi kekamar." Nada bicara Erthan tidak gugup dan terlihat serius, itulah yang membuat Eric percaya dengan perkataan putra bungsunya itu.

"Oh, ya. Kemarin ibumu bilang kau membaca buku tantang teori mesin waktu. Kau senang dengan hal-hal seperti itukah sekarang?" Eric menatap Erthan dengan tatapan serius, mencoba mencari kegugupan dalam diri anaknya. Namun nihil, Erthan sepertinya tidak gugup sama sekali.

"Ya, aku suka mencari tahu tentang hal baru, dan aku ingin tahu tentang masa depan. Jadi aku membaca buku itu. Tidak ada hal lain, kan? Apa aku bisa pergi?"

Eric mengangguk, "Kau putraku yang paling hebat."

Tidak hebat, hanya pandai menyembunyikan kegugupan saja, batin Erthan.

"Kau bisa pergi, nak."

••••••

"Erthan," panggil Ekal dari didepan pintu kamar Erthan.

Erthan membuka pintu dengan raut wajah lesu, "Ada apa, kak?" tanyanya.

"Ibu memanggil kita untuk makan sekarang," jawab Ekal.

"Ck, tadi ayah, sekarang ibu. Apa tidak bisa beristirahat sebentar saja?!" gerutu Erthan.

Ekal terkekeh, "Ibu menyuruh makan, bukan menggerutu di depan pintu begini."

"Iya, aku kesana."

Mereka berdua berjalan beriringan menuju meja makan.

"Bagaimana tadi? Apa kau dibentak ayah?" tanya Ekal.

"Tentu tidak, aku orang terhebat yang pandai menyembunyikan kegugupan," celetuk Erthan.

"Haha, dasar sombong. Lain kali ajari aku juga," kekeh Ekal.

"Tentu saja, tapi tidak gratis."

"Dasar."

Tanpa mereka sadari, kini mereka telah sampai diruang makan keluarga.

"Apa kalian naik siput kemari? Kenapa lama sekali?!" Eric menatap tajam kearah Ekal dan Erthan.

"Sudah, sudah. Makan saja, ayo," sela Elya.

"Anna, Harris," panggil Elya pada kedua putra putri Hellena.

Anna berusia 7 tahun dan Harris berusia 4 tahun. Kedua anak itu masih sering bertengkar meski sudah besar.

"Yes, grandma!" sahut keduanya secara bersamaan.

"Kalian tidak lapar?" tanya Elya.

"No, Harris ndak laper," jawab Harris dengan wajah lugunya.

"Oh, ya? Anna apa kau lapar?"

"Nggak, grandma. Anna masih mau main sama boneka, makannya nanti aja," jawab gadis itu.

"Hm, baiklah jika kalian tidak ingin makan."

"Biarkan saja mereka, kita sudah menunggu lama disini," ujar Eric.

"Baiklah, tampa menunggu lama lagi, kita mulai saja."

Ketika perintah keluar dari mulut Eric, tak akan ada yang bisa membantahnya. Dan kalau belum diperintah, mereka tidak akan melakukannya. Itulah peraturan keluarga ini.

Dalam diamnya Erthan, dia sedang memikirkan tentang apa yang ia baca semalam.

Apa aku harus memberitahunya?  Pikir Erthan.

Keheningan terjadi dimeja makan itu, hanya ada suara dentingan sendok. Tak sama seperti keluarga pada umumnya yang makan dipenuhi obrolan ataupun candaan.

••••••

Misi misii
Pa kabar bestie?

Jangan lupa Vote and komen ya ges ya






DeRohaa_

Bunga Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang