13. Terungkap

15 4 0
                                    

21 Maret 1987

Pagi-pagi sekali, Erthan mengumpulkan seluruh pelayan dapur dan Erthan juga menyuruh Laila untuk kumpul bersama pelayan itu.

"Saya mengumpulkan kalian di disini karena ingin meminta kalian untuk jujur," uhar Erthan.

"Saya ingin bertanya pada kalian semua, siapa yang kemarin membawakan makanan kekamar sandera?" tanya Erthan.

Berarti rencana ku untuk membuat gadis itu celaka, telah berhasil, Batin Laila.

Bu Siti mengangkat tangannya. "Saya yang mengantarnya, tuan muda," ucap Bu Siti.

"Kalau begitu bisa ikut saya sebentar?" tanya Erthan dan dijawab anggukkan oleh Bu Siti.

Erthan berjalan pergi meninggalkan dapur dan Bu Siti mengikutinya dari belakang.

Mereka sampai didepan pintu kamar Ekal. "Bu Siti tunggu sini sebentar, saya ada yang perlu dibicarakan dengan kakak saya," ujar Erthan.

"Baik, tuan muda."

Kemudian Erthan memasuki kamar Ekal dan melihat kakaknya sedang membaca sebuat buku.

"Kak," panggil Erthan.

"Iya," sahut Ekal.

"Orang yang mengantar makanan kekamar Mentari adalah Bu Siti, jadi apa dia pelakunya?"

Erthan adalah tipe orang yang tidak suka basa basi, jadi dia akan langsung mengatakan apa yang ingin ia katakan.

"Tidak mungkin, Erthan. Kau tahu sendiri kalau Bu Siti adalah orang yang paling baik disini, bahkan beliau suka memberikan makanan pada anak jalanan, " ujar Ekal.

"Kau benar, kak. Jika aku berhasil menemukan pelakunya, aku tak segan segan mengusirnya dari sini."

Ekal menepuk pundak Erthan. "Coba kau tanya pada Bu Siti, siapa yang menyuruhnya mengantar makanan kekamar gadis itu," sarannya.

"Baik, aku akan menanyakannya sekarang."

Setelah mengatakan hal itu, Erthan pergi dari kamar Ekal.

"Ternyata benar kalau cinta itu buta," gumam Ekal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

••••••

"Bu Siti," panggil Erthan pada wanita paruh baya di depannya ini.

"Iya, tuan?"

"Bisa bicara dengan saya? Emm, kita bicara ditaman saja, mari ikut saya."

Erthan berjalan mendahului Bu Siti dan Bu Siti terus mengikuti Erthan dari belakang.

Mereka berhenti di taman yang biasa Erthan datangi, tempatnya sepi, jadi cukup tenang untuk membicarakan hal penting di sini.

"Saya ingin menanyakan sesuatu pada Bu Siti." Erthan mulai membuka suara. Pria itu menatap kearah mata wanita paruh baya di depannya itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Siapa yang menyuruh Bu Siti untuk mengantar makanan kekamar gadis itu?" tanya Erthan.

"Boleh saya ceritakan dari awal, tuan?" Bu Siti balik bertanya, hal itu membuat Erthan mengernyit.

"Tentu, ceritakanlah."

"Kemarin saya sedang menaburkan racun tikus didapur karena belakangan ini banyak tikus didapur. Dan tiba-tiba Laila masuk kedapur, hal itu sempat mengejutkan saya—"

"Tunggu, Laila? Bukannya pelayan seperti Laila tidak di izinkan memasuki dapur?" tanya Erthan menyela ucapan Bu Siti.

"Hah? Siapa yang mengatakan seperti itu, tuan? Semua pelayan boleh memasuki dapur tanpa izin, bahkan tukang kebun, penjaga, dan lainnya boleh memasuki dapur. Siapa yang bilang tidak?"

Perkataan Bu Siti barusan mampu membuat Erthan mengernyitkan dahinya. "Tidak ada, lanjutkan saja ceritanya," ujarnya.

"Baik. Setelahnya Laila bertanya saya sedang apa, dan saya menjawab kalau saya sedang menaburkan racun tikus. Setelahnya saya melihat menggunakan ekor mata saya, Laila sempat tersenyum miring seperti difilm-film itu tuan. Dan setelahnya dia meminta saya untuk mengantarkan makanan itu dan dia yang menaburkan racun tikusnya. Saya memgangguk saja, sebelum memegang piring itu, saya mencuci tangan terlebih dahulu. Setelah itu saya pergi mengantar makanan kekamar gadis itu. Kurang lebih ceritanya seperti itu, tuan." Bu Siti menghembuskan nafasnya ketika selesai bercerita panjang lebar.

Sekarang aku tahu siapa pelakunya, Batin Erthan.

"Emm, tuan," panggil Bu Siti.

"Ya?"

"Kalau dilihat-lihat, gadis itu cantik, dan baik hati. Apalagi kelihatan gadis itu cocok dengan tuan," celetuk Bu Siti.

Bu Siti kemudian menutup mulutnya ketika sadar dengan ucapannya barusan. "Aduh, maaf kalau saya sangat tidak sopan, tuan!"

Erthan terkekeh. "Perkataan Bu Siti membuat saya semakin semangat untuk menemuinya," kekehnya.

"Baiklah, Bu Siti boleh pergi sekarang."

"Terimakasih, tuan." Bu Siti membungkukkan badannya terlebih dahulu, setelahnya ia meninggalkan area taman.

"Laila, sepintar apapun dirimu, kau takkan bisa mengalahkan kebenaran," gumam Erthan.

••••••

"LAILA!" teriak Erthan di depan pintu kamar Laila.

"Tuan muda, ada apa kemari?" Wajah Laila terlihat gugup melihat Erthan berteriak.

"Wow, masih sempat-sempatnya kau bertanya?! Cih, sepertinya kau benar-benar wanita murahan," sindir Erthan.

"Apa maksud tuan?!" bentak Laila.

"Ya, kau wanita murahan! Kau selalu berusaha menggodaku dengan menunjukkan wajahmu yang menurutmu cantik, dan kau sengaja memakai rok pendek, kan? Bagi laki-laki diluaran sana mungkin kau cantik, tapi bagiku itu semua menunjukkan kalau kau wanita murahan!" balas Erthan.

"Tuan sudah kelewatan—"

"Ya! Saya sudah kelewatan. Saya sudah kelewat marah padamu, saya ingin sekali mengusirmu secepatnya dari rumah ini!" ujar Erthan menyela ucapan Laila.

"Tapi kenapa?!" Laila masih terus berusaha mengelak.

"Kau bertanya? Saya tau kamu pelakunya, saya tahu kamu yang menaburkan racun itu kemakanan dan minuman Mentari!"

Laila mendadak bungkam, ia tak tahu lagi harus apa. Erthan sudah mengetahui kalau dialah pelakunya.

"Kenapa diam? Tidak bisa mengelak lagi? Saya benar, kan?"

"Kalau begitu, SAYA AKAN MENYERETMU KELUAR SEKARANG JUGA!"

Erthan menarik lengan Laila dan menyeretnya keluar dari rumah.

"Tuan tolong lepaskan, saya minta maaf," ujar Laila.

"Tidak ada lagi kata maaf untukmu."

Erthan menyeret gadis itu hingga sampai didepan gerbang. "Pergi sekarang! Saya harap kamu tidak lagi datang kemari dan mengusik kehidupan saya," ujarnya.

"Tuan—"

"KUNCI PAGARNYA SEKARANG!" titah Erthan pada para penjaga.

"Tuan tolong dengarkan aku!" teriak Laila.

Namun Erthan tak peduli, ia meninggalkan gadis itu diluar gerbang yang terkunci.

••••••




Bunga Terakhir [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang