Bagian 27

682 77 0
                                    

Warning:
Plot hole. Typos. Grammatical errors


***

"Wow. This is so amazing, Lex!"

Chelly berteriak membuka tirai villa baru milik Alex di daerah Uluwatu, Bali. Tepat menghadap ke arah lautan. Tentu saja pemandangan di depannya sangat indah. Terlalu indah bahkan, dan sudah dipastikan hanya orang-orang kaya seperti mereka yang mampu membelinya.

"That's the only reason why she bought this villa," Grace menyeletuk sembari menarik kopernya memasuki villa milik Alex. 

"Emang si anak estetik satu ini, nggak pernah salah selera."

Setelah memastikan kopernya berada di tempat yang tidak akan menganggu aktivitas mereka, Grace mencari sofa terdekat dan langsung mendudukan dirinya di sana, "Capek banget... Kayaknya gue udah jompo deh."

Alex yang sedang menyetel TV agar benda itu menampilkan gambar, tertawa geli mendengar celutukan Grace.

Ngomong-ngomong soal alasan ia akhirnya membeli villa... apalagi kalau bukan untuk melarikan diri. Ia meninggalkan Jakarta untuk meminimalisir kemungkinan bertemu dengan Gio karena circle mereka sangat kecil.

Selama 3 bulan ini, Alex hanya melakukan aktivitasnya, mostly di villa ini. Dan sudah 3 bulan dirinya menjadi pengecut. Hadeh, dasar.

"Jadi, kalian mau makan apa? Atau makan di luar? Gue nggak sempat masak."

"Sejak kapan sih lo bisa masak, Lex?" Tanya Grace yang tidak perlu mendapatkan jawaban selain tawa kecil dari Alex dan Chelly. Wanita itu terlalu tahu bahwa sahabatnya satu ini bisa hebat dalam semua hal, kecuali memasak.

"Gue sama Tim mau ke La Vue, want to join?" Ajak Chelly yang sudah selesai menganggumi keindahan lautan dari jendela villa itu.

Alex dan Grace menatapnya, "Nggaklah. Ganggu banget dong kita kalau join..."

"It's fine. Kayak ke siapa aja deh," Chelly menatap kedua sahabatnya itu dan berusaha meyakinkan mereka untuk ikut. Lagipula Timothy dan kedua sahabatnya juga sangat dekat. Jadi, seharusnya tidak ada masalah kalau kedua wanita itu ikut menghabiskan waktu dengan mereka. 

Sebenarnya, selain memang ingin menjenguk Alex, Grace dan Chelly punya agenda masing-masing di Bali. Chelly ikut Timothy yang sedang ada conference kedokteran di Bali. Hitung-hitung sekalian liburan dan honeymoon yang entah keberapa kali bagi mereka.

Untuk Grace, ia memiliki agenda bersama teman-temannya untuk camping di sekitar Gunung Batur. Psikolog juga butuh healing katanya. 

"Lo gimana, Lex?" Grace sudah pasti akan ikut bersama Chelly. Ya, apalagi tujuan ke Bali selain liburan dan clubbing? Tapi kalau Alex tidak ikut, ia juga merasa tidak enak jadi obat nyamuk.

Setidaknya kalau Alex pergi, mereka bisa berbagi kemalangan bersama melihat Chelly dan Timothy. Dasar jomblo yang tidak ingin menderita sendirian.

Sebelum menjawab Grace, Alex sedikit meringis dan menimbang. "Yakin kita nggak bakal ganggu?" Chelly mengangguk cepat.

Alex melirik Grace, "Yaudah. I'm in."

Grace langsung sumringah dan Chelly lebih bahagia lagi karena mereka pergi bersama. Lebih tepatnya berhasil mengajak Alex keluar dari sarangnya.

Karena mereka berdua tahu bahwa wanita itu selama 3 bulan ini menjadi super introvert. Hanya menghabiskan waktunya di villa, beberapa menit di supermarket hanya untuk belanja, dan jogging disekitaran kompleks villa.

***

"How was life, Lex?"

Alex mengangkat kepalanya ketika Timothy bertanya. How was life... Pertanyaan yang sulit untuk dijawab sebenarnya.

"All good," jawab wanita itu dengan senyuman terbaik yang ia punya.

Maksud pertanyaan Timothy sebenarnya tentang bagaimana hidup Alex setelah 3 bulan ini tidak berkomunikasi dan berhubungan lagi dengan Gio. Tapi pria itu tidak mau memperjelas maksudnya karena mungkin akan membuat suasana indah saat ini jadi keruh. Ia hanya balik tersenyum pada Alex.

"Syukurlah, kalo gitu."

"How about you two?" Alex bertanya menatap Chelly dan Timothy bergantian. Sudah pasti mereka berdua tahu maksud dari pertanyaannya.

"Gue denger-denger ada yang udah mulai mual-mual nih," Grace menyeletuk sebelum Chelly dan Timothy menjawab pertanyaan Alex.

"Really? So, is it true?" Mata Alex berbinar-binar menatap Chelly. Kalau benar, sahabatnya itu berarti sedang mengandung calon keponakan mereka.

Chelly dan Timothy saling bertukar pandang, sebelum memberitahukan kabar gembira itu.

"So?" Dasar Grace si tukang penasaran. Alex langsung menyenggol lengan wanita itu dan memberikan gestur 'diem dulu deh'.

"Yes, jalan 3 minggu," kata Chelly dengan gembira.

Satu... Dua... Tiga...

Suara riuh langsung datang dari meja mereka. Siapa lagi menyebabkan kalau bukan Alex dan Grace yang heboh. Kedua memeluk Chelly dan memberikan selamat pada wanita itu. Karena mereka tahu, salah satu alasan wanita itu menikah memang untuk memiliki keturunan.

Timothy menyaksikan kebahagian ketiga wanita itu tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya juga. Sampai Grace dan Alex tiba-tiba menatapnya dan memberikan tatapan mematikan sambil memperingatinya, "Baik-baik lo jadi orang, Tim."

"Iye, bu Psikolog. Buset dah."

"Tobat bener-bener lo. Bentar lagi jadi calon papa," Alex menimpali perkataan Grace. Timothy langsung meringis dan menatap Chelly untuk mendapatkan pertolongan, namun istrinya hanya mengangkat bahu. Wanita itu tidak bisa menyelematkannya dari amukan kedua sahabatnya itu.

"Girls, cut me some slack, will you?" Alex dan Grace tertawa geli.

"Be good, Tim." Grace mengatakannya dengan nada final. Timothy menganggukan kepalanya sebagai ganti jawaban iya. Benar, ia harus menjadi anak baik demi masa depan anaknya. Because what goes around, comes around.

"By the way, Tim, lo masih ingat Arga kan ya?"

"Do you mean Arga, the one who went to the same high school with us?" Raut kebingungan tidak terlepas dari wajah Arga.

Alex mengangguk.

"He'em, pasti. Kemaren kan dia gue undang juga ke nikahan dan kita sering main setelah itu. Why?" Timothy bertanya kembali. Penasaran kenapa Alex tiba-tiba bertanya soal Arga.

"Iya ya kemaren masuk shorlisted lo."

"Why?"

"I think he's here," kata Alex. Dahi Timothy berkerut, "Di Belanda doi tuh, lagi ada urusan bisnis."

"Coba liat belakang lo deh, arah jam 11," wanita itu berkata sambil mengarahkan pandangannya ke arah punggung Timothy. Pria itu membalikan tubuhnya mengikuti arah yang dimaksudkan Alex dan mendapati seorang pria yang sangat familiar disana.

"Eh, iya lagi. Kok nggak ngomong anak itu ke Bali?" Gumannya lalu berdiri. Tidak ketinggalan Chelly dan Grace mengikuti arah pandangan dua orang lain di meja itu.

Disaat yang bersamaan, mereka berempat dapat melihat waitress mengarahkan Arga ke tempat duduk yang tidak jauh dari mereka. Pria itu berjalan menuju kursi yang ditunjukan dan masih belum menyadari keberadaan mereka berempat, sampai Timothy yang terlebih dahulu menyapanya.

"Oit, Ga! Udah di Bali aja lo."

Dari ekspresi pria itu, Alex dapat melihat keterkejutan. Iyalah, siapa yang tidak terkejut bertemu dengan orang yang mereka kenal di suatu tempat tanpa janjian.

"Damn. The world is indeed small. Ngapain guys disini?" 

"Belajar, ya liburanlah. Menurut ngana aja..."

"Bener sih... By the way, I've heard. Congrats ya new parents!" Arga menjabat tangan Chelly dan Timothy.

"Thanks bro. Lo denger dari siapa? Perasaan gue belum ngasih tau siapapun, kecuali..." Ucapan Timothy menggantung karena nama dari satu-satunya orang yang ia beritahu itu tidak bisa diucapkan dengan gamblang. Apalagi dihadapan Alex.

"Lo sendiri ke Bali ngapain?" Grace bertanya pada Arga. Tentu saja dengan maksud untuk mengalihkan pembicaraan ini.

"Biasalah healing," jawab Arga. Namun, Grace memberikan tatapan mencurigainya, "Sendirian?"

"Sendirian? Nggak mungkinlah seorang Arga healing sendirian. Bullshit. But seriously, kok lo nggak bilang-bilang sih ke Bali?" Timothy menimpali karena merasa tidak dihargai sebagai seorang teman. Ada-ada saja memang hidup lo, Tim.

"Idih, buset. Udah kayak sama pacar aja gue ngomong apa-apa ke lo, Tim. And to answer your questions guys, Gue nggak sendirian. Gue bareng..." Arga belum selesai, namun sudah ada orang lain yang berjalan ke arahnya dan mengumpat dengan kesal.

"Brengsek, hobi banget ninggalin orang heran..."

Semua orang kenal suara siapa ini, Terumata Alex. Gevariel Giovanni... Kenapa pria itu ada disini?

Sebuah kebetulan apalagi ini...


JAKARTA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang