Bagian 2

2.2K 174 2
                                    

"Karena di Jakarta, semua orang berada in the state of trying. Trying to get home, trying to get to work, trying to make money, trying to find a better sale, trying to stay, trying to leave, trying to work things out."Ika Natassa from the Novel "Critical Eleven"

***

Gevariel

Gym dan Weekend di kamus gue nggak akan pernah terpisahkan. Apapun yang terjadi gue harus memberikan waktu minimal 1 jam untuk sekedar running di treadmill atau angkat beban. Apalagi karena belakangan ini sering duduk, back pain gue pasca cedera beberapa tahun lalu jadi sering sakit. Yah, maklum karena umur juga yang udah mulai jompo.

"Gio? Gevariel Giovanni?"

Gue udah sangat tahu orang-orang yang memanggil dengan panggilan ini adalah orang yang gue kenal sebelum kuliah. Karena nama pertama gue memang adalah nama baptist, bukan benar-benar given name dari orang tua. Dan untuk mayoritas orang Indonesia, itu nggak lumrah buat manggil nama orang dengan nama baptis mereka.

Gue menekan tombol untuk menurunkan intensitas kecepatan treadmill, sembari mencari sumber suara siapa yang memanggil gue.

"Eh, Timot!"

Bener aja. Si Oliver Timothy, temen gue dari zaman nakal-nakalnya pas SD. Karena kebetulan dulu kami tinggal di satu kompleks yang sama, hanya beda beberapa rumah.

Hm, sahabat? Mungkin di SD iya, tapi ketika memasuki SMP apalagi SMA preferensi kita sangat berbeda. Saat SMP kita berbeda kelas dan berbeda gedung, minat kita ke olahraga juga beda jadi jarang bertemu. Gue fokus ke voli, sementara Timothy ke basket, dan sisa-sisa waktu di sekolah kami pakai untuk mengejar ketertinggalan jam belajar reguler. Belum lagi pulang sekolah yang sudah sore, jadi lebih sore lagi karena harus latihan club.

Sewaktu SMA seingat gue kita beda jurusan. Gue ngambil IPA dan dia ngambil IPS. Sekali lagi berbeda gedung. Entah kenapa sekolah di Indonesia tuh mayoritas seperti ini, sangat suka membeda-bedakan orang. Nggak adil.

Belum lagi kejuaraan voli dan basket semakin ketat, lalu gue yang dengan begonya ngambil olimpiade Fisika dan Timothy yang ngambil kelas bahasa Rusia. Benar-benar nggak ada waktu buat diri sendiri. Wew, it was tough back then.

"Bro, sehat lo? Lanjutin aja, habis ini bisa ngopi bareng dulu yuk. Udah lama nggak," kata Timothy dan gue memberikan jempol dengan tangan kiri sebagai jawaban menyetujui ajakannya. Lalu, fokus kembali ke treadmill gue.

Masih ada 30 menit lagi untuk melepaskan dopamine-dopamine yang nggak bisa gue lepasin di ranjang beberapa bulan ini karena Kezia di Papua. Ngeluarin sendiri di umur segini juga udah nggak level. Menyedihkan memang.

***

Gue udah keluar dari shower room lebih dulu daripada Timothy karena harus memasang tapping di punggung dan lutut ke arah paha. Biasalah saran dari dokter untuk menghindari cidera. Sebelum olahraga juga gue pake dan sesudahnya juga. Seriously, ini benar-benar membantu pergerakan gue jadi nggak kagok setelah lari lumayan lama.

Thanks technology.


"Ngopi di bawah aja ya kita bro?" Gue menengadah melihat Timothy yang sudah selesai mandi, rapi dan siap cabut. Sementara gue masih T-shirt less dan belum memakai sepatu. Masih jauh dari kata siap.

Dia melihat gue yang masih rempong dengan segala per-tapping-an ini bertanya, "Cidera lo masih sering kambuh, Gi?"

"Nggak kok. Saran dari dokter aja, jadi gue ngikut deh."

"Emang ya si bapak satu ini paling patuh sama peraturan. Benar-benar nggak berubah," katanya geli. "Ya, mau gimana lagi. Old habit die hard, beneran ternyata."

Gue menertawakan diri sendiri. Kemudian fokus kembali memasang tapping dengan posisi yang dianjurkan oleh dokter.

"Sorry nih, jadi lama." Basa-basi aja sebenarnya gue, biar nggak terlalu terlihat jahat membuat orang lain menunggu. Kaos yang sejak tadi ada di samping gue sekarang sudah terpakai dengan sempurna, dan selanjutnya sepatu.

"Take your time. Starbucks juga nggak bakal lari kemana." Sialan lo Timothy! Gue jadi nggak keliatan paling baik kan disini. Bisa-bisanya dia ngambil spot gue sebagai tokoh utama di cerita ini.

"Udah nih, yuk."

***

"Bokap sama nyokap gimana kabarnya bro?"

"Basa-basi banget sih lo. Kan lo yang paling tahu." Timothy tertawa mendapati respon gue. Jelaslah pria ini paling tahu apa yang terjadi. Bukan, bukan karena orang tuanya bercerita langsung pada Timothy, tapi karena nyokap gue sudah pasti bercerita kepada nyokap pria itu.

"Ya, gue kan pengen nanya. Biar gue bisa menilai, my long lost friend ini durhakanya udah sampai level mana," katanya diakhiri dengan kekehan geli yang membuat gue pengen langsung menonjok tampang itu.

"Bangsat!" Dia langsung tertawa karena umpatan gue. Siapa lagi yang bakal tertawa setelah diumpati kalau bukan Timothy Edwin Tjandra? Bobrok banget emang temenan sama ini orang.

"But, seriously bro, bokap lo nggak marah dengan keadaan lo sekarang, you know what I mean?"

Orang yang berhak menanyakan hal ini hanyalah Oliver Timothy semata. Sebagai orang yang paling lama kenal sama gue dan tahu seperti apa keluarga gue serta situasinya sekarang, dia memang yang paling berhak.

"Lo tahu sendiri jawabannya," jawab gue lalu menyesap Ice Caramel Macchiato. Udah pasti seorang Mario Garjita Harnanda akan marah besar kepada putera satu-satunya yang resign dari law firm internasional ternama dan pulang ke Indonesia menjadi seorang dosen. Mau ditaruh dimana muka pria itu.

"Mungkin kalau tante Jes masih sama om Mario, gue bakal tahu jawabannya. No offense. Now, it's different, no? Kali aja outcomes beda."

Gue nggak menjawab apapun, ya karena memang nggak ada pertanyaan yang harus gue jawab dari Timothy. Oh ya, satu lagi nama nyokap gue itu Alice Agatha, gue juga masih nggak ngerti kenapa dia nyebutnya tante Jes. Dari dulu udah kayak begini sih emang ini bocah satu.

"Life is funny, man. Gue baru merasakannya beberapa tahun ini."

"Hm?" Timothy melanjutkan setelah mendapatkan tatapan bingung dari gue.

"Lo ingat Chelly nggak? Itu lho anak voli yang ngejar-ngejar lo dulu pas SMA." Walaupun ingatan gue agak samar, tapi gue ingat anak itu. Dia ngasih hadiah ulang tahun selama 3 tahun ketika gue berulang tahun. Bahkan beberapa kali ngirimin kue ke rumah gue. Effort banget aseli anaknya, sayangnya waktu SMA gue nggak fokus ke hal begituan.

"I'm going to marry her in two weeks."

"Bangsat!" Pekik gue, yang langsung mendapatkan tatapan memicing dari orang-orang disekitar.

Gue langsung memelankan suara gue, "Bangsat! Lo nggak ngehamilin anak orang kan?"

"Sialan lo. Gini-gini gue main aman. Lagipula ini udah lama beritanya, coba lo tanyain semua teman-teman kita, mereka udah pada tahu semua. Lo aja yang susah dihubungin."

"Eh, tapi waktu bukber kemaren kok nggak diomongin?" Gue masih penasaran. "Gevariel Giovanni Harnanda, okay take out that Hernanda, kan udah gue bilang ini beritanya udah lama banget. Gue udah sebar undangan dari sebulan yang lalu, bahkan ada yang 2 bulan karena mereka sok sibuk semua harus RSVP jadwalnya. Jadi, ya udah basi untuk diomongin."

Okay. Timothy kalau udah ngomel gini nggak bakal ada habisnya. Gue memberikan tanda "peace" dengan tangan kanan gue. "Oh, okay-okay."

"Jadi lo bisa dateng kan?" Gue mencibir langsung, "Ngundang aja kagak lo."

"Heh, onta! Gue bahkan ngirimin undangannya ke Aussie ya. Lo meriksa message box nggak sih? Ampun deh."

"Sorry, bro. Kayaknya itu nyampe pas gue udah di Indo deh." Kata gue merasa bersalah pada pria ini yang hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan gue.

"Jadi, bisa dateng kan? Gue maunya lo jadi best man gue pas pemberkatan sih bro. How?"

"Serius lo mau gue? Gue nggak janji nih tapi kayaknya kalo gue jadi best man, semua perhatian bakal ke gue. Bukan ke lo."

"Bangkeh!"

Alexandra

"Bun, gue cabut dulu ya. Mau ke Chelly di bawah."

Sebagai tamu yang sangat baik hati dan nggak sombong, gue berpamitan pada Grace. Ya walaupun sebenarnya gue bisa aja mondar-mandir tanpa ngomong ke dia.

"Okay, sister. Cek handphone lo ya, siapa tahu gue kepikiran mau nitip-nitip." Jawabnya yang sedang melakukan yoga di balkon.

"Iye. Cabut ya." Gue sedikit berteriak padanya sebelum menutup pintu. Lalu, gue mendengar dia yang menjawab dengan volume suara yang hampir sama dengan gue, "Yoo."

Unit Chelly juga di Sudirman Park, hanya beda beberapa lantai dari Grace. Kalau Grace di lantai 28, Chelly ada di lantai 21. Biasanya gue juga akan nginep di Chelly, tapi sejak 2 tahun yang lalu nggak lagi. Karena pacarnya Chelly juga sering nginap di unit wanita itu. Biasalah living together sebelum married to each other.

Budaya metropolitan, oh budaya. Neraka jalur prestasi banget nggak nih?

"My baby love Alex!" Sapaan wanita itu ketika membuka pintu dan langsung memeluk, menarik, gue masuk. "Ampun! Nggak bisa napas woy!"

Wanita itu tertawa dan melepaskan pelukannya pada gue. "Kangen banget!"

"Apaan deh, minggu kemaren baru juga ketemu. Lho, si Timothy mana? Tumben nggak bang-bang malam mingguan gini." Iya, maksud gue bang-bang itu apalagi kalau bukan ngewe. Oppss. Oh ya, pacar or soon to be husband si Chelly ini adalah Timothy.

"Eh, tuh masakan. Gosong nanti."

Perbedaan terbesar antara Grace dan Chelly adalah seputar memasak. Gue juga sebenarnya termasuk sih. Lebih tepatnya, gue dan Grace berada dalam satu tim. Sementara Chelly solo player.

Marchelly Ananda Putri, yang biasanya gue panggil Chelly ini, adalah sosok istri yang diidamkan semua laki-laki. At least telah memenuhi standar gue. Anaknya pinter masak, nggak neko-neko, dan pastinya pinter nyari duit. Sama yang paling penting, pinter juga diranjang. Aw. Nggak heran Timothy tahan banget dengan wanita ini.

"Gue lagi dateng bulan," jawab Chelly dengan raut wajah sedih sambil mengaduk masakannya. Gue memberikan respon dengan ber-oh-ria dan mendudukan diri gue di set meja makan sambil memandangi Chelly.

"Pantesan. Tapi kan masih bisa BJ. Tertunda lagi dong neraka jalur prestasinya?"

"Bangkeh lo."

Dan kami tertawa karena jokes prestasi jalur neraka ini. Dasar tuwir, jokes kayak gini aja bisa bikin tertawa.

"So, how was Bandung? Udah dapet Aa-Aa Bandung belum?" Tanya Chelly dengan cekatan mengambil mangkuk karena masakannya sudah matang.

"Belum, nih. Nggak ada waktu, sis. Lagi lieur sama kerjaan. Cariin dong, please."

"Bun, gue udah sering banget nyariin. Tapi selalu lo tolak karena selera lo itu sulit dijangkau. Mana ada orang seganteng Armie Hammer di Indonesia raya ini."

"Soalnya yang lo kenalin semua beda agama. Gimana sih?"

"Sister, emang susah sekarang. Gue aja nyarinya susah banget baru nemu yang tepat dan ternyata ujung-ujungnya teman SMA."

Gue langsung tertawa puas. "Kan? Gue bilang juga apa. Tahu gitu kan kalian pacaran aja dari SMA." Chelly juga tertawa, "Iya anjir, buang-buang waktu banget gue sama yang kemaren itu."

"Well, life is funny." Kata gue sebelum akhirnya kami berdua berdoa bersama untuk makan. "Thanks for the food. I'll eat well."

"Sama-sama. Makan yang banyak ya. Membucin ataupun nggak, lo tetap butuh banyak energi." Gue tahu maksud Chelly, dia menyindir gue. Susah memang punya teman-teman super.

***

"How's the preparation so far, Chel?" Pertanyaan pertama gue setelah kami selesai makan. Gue masih duduk di posisi yang sama, sementara Chelly sudah bergerak untuk membuatkan kopi. Dia punya mesin kopi di apartemennya saking sukanya minum kopi. Pertanyaan gue nggak langsung dijawab, karena tiba-tiba bel unit wanita berbunyi.

"Gue aja, Lex." Aduh sayang banget emang sama manusia satu ini. Pekanya luar biasa mampus. Tahu banget gue lagi dalam fase babi setelah kekenyangan makan.

Dari posisi ini, gue membelakangi pandangan ke arah pintu masuk jadinya nggak bisa melihat siapa yang datang. Tapi dari suaranya yang samar-samar bisa gue denger, tamu kami kali ini adalah Timothy. Eits, kalau dia bukan tamu sih.

"Ada Alex juga di dalam." Gue bisa denger ya Chelly lo ngomong apa. Setelah itu, suara langkah kaki mulai bergerak ke arah gue. Dan apa yang terjadi selanjutnya cukup mengejutkan dan membuat gue berdebar. Bahkan gue lupa kapan terakhir kali gue berdebar-debar seperti ini. 

Sudah lama sekali rasanya.

"Good morning, Lex. Sehat-sehat kan?" Sapa Timothy pada gue. Bukan, bukan Timothy yang mengejutkan gue. Tapi seseorang yang mengambil tempat duduk di depan gue, kursi yang tadinya ditempati oleh Chelly.

"Hi, Cas. It's been a long time ya."

Hanya ada satu manusia di dunia ini yang memanggilnya dengan panggilan itu. Wajahnya nggak berubah sama sekali dari terakhir kali kami bertemu. Walaupun ada beberapa kerutan disekitar matanya karena jelas umur nggak bisa bohong. Hal yang paling berubah saat gue melihatnya hari ini adalah aura yang terpancar semakin dewasa dan manly.

Kenapa pria itu ada disini? Gue tahu ini masih bulan April. Terakhir kali gue lihat baru saja pagi ini dan masih tanggal 27 April, mana ada April's Mop di akhir bulan.

JAKARTA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang