Bagian 10

1.2K 117 4
                                    

Warning:
May contains a lot of typos. 

Please let me know what you think about this chapter on the comment section, enjoy!

Gevariel

Gue menatap troli di depan gue ini dengan pandangan bertanya-tanya. Selain ada beberapa sayuran mentah dan daging disana, ada kaleng Entrasol Platinum 400gr yang baru saja di letakkan Alex. I have no idea kalau dia tinggal bareng oma atau saudaranya yang lansia.

Sejak dia meletakkan susu-susu itu disana, gue ingin bertanya. Namun gue tunggu sampai dia selesai dengan semua belanjaannya. Kami sedang berada di section buah dan Alex sedang fokus memilih buah pear yang gue tahu dari dulu adalah kesukaannya.

"Oma lo lagi di Bandung?" Gue pikir ini saatnya gue bertanya.

Alex punya oma dan hubungan mereka sangat. Saking dekatnya ketika kami hanya ditonton oleh orang tua saat tanding, oma dan juga opanya sering datang menyaksikan pertandingan Alex serta kedua orang tuanya. Bahkan omanya cukup sering memberikan masakan untuk kami ketika latihan dan opanya yang sering mentraktir kami semua setelah pertandingan. Unfortunately, he passed away in our senior year.

"Nggak. Doi di Jakarta sama mama. Kenapa?"

Dia bertanya balik kepada gue, lalu gue menunjuk barang yang menjadi sumber pertanyaan gue padanya. Setelah mengikuti kemana jari telunjuk gue terarah, Alex mengerti kemana maksud pertanyaan tadi.

"Oalah. Itu buat gue. Biasalah jompo," jawabnya sambil tertawa menganggapnya lucu.

"Seriously, sejompo itu?" Gue menatapnya menilai. She just look fine. Lalu, ia mengangguk meyakinkan.

"Lo mau beli sesuatu?"

Gue langsung melihat trolley dan isinya di depan gue saat ini. Sebenarnya yang ada di trolley saat ini sudah lebih dari cukup. Kurang satu aja.

"Mau micin aja. Masa nonton nggak micin." Alex langsung menyambut dengan gelengan nggak percaya.

"Gue pikir lo gym freak and healthy diet banget. Well, well, ternyata." Alex memicingkan matanya dan mengangkat alis menggoda gue.

"Sekali-kali cheating. Masih hidup ini, nggak bagus perfect amat."

Gue udah berjalan lebih dulu, lalu gue langsung membalikan badan begitu menyadari sesuatu. Alex masih terdiam berdiri di tempat terakhir kali gue tinggalkan. Dia memandang gue, dan gue balik memandangnya, kemudian Alex mendekat dan berkata, "You've grown a lot, G."

Dia lalu berjalan lebih dulu meninggalkan gue dan trolly yang sejak tadi dipegang gue. You've grown a lot. Did I?

Memang benar, orang-orang yang menyadari lo berubah itu adalah orang-orang yang lo kenal lama dan baru ketemu lagi saat ini. Gue nggak tahu apakah gue berubah, tapi mendengar Alex berkata seperti itu, it seems like I've changed in a good way now.

Eits, jangan salah. Gue bukan pria brengsek yang mempermainkan wanita. Hanya saja gue terlalu perfeksionis jadinya punya banyak ekspektasi ke orang lain. Salah satunya, gue bisa memberikan silent treatment berbulan-bulan dan menganggap orang itu nggak hidup hanya karena mereka telat janjian sedetik. I was that silly back then.

Sampai gue harus kuliah ke Aussie dan gue menyadari, I'm lack of empathy. Perfeksionis boleh, tapi punya empati juga wajib. Banyak kemungkinan kenapa mereka telat janjian, mungkin aja kan di jalan mereka sedang menolong orang lain, dan bisa saja sesaat sebelum berangkat ada emergensi seperti tiba-tiba pengen buang air besar yang nggak baik untuk ditahan.

Seiring dengan berjalannya waktu, gue menyadari bagaimana, at least, menjadi seorang manusia. Kita nggak pernah bodoh, hanya kekurangan empati dan simpati saja. Masalah besarnya kedua hal itu sering kali terjadi.

Alexandra

"Cas, I want to ask something."

Gio yang sudah selesai mengeluarkan semua belanjaan kita dan meletakkannya di meja bar kitchen set di apartemen gue bertanya. Kami nggak langsung menonton seperti yang kami ekspektasinya. Lebih baik untuk membereskan semua belanjaan kami terlebih dahulu.

"Iya?"

"Did I really grow a lot? I mean what you've said di Griya tadi." Gue harus membalikkan badan gue membelakangi dia karena harus mengupas beberapa buah pear dan mangga di wastafel.

Ah. sekarang gue mengerti kenapa dari Griya dia diam. Gue pikir social baterainya udah habis dan dia butuh recharge aja.

"Yap. Don't you think so?" Desk wastafel menjadi sandaran gue saat ini. Sambil mengupas buah yang sudah selesai di cuci. Gio memantap tangan gue, lalu sebelum melanjutkan obrolan tadi, bertanya sambil mendekat ke arah gue.

"Ada pisau lagi nggak? Sini gue bantu, biar cepet."

"Coba lihat di laci bawah itu."

Gio bergerak membuka laci yang gue tunjuk dan mengeluarkan pisau dari sana untuk membantu gue mengupas buah-buah itu. Dia mengambil posisi nggak jauh dari gue dan bersandar pada bar kitchen set. Lalu, kami melanjutkan kegiatan mengupas buah sambil berbicara.

"Gue nggak berpikir gue berubah. I think I'm that Gio I was years ago."

"I don't think so." Kata gue setelah beberapa detik Gio belum melanjutkan perkataannya yang gue artikan dia memberikan kesempatan untuk gue bicara.

"Hmmm, how do I put this into words ya... Lo berubah."

"..."

"In a good way." Gue mengalihkan pandangan dari buah yang gue pegang di tangan untuk meyakinkan pria di depan gue ini bahwa perubahan dirinya itu baik dan entah sejak kapan Gio juga menatap gue. Terlalu intes yang membuat gue merasa terkunci dalam tatapannya.

"Gue liat lo jadi lebih sabar dan fleksibel. Lo inget nggak dulu lo pernah ngambek ke semua anak voli karena telat dikit doang pas mau main ke pantai? Gila itu lo silent treatmentnya berbulan-bulan. To be honest, itu nggak masalah dan punya prinsip itu boleh banget kok, G. Tapi kalau fleksibel dikit aja, nggak akan masalah juga. Lo masih bisa tetap napas kan?" Ucap gue panjang lebar menjabarkan maksud dari perkataan gue.

"It was a really good intention for your parents to send you to Aussie back then. Look at you now... Adult Giovanni," gue berkata dan memberikan senyuman terbaik untuk meyakinkan pria ini. Kemudian, fokus gue kembali kepada buah pear untuk menghindari tatapannya.

"Thanks, Cas." Katanya yang berhasil membuat gue mengalihkan tatapan gue dari buah di tangan gue sekali lagi kepadanya. "It means a lot." Dia tersenyum dan fokus kembali mengupas buah pear bagiannya yang masih cukup banyak dibandingkan punya gue.

Gue tertawa geli dan menjawab, "You're welcome. Tapi gue nggak nyangka lo kepikiran banget soal hal itu."

"Sometimes, I overthink a lot," katanya tersenyum kepada gue. Well, I guess it is not only me. Semua orang overthinking.

"Well, everyone does though. It's not a big deal."

"Really? Don't tell that you are too?" Anggukan gue menjadi jawabannya baginya dan dia tahu bahkan tanpa perlu kami saling menatap. Karena dari jarak sedekat ini, semua masing-masing pergerakan dapat terlihat dari ujung mati.

"You don't seem like someone who overthinks a lot." Tawa geli langsung keluar dari mulut gue yang membuat Gio menatap gue dengan raut wajah kebingungan.

"It's really a good thing that you thought of me like that. But we are all struggling and you know what, overthink does happen to anyone. It's just there."

"Why are you overthinking a lot? I think you have figured out a lot of things."

"..."

"Cas?" Karena gue belum menjawab, Gio kembali bertanya.

"Gue udah nih. Buruan deh lo ngupasnya, itu masih banyak. Biar nggak kemaleman nanti baliknya, G."

"Lo menghindar," ucapnya dengan nada penuh tuntutan. Bukan hanya nadanya, namun juga wajah dan tatapannya saat ini kepada gue. Tentu saja dia tahu gue menghindar, seseorang sepintar Gio mana mungkin nggak tahu.

"I think I have the right not to answer," ucap gue menantangnya. 

"Okay."

Sekarang giliran gue yang memandangnya dengan tatapan menuntut. Sialan, gue pengen dibujuk sampai gue mau cerita. Kenapa lo nggak bisa lihat, hah?

Gio menyadari gue yang memandangnya dengan tatapan yang mungkin menurut dia aneh. Dia bertanya sambil menahan tawa geli, "Kenapa? Kan nggak mau cerita dan gue juga nggak mau paksa."

Gue mendengus kepadanya. "Yaudah cepetan beresin itu. Gue ke toilet bentar."

"Siap bu bos!" Katanya yang membuat gue tertawa berjalan menuju kamar mandi.


JAKARTA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang