Bagian 5

1.4K 139 0
                                    

"Semua orang menderita dengan porsi masing-masing, jadi sabar aja." - Isi kepala si Overthinker.

***

Untuk pertama kalinya Gym dan Weekend nggak bersatu hari ini. Sabtu pagi gue bangun dengan mood yang cukup ok setelah kemaren gue selesai melakukan grading dan submit nilai ke website. Saatnya mendapatkan libur dan menghabiskan lebih banyak waktu berpacaran.

Tapi nyataan justru menampar. Putus dengan ketidakjelasan adalah hal paling tolol di dunia ini dan itu terjadi kepada gue sekarang. Entah yang keberapa kali dengan orang yang sama.

Tadi pagi ketika gua membuka aplikasi sejuta umat bernama WhatsApp, terdapat banyak chat dari Kezia. Tentu saja chat wanita itu berada di tatah tertinggi inbox WhatsApp gue, karena pastinya pinned. Ada 10 notifikasi dari chat dia sendiri.

Gue membuka chatnya dan ada satu bubble chat yang sangat panjang yang intinya dia berterima kasih, dan sisanya hanya bubble chat kecil.

Kezia Anastasia:
Kak
I'm so sorry
Let's end this. This is too burdensome.
I'm so sorry
Aku cape banget kak


Iya, Kezia lebih muda 2 tahun dibandingkan gue yang akan berusia 31 tahun di tahun ini. Gue bertemu dengan Kezia di Thailand. Pada saat itu Kezia yang sedang magang di KBRI Bangkok dan ditugaskan menjadi LO gue ketika menghadiri Asiajuris Conference. Bukan karena cinta pada pandangan pertama, memang anaknya baik dan saat itu gue juga lagi kosong. 

Tentu saja kami nggak langsung berpacaran. Karena jarak dan kesibukan, namun ketika kembali ke Jakarta yang waktu itu gue juga sedang summer break di Aussie, kamu bertemu lagi dan give it a go for our relationship.

Gue langsung mengambil handphone yang terletak nggak jauh dari pc dan langsung menekan tombol panggilan. Satu dering, dua dering, sampai dering terakhir, wanita itu nggak menjawab. Sekali lagi gue coba panggil, kali ini dengan layanan seluler biasa. Nggak juga tersambung.

Baru minggu kemaren kita marahan karena Alex ada di apartemen gue. Dan baru beberapa hari yang lalu we made up. Kenapa lagi sekarang?

Sialan.

Gevariel Giovanni:
What do you mean?
Let's talk.


Kezia:
Kak
Udah nggak bisa kak
Aku mau lepas dari beban ini
Beban kerjaan udah cukup berat
Let's end here


Dia menghindari berbicara langsung. Tiga tahun awal kami berhubungan, memang sempat beberapa kali ada drama putus nyambung karena LDR dan banyak hal yang belum bisa ditoleransi satu sama lain. Tapi dua tahun belakangan ini, hubungan kami udah cukup kuat, at least for me. Gue juga merasa kami sudah sangat terlatih dengan LDR dan obstacles-nya. 

Gevariel Giovanni:
Mau gimana?
Let's talk first then we can decide
Jangan ambil keputusan sendiri kaya gini, beb

Kezia:
Nggak bisa kak.
Let's end here.

Gevariel Giovanni:
Let's talk okay?


Nomor gue sepertinya di blok oleh Kezia karena tidak ada dua centang yang menandakan pesan telah terkirim pada chatbox terakhir yang gue kirimkan. Kadang-kadang orang sepintar apapun kalau urusan seperti ini bisa jadi tolol mampus.  Tingkah Kezia yang seperti ini yang membuat gue belum begitu yakin bahkan setelah 6 tahun kita berpacaran.

Gue nggak masalah kalau dia di Papua bertemu dengan lelaki lain. Ini kecurigaan gue, karena sejak dia disana sangat sulit untuk menelpon dan frekuensi chat kita mulai menurun. Sekalipun seperti itu, seenggaknya hubungan ini harus diakhiri dengan baik-baik. We've been together for almost 6 years. Itu nggak singkat.

Jangan gegabah, Gevariel. Gue memberikan afirmasi pada emosional yang udah mulai muncul ke permukaan. Saatnya rokok gue nyalakan.

Alexandra

Gue masih berkutat dengan pekerjaan dan deadline ketika seseorang menelpon. Walaupun handphone gue tanpa suara, gue bisa merasakannya karena mode getaran.

Masih pukul 11.20 siang dan semua orang tahu hari ini adalah senin. Orang gila mana yang menelpon di jam kerja seperti ini. Setelah getaran berhenti beberapa detik, handphone gue kembali bergetar. Astaga, nggak punya kerjaan apa ya atau mau gantiin gue kerja?

"Lex, konten yang kemaren outcomesnya nggak bagus ya?"

Aland head advertiser bertanya pada gue. "In which way, bisa lo jelasin?" Gue bertanya kembali padanya. Jujur gue nggak suka setiap kali ada orang yang nggak tahu soal metrics social media mengatakan hal tanpa data. "Yah, likesnya dikit banget kalau dibandingin sama konten-konten yang kemaren."

"Lo tahu sendiri kan engagement di social media, especially Instagram, bukan cuman likes doang. Ada comments, saved, dan metrics lainnya. If you want to say the outcome is bad, lo harus liat datanya dulu. Dari data gue, ER* harian bahkan nembus 3% dan hopefully mingguan bisa nyampe diatas itu. Which is good kalau di bidang fashion yang average ER-nya cuman nol koma sekian persen."

Skakmat kan lo? Gue tersenyum pada Aland dan dia langsung kicep. Berhenti deh ngomongin suatu hal tanpa data, apalagi menyimpulkan. That's not cool.

Sejak awal gue pindah ke perusahaan ini, Aland seperti merasa terancam dengan keberadaan gue dan selalu mencoba untuk membangun persaingan. Padahal sub-divisi kita beda, walaupun berada di satu divisi yang lebih besar yaitu Digital Marketing. Dia sebagai head advertiser, sementara gue di bagian Content and Creative.

"Ads gimana? Gue lihat nggak di excel nggak ada sales untuk minggu kemaren." Serangan balik. Gue bisa lihat dari raut mukanya sepertinya kesal dengan pertanyaan gue. "Emang lagi kosong nih. Buyers journey tanggal 20-an emang suka gitu, kan belum pada gajian."

"Ah, I see. Good luck deh ya buat kita semua." Gue memberikan senyum terbaik pada Aland.

"Yeah. Thanks, Lex!"

Jujur gue bingung banget sama persaingan yang nggak penting kaya gini. Kenapa gue bilang nggak penting? Tujuan kita sama, terutama dalam bidang digital dari brand ini. Kenapa harus repot-repot bersaingan.

Well, dalam dunia pekerjaan emang nggak bisa sih orang sejenis Aland ini hilang sepenuhnya. Makanya, gue selalu bilang ke teman-teman gue kalau punya rekan kerja yang supportif itu adalah anugerah. Lo mungkin nggak dapet salary dua digit orang lain, but you got anything else.

Brand Wonderful atau di logonya WF, ini adalah perusahaan baru gue. Perusahaan ini berkegrak di bidang fashion dan apparel. Ada pakaian, tas, sampai sepatu dan pusatnya di Bandung. Sebenarnya gue nggak ada spesifikasi kerjaan, as long as it is digital marketing, gue in aja.

Terakhir kali sebelum gue pindah ke Wonderful, gue kerja di marketing consultant. Setelah kerja disana, I have so much respect for the consultants out there. Gila sih kerjaannya bikin mampus. Gue sempat beberapa kali masuk keluar rumah sakit karena kerja disana sampai akhirnya gue merasa cukup.

"Mega, gue makan siang di luar ya. Nanti kalau ada yang nyariin atau ada yang perlu gue hadirin meeting, tolong kabari." Gue berpamitan pada Mega yang adalah salah satu staf gue di bagian Content Marketing.

"Baik, kak. Enjoy your lunch ya."

"Thank you. You too."

Kintan Buffet di PVJ jadi tujuan utama gue. Ketika menunggu daging dikeluarkan oleh pramusaji, gue baru sempat membuka WhatsApp pribadi gue dan melihat Grace mengirimkan sesuatu.

Grace Natalia:
Oh my god
Oh my god
Angkat telp gue bambank!

Ini anak lupa apa gimana ya? Gue kan kalau Senin selalu hectic mampus mengingat banyak meeting yang harus gue hadirin. Dan dimana ada meeting, disana ada report. Mana sempat angkat panggilan dia. Gue langsung menekan gambar key shortcut panggilan.

"Ya, kenapa?"

"Bitch! Lama banget lo ngangkatnya. Gue punya info menarik nih!" Anak ini memang seperti ini kalau ada hal yang menarik ingin dia ceritakan. Terlalu excited.

"Iya, apaan. Sorry tadi gue lagi banyak kerjaan. Lo tahu sendiri Senin gue meetingnya back to back banget."

"Gio kayaknya putus anjir. Kesempatan emas banget!" Gue memutar mata malas yang nggak bisa dilihat oleh Grace. "Gue pikir info penting gimana. Hadeh. Dahlah tutup aja telponnya."

"Astaga! This is an important info. Lo bisa satsetsatset, Lex."

"Grace, gue pikir kita udah final ngomongin ini. Jujur gue tuh emotionally unavailable buat dia. I want to focus on myself. Bukannya lo yang ngomong ke gue untuk move on?"

"Seriously, you don't want to give it a go?" Suara Grace terdengar turun satu oktaf dari sebelumnya. Ini menandakan bahwa pembicaraan ini mulai memasuki waktu Grace bagian serius.

"Let's talk about it this weekend."

"All right, girl. I'll be waiting in Jakarta, kabarin gue ya. Takutnya gue udah ada plan sama temen yang lain. Good luck today." Gue membalas seadanya lalu mematikan panggilan itu setelah, "You too."

Gue langsung membuka aplikasi yang tadi disebutkan oleh Grace dan mencari akun Gio. Benar saja, beberapa foto yang sempat ada di sana telah lenyap entah kemana. Hanya pria itu yang tahu. Agak risky memang kalau lo mengunggah kenangan bersama pasangan lo karena seluruh dunia akan tahu. Well, I'm exaggerating, tapi ketika lo putus akan ada banyak orang yang meminta klarifikasi.

Ribet banget.

That's why menurut gue, unggalah foto bersama pasangan ketika lo benar-benar yakin kalian akan berakhir bersama or at least nggak akan drama putus di antara kalian. Tapi kenapa gue jadi makin banyak mengomentari hidup orang lain ya? Yasudahlah, lunch break akan selesai 20 menit lagi. Lebih baik gue kembali ke kantor.

Gue baru saja akan memesan gojek, pop up notifikasi dari Mega masuk yang menarik perhatian gue.

Mega Marketing WF:
Kak Alex meetingnya dimajukan ke jam 2 ya. Please make it on time ya kak.

Alexandra Clarissa:
Thank you infonya, Meg. Ini gue otw, tolong dirapihin ya materinya. Thank you

Mega Marketing WF:
Siap kak. Hati-hati di jalan ya.

Gue membalas dengan sticker jempol khas bapak-bapak WA. Direksi gue emang ada aja tingkahnya. Salah satunya kayak gini, meeting yang tiba-tiba dimajukan dan informasinya baru di hari H. Mereka pikir buat report itu segampang gesek kartu kredit apa ya?

Kadang-kadang suka minta report dadakan juga tanpa pemberitahuan. Akhirnya gue harus lembur dan pasti sakit keesokan harinya. Harap maklum, diumur segini udah jompo banget. Tapi mau gimana lagi, harus banyak bersabar karena status gue yang masih budak mereka. 

Perbudakan di era modern ini sudah sangat luar biasa. Sialan memang.

JAKARTA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang