Bagian 12

1.1K 113 5
                                    

"Kalau gelas kita kosong, lantas apa yang mau dibagi?" - Si Bucin tolol yang terus memberi sampai lupa bahwa gelasnya telah kosong.

***

Alexandra

"Lo darimana, Lex?"

Grace tentu saja penasaran pada gue yang baru bisa di telepon sekitar jam 11 malam. Padahal kami udah janjian untuk telponan di sore hari.

"Nggak dari mana-mana. Gue di apart aja, cuman tadi ada Gio dateng," jawab gue yang pasti akan mendapatkan respon heboh dari wanita ini.

"WHAT!? WHAT THE ACTUAL FUCK!?"

Kan? She literally screams over the phone. Oh my God.

"Ssst, heboh banget deh, heran," decak gue pada Grace.

"Ini serius lo nggak ada apa-apa sama dia?" Dengan nada gemas Grace bertanya. Gue yakin disebrang sana wanita ini berbicara dengan berjingkrak-jingkrak karena dia memang sangat reaktif. Gemes sih ebih tepatnya kepada gue yang maju-mundur nggak jelas.

"Nggak ada. Kemaren dia bantuin gue, jadi sebagai manusia gue pengen ngasih karma baik juga ke doi."

"Though I doubt it, but Lex, lo yakin sanggup?"

"..."

Grace tahu gue belum bisa menjawab pertanyaan ini. Sekalipun gue bilang ke dia bahwa gue udah move on, apalah tai kucing itu, tapi pada kenyataannya diri gue sendiri nggak yakin apakah gue udah move on atau belum. Dan situasi dimana Gio terus mendapat seperti ini, cukup riskan bagi gue.

"Simpen jawabannya buat diri lo sendiri." Grace berkata tanpa menunggu gue merespon terlebih dahulu pertanyaan sebelumnya. "Gue cuman pengen minta tolong aja, Lex. Jaga diri sendiri, okay? Gue nggak sanggup kalau harus liat lo breakdown lagi karena dia. Dan kita semua tahu kenapa dia deket ke lo. Ya karena dia lagi kosong aja, we knew it. Next time, if he had another girl atau dia balik lagi sama mantannya, lo bakal ditinggalin."

Grace masih terus melanjutkan perkataannya, "Gue pengen banget lo bahagia sama orang yang lo cintai, Lex. Siapapun itu, kalau itu Gio ya syukur. Tapi kita tahu sendiri dia brengseknya kayak apa..."

"Thanks, Grace. Doain ya. Gue rasa ini juga jadi challenge sendiri untuk endurance diri gue. I was wondering if I had already moved on from him or not."

"Lo tahu yang terbaik buat diri lo sendiri. Gue yakin. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin ya."

"Siap, thanks sis. Btw, lo kemaren maen sama siapa woy? Jangan bilang sama stranger lagi, Grace..." Gue udah meringis bertanya kepada dia.

"Nggak kok," jawabnya yang langsung gue samber, "Nggak maen, tapi FWB-an," jawabnya terkekeh-kekeh. Hellow, nggak ada yang lucu perasaan. Wanita ini ada-ada aja.

"Hadeh, sama siapa lagi kali ini?" Grace tertawa puas.

"Jangan ketawa lo."

"Nanti ya kalau gue udah siap dan yakin, gue pasti kenalin kok."

"Sampe kiamat juga lo nggak bakal yakin sih. Cowo kan buat lo cuman penting penisnya doang, sisanya bisa di dapetin dari manhwa," kata gue yang membuat kami berdua tertawa puas. No offense, boys.


Gevariel

"Gio, gue beneran pengen nanya deh." 

Timothy duduk di kursi penumpang samping gue berkata. Semalem Timothy ada jadwal operasi pasien yang mendadak dan orang tua serta sopirnya udah lebih dulu ke Bandung untuk persiapan pernikahannya. Jadi, dia memutuskan untuk naik kereta paling pagi biar efisien dan bisa tidur.

Entah bagaimana dia tahu gue udah lebih dulu di Bandung dan minta tolong untuk dijemput di stasiun Bandung. Gue teman yang paling baik, otomatis mengiyakan permintaannya. Disinilah gue menyetir makhluk ini menuju GH Universal Hotel. 

"Hm?"

"Ini gue yang mau nikah apa lo yang mau nikah sih? Udah di Bandung aja lo." Gue langsung meliriknya dengan malas. Pertanyaan macam apa ini.

"Ya, suka-suka guelah. Itu seat belt lo pake yang bener."  Astaga, baru gue perhatiin ini anak nggak memakai seat beltnya. 

Gue kadang bingung sama average orang Indonesia, kok bisa-bisa menyepelekan kekuatan dari seat bealt. Banyak yang mungkin mikir karena mayoritas jalanan kota macet jadi nggak perlu seat belt. Padahal itu juga demi keselamatan seperti tujuan dibuatnya dan nggak urusan sama tilang-menilang.

"Ampun, bapak dosen," kata Timothy terkekeh-kekeh dan akhirnya memakai seat belt milikya dengan benar. "Cocok deh lo sama Alex, mirip banget."

"Apa sih tiba-tiba? Mirip dari mananya coba," gue mendecih kepada Timothy.

"Mirip banget anjir, apalagi soal begini-beginian. Si Alex juga suka marahin gue."

"Ya, karena lo emang pantes dimarahin, unta. Itu seat belt dibuat sama perusahaan mobil ya buat dipake, bukan buat pajangan doang dan kalau ada polisi biar nggak kena tilang."

"Iye-iye. Eh, ajakin Alex main bisa kali ya, dia kan stay di Bandung juga sekarang."

"Mot, giliran gue yang nanya ke lo deh."

"Apaan?" Dia menatap gue penasaran dengan pertanyaan yang akan ditanyakan.

"Ini lo mau nikah apa liburan di Bandung? Mainnya tar aja, fokus dulu sama persiapan lo. Heran gue."

Timothy tertawa mendengar omelan gue. "Ngomel mulu lo. Biasanya anjing suka marah-marah kalau nggak dikasih jatah. Udah berapa tahun nggak dikasih jatah?"

"Bangsat! Nggak ada hubungannya."

"Astafiruglah, bro. Ucapannya dijaga ya."

Gue langsung memegang pelipis nggak menjawab Timothy. Untung gue lagi nyetir, kalau engga udah gue tonjok ini manusia. Aduh, bisa-bisa pecah kepala gue kalau begini terus karena nahan emosi.

"Btw, lo kenapa nggak sama Alex aja, G? Kayaknya dia lagi nggak terikat sama siapa-siapa juga. Dari segi bobot-bebet-bibit dia unggulan banget sih." Gue bisa melihat Timothy menatap gue dengan tatapan menggoba yang bikin gerah. Benar-benar raut wajahnya saat ini serasa pengen gue tonjok, saking ngeselinnya.

"Excuse me, your intention?"

"Nothing, I'm just curious. Kalian waktu SMA deket kan? Ya pastilah kan lo ketua tim putra dan Alex yang putri, kalau ada apa-apa juga bareng dong. Tapi kok dulu nggak pernah cinlok ya kalian? Gue juga baru kepikiran sekarang-sekarang."

"Nggak ah."

"Hah? Kenapa? Kurang cantik dia buat lo? Malah menurutku kalau dibandingkan mantan lo yang kemaren, gue nggak mau sebut nama, jauh banget sih."

"Gue nggak bisa kalau sama Cassie."

"Lah? Lo kan belum nyoba." Lah bocah, ngotot banget.

"Ngotot banget lo ya. Nggak dulu deh kalau orangnya Cassie."

"Gue nggak ngerti sih kenapa lo bisa manggil dia Cassie, beda dari temen-temen dekatnya, tapi nggak ada hubungan apa-apa sama dia."

Sebuah logika konyol. Gue manggil Alexandra Cassie bukan karena kenapa-kenapa. Hanya saja waktu itu di klub volly juga ada yang namanya Alexander. Sangat ribet untuk memanggil kedua orang itu. Alexandra dan Alexander, terlalu panjangkan? Jadi lebih baik memanggil Alexander dengan Alex dan Alexandra dengan Cassie. Problem solved.

"Biasa aja kali."

"Kenapa lo nggak mau sama dia? Dia lesbi kah?"

"Bukan itu anjing!" Gue langsung mengumpat kepada Timothy mendengar asumsi nggak masuk akal milik pria itu.

"It's complicated."

Timothy melemparkan tatapan penasaran pada gue. Dia juga memalingkan wajahnya ke gue yang menandakan dia penasaran dengan kelanjutan ucapan milik gue.

"Lo nyadar nggak sih kalau dia itu punya banyak hal yang ditutupi. I mean, banyak yang dia nggak liatin ke kita. Gue nggak bisa sama orang yang nutupin banyak hal gitu. Lucu sih kalau gue bilang alasannya, tapi ya trauma gue sama bokap dan nyokap."

"You're scared of her? OMG. That's a red flag."

"Right? Setelah Kezia, gue jadi makin mikir buat berhubungan sama orang lain dan ngasih sebagian hati gue."

"But I have to agree with you that she's hiding a lot of things."

"Beberapa hari lalu gue ketemu dia dan ya otak gue semacam memutar kenangan yang ada waktu SMA. Kita emang deket, but you know, deket yang nggak deket. Dia tahu segala hal tentang orang lain, termasuk gue, tapi kita sama sekali nggak tahu apa-apa soal dia."

"Yes, I can sense it too. Dia semacam menutup diri gitu ya. Bahkan kalau gue nanya-nanya ke Chelly, dia juga cuman tahu as much as we knew. Padahal mereka temen dekat. That must be something happened yang memaksa dia nggak terbuka sama orang lain."

"Maybe and I'm curious what kind of thing it was."

Gue rasa semua orang, to some extent, pasti ada yang mereka sembunyikan. Hm, sebenarnya bukan menyembunyikan juga, tapi lebih ke arah mereka nggak mau memberitahu orang lain. Soalnya gue juga seperti itu. Banyak hal yang gue nggak ceritakan ke orang lain, simply because I don't believe them enough to share it with them.

Tapi untuk Alex ini berbeda. She's giving herself too much to people that leads to the fact that she's too good to be true. Gue sampai-sampai bingung untuk merespon semua kebaikan dia. Jaman SMA gue bahkan sempat berpikir dia suka sama gue karena suka ngasih perhatian dan hadiah. Nyatanya, Alex nggak cuman kayak gitu ke gue tapi ke semua orang juga.

Sebanyak itu comfort yang dia berikan ke orang, sebanyak itu yang kami nggak tahu dari kehidupannya.

Tipe-tipe orang seperti ini yang gue nggak bisa, tipe orang yang terlihat baik-baik saja di luar tapi sebenarnya sangat rapuh di dalam. Dan orang-orang seperti ini akan menyulitkan dalam hubungan karena mereka berada di pihak yang terus memberi dan menjadi bom waktu.

Karena sepenuh apapun gelas lo, kalau lo memberi terus, suatu saat gelas itu akan kosong dan selanjutnya bisa terjadi bencana. I don't want it.

***

Please do let me know what you think of this chapter on the comment section ya! Stay healthy everyone, xoxo.

JAKARTA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang