Bagian 14

1.1K 106 2
                                    

Warning:
Contains a lot of typos.

"Doesn't it scare you sometimes how time flies and nothing changes?"

― Ika Natassa, excerpt from Antalogi Rasa.

***

Gevariel


Thank God! Si Timothy tukang pamer ini hanya melakukan resepsi private. Yang hampir semua tamunya gue kenal. Udah kayak reunian SMA aja ini pernikahan dia.

Gue pikir anak pamer ini bakal bikin resepsi ngalahin artis ternama di Indonesia. Beberapa artis itu mungkin malah jadi tamu. Chelly benar-benar membawa pengaruh baik pada pria itu.

"Va? Lo lagi di Indo ternyata. Dari kapan?" Sapa Arga, teman club Voli yang dulu juga deket sama gue.

"Udah dari lama bro. 2 bulanan ini," jawab gue dengan tangan yang mengarah kepadanya untuk melakukan toss.

"Widih, udah lama dong. Kabar-kabaranlah, siapa tau bisa join main lagi," katanya yang gue tanggapi dengan senyuman. "Boleh dijadwalinlah. Lo gimana sekarang?"

"Biasa, nerusin usaha bokap. Kasih tips gue biar bisa cabut dong. Males gue ngurusin bisnis."

Yap. Sepertilah generasi kami. Kebanyakan pilihannya adalah menuruskan legacy orang tua. Entah bisnis seperti Arga atau legacy karir seperti gue yang mengikut bokap. Walaupun nggak punya minat sama sekali ke arah sana.

Gue ngerti banget Arga yang dulu cita-citanya jadi pemain basket profesional. Sekarang sih masih juga sepertinya kalau gue lihat dari postingan Instagramnya. Tapi orang tuanya nggak melihat itu sebagai sesuatu yang long lasting dan akan menghidupi tunggal mereka itu.

Alasan yang cukup masuk akal, but as long as your kids happy isn't that what you called love? Toh, cukupnya orang-orang itu beda dan Arga mungkin merasa cukup dengan menjadi apa yang sedang dijalani sekarang.

"Susah emang generasi kita nih, Ga." Ucap gue kepadanya yang pasti terdengar sangat pasrah. Dia hanya mengangguk sambil memainkan gelas wine di tangan kanannya.

"Kamu sama Geva, kalau dilihat-lihat mirip ya."

Samar-samar gue mendengar tante Tamara, nyokap Timothy, masuk ke telinga gue. Begitu gue mencari dimana sumber suara itu, ternyata nggak jauh dari gue berdiri ada tante yang sedang berbicara dengan Alex.

Gue memberikan kode kepada Arga kalau harus meninggalkan dia yang dibalas anggukan. Lalu, gue mendekat ke arah Alex dan Tante Tamara.

"Mirip dari mananya, Tan? Ada-ada aja." Gue yang menyerobot merespon tante Tamara. Kedua wanita itu kemudian langsung mengalihkan pandangannya ke gue. Emang kadang-kadang gue tuh kayak setan, tiba-tiba.

"Mirip lho, Geva. Mirip kan, Pa?"

"Iya, mirip lho. Apalagi kalau sampingan kayak gini." Om Harvey yang tiba-tiba udah berdiri di samping tante Tamara ikut menambahkan. Tante Tamara tentu saja nggak kalah dalam urusan menambah omongan seseorang, "Apalagi pas jalan bareng tadi. Sampe pangling ke kalian juga."

"Karena seragam aja sih, Tan, Om." Kali ini Alex yang menjawab mereka.

"Kalian yakin nggak ada apa-apa? Kan dari SMA juga deket, masa nggak pernah cinlok sih." Gue dapat mendengar nada gemas dari Tante Tamara ketika mengatakan itu. Sementara om Harvey tersenyum geli melihat istrinya yang terus menggoda kami.

"Beda preferensi, Tan. Cas sukanya sama om-om -ouch!"

Sial, tulang kering gue baru saja ditendang wanita disamping gue. Parahnya lagi dia pura-pura nggak melakukan apa-apa di depan mereka.

"Apaan sih, Cas?" Gue protes dengan suara yang tertahan karena demi Tuhan ini sakit banget.

"Lo yang apa-apaan?" Dia juga memberikan nada protes. "That's the truth, right? Bagian mana dari omongan gue yang salah?"

"Nggak literally om-om juga ya."

"Ya, tapi kan umurnya lebih dari 6 tahun! Kalau lo sekarang umur 30 tahun, dia tuh udah umur 36. Apalagi namanya kalo bukan om-om!" Tanpa menghiraukan kedua orang tua di depan kami, adu argumen telah terjadi.

Sampai akhirnya Tante Tamara dan Om Harvey tertawa. "Aw, sampai Geva punya panggilan sendiri ya ke Alex. Liat, Pa, they are so cute."

Gue bisa melihat om Harvey yang nyengir mendengar perkataan tante Tamara. Lalu, dia menatap gue dan berkata, "Jangan lama-lama diresmikannya, Geva. Nanti diambil orang, ya kan, Lex?"

Mau diresmikan apanya? Ada-ada aja.

Alexandra

"Cassie! Tanggung jawab nggak lo!" Suara Gio menggema sepanjang koridor lantai 4. Gue nggak merasa bersalah setelah menendang tulang kering kaki kirinya.

"Nggak. It's your fault," kata gue ketika sudah sampai di depan pintu kamar hotel milik gue dan berbalik padanya yang sulit berjalan. Tentu saja, tadi gue menendangnya dengan sekuat tenaga.

"Tapi bener kan selera lo om-om? You told me that." Dia nggak lagi berteriak karena sudah berada di hadapan gue. Pria ini benar-benar, seandainya mukulin orang nggak akan masuk penjara udah gue lakuin dari kemaren-kemaren.

"Whatever."

Gue membuka pintu kamar dan memasuki dengan cepat. Namun kalah cepat dengan tangan Gio yang sudah memegang pergelangan tangan kanan gue. Lalu dia menarik gue ke tempat semula.

"Okay-okay, I'm sorry. I just want to make the situation better. Lo juga pasti nggak suka disudutin mereka kayak gitu kan? I was trying to help you."

What did you say, Gio?

"You don't have to join us in the first place. I can handle it by myself. Lo nggak membuat situasi berubah, not even a single bit, malah makin seneng mereka untuk godain kita. Don't you realize?"

Sebisa mungkin, gue berusaha menjaga suara tetap dalam tone yang sama. Nggak berteriak ataupun terkesan terlalu rendah. Apapun yang pria ini lakukan di sekitar gue selalu mengganggu dan membuat gue berharap ke hal-hal bodoh.

"My apologies. Ayo kita minum kopi aja, yuk."

"Wow," gue mengatakan ini sambil bertepuk tangan. "Just wow, G. Is everything a joke to you?"

Ini dia alasan kenapa sekalipun kami dekat, berada dalam hubungan komitmen sangat sulit. We have different personalities and it leads to how we solve problems. Gio bukan tipe orang yang menyelesaikan masalah dengan membicarakan. Dia menghindar dan menilai masalah akan mengering dengan sendirinya.

Meanwhile, I'm the opposite. I'm an explicit person. Apapun itu hal dibicarakan dan diselesaikan dengan komunikasi. Bukan menghindar, seperti apa yang pria itu lakukan sekarang.

Dia menatap gue sambil mengernyitkan dahi. "What do you mean?"

"You should ask yourself, what do you mean? Setelah berbuat seenaknya seperti ini, lo bertanya what do you mean?"

Bola matanya menatap gue lantang sekaligus bingung. Gue membalas dengan tatapan yang pastinya dia nggak akan mengerti. Kami masih saling menatap satu sama lain, memastikan kenapa hubungan yang entah apa namanya ini menjadi seperti ini. Sampai sisa-sisa emosi dan frustasi mulai pudar karena perdebatan tadi. 

"Okay, let's talk then. If it's what you want," katanya setelah sebelumnya menghembuskan nafas mengalah pada gue. Sekali gerak dia berhasil membawa tubuh gue masuk ke kamar dan menutup pintu dengan tubuhnya yang besar itu.

"And let's talk my way." Gue menatapnya dan baru saja ingin protes dengan tingkah lakunya barusan, tapi pria nggak tahu diri ini sudah lebih membungkam mulut gue dengan miliknya.

He gives me something I wanted since years ago. His lips against mine. What do you mean by this, Gevariel Giovanni?

JAKARTA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang