Bagian 13

1K 102 3
                                    

Warning:
A lot of typos.

***

Gevariel

"Woi! Eh, bocah ngeliatin apa sih?"

Suara ini menyadarkan gue dari pandangan yang terlalu larut pada Alex. Sumpah dia cantik banget.

"Oh. Ngeliatin, Alex toh. Cantik kan dia?" Gue bisa merasakan Timothy menyenggol tangan kanan milik gue. Tentu saja gue terlalu gengsi untuk mengatakan wanita itu cantik. Karena seharusnya kalau memang dia secantik itu, dari dulu udah gue pacarin.

"Apaan sih? Mending lo fokus. Nggak lucu kalau nanti janjinya salah."

Biar gue nggak kena hina terus dari Timothy, mau nggak tahu gue harus mengalihkan topik. Timothy menyadari hal itu.

"Halah. Ngalihin topik banget sih lo. Tapi serius lho, Gi, cobain aja sama Alex. Kalau dilihat-lihat emang udah jalannya nggak sih. Nanti gue bantuin deh."

Gue mengerti maksud Timothy dengan "udah jalannya". Ketika hubungan gue sama Kezia udah berakhir, gue baru bertemu dengan Alex. Disaat yang bersamaan, wanita itu nggak menjalin hubungan dengan siapapun. Ditambah lagi tiba-tiba kami menjadi dekat dan sering bertemu secara nggak sengaja di beberapa acara.

Apa ini memang udah jalannya?

Sejujurnya gue belum setertarik itu dengan Alex. Sekalipun benar yang pernah dikatakan oleh Timothy. Dari segala aspek wanita itu memang unggulan, bahkan kalau dibandingan dengan Kezia sekalipun. No offense, but that's the truth. 

Nah, jadi pertanyaannya kan kenapa gue bisa 'gila' ke Kezia dan nggak segitunya ke Alex padahal secara kualitas Alex jauh lebih dari Kezia. Ya karena kalau soal urusan cinta ada aja hal-hal membingungkan yang terjadi. Contohnya seperti ini.

Selain itu, gue nggak mau berhubungan dengan siapapun hanya untuk rebound. Selain karena itu akan menyakiti wanita, hal itu juga nggak baik untuk reputasi gue dengan circle yang sangat kecil di kalangan akademisi sekaligus lulusan hukum Indonesia. Dan gue nggak mau ngehancurin reputasi itu hanya karena urusan wanita.

If you want sex, you still can do it without any committed relationships.
Pokoknya untuk saat ini, gue harus lebih berhati-hati dalam hal apapun itu terutama urusan wanita.

"Emang lo sekretarisnya Tuhan sampe tahu yang begituan? Masuk surga aja belum pasti."

"Astagfirullah! Nggak boleh gitu ya sama hamba Tuhan satu ini."

Gue meliriknya dengan malas. Ada-ada saja kelakuan Timothy makanya gue selalu curiga Chelly disantet olehnya sampai mau sama pria ini. Apalagi sampai nikah sekarang.

"Lo jangan denial. Bentar lagi juga lo bakal bucin sama Alex. Jujur sih kalau itu terjadi, gue bakal jadi orang pertama yang tertawa." Katanya lagi sebelum pergi meninggalkan gue dan berjalan menuju Alex. Udah gue bilang emang kelakuannya ini anak suka tiba-tiba. Lihat sekarang dia dalam mode serius.

"Hi, Lex!" Gue bisa mendengar pria pecicilan yang adalah teman gue itu menyapa Alex yang sepertinya sudah selesai dan siap untuk pemberkataan.

Memang para bridesmaid dan bestman, berada di ruangan yang sama untuk make up dan persiapan. Sementara mempelai wanita di ruangan yang lain dan seharusnya begitupun dengan mempelai prianya. Tapi yang namanya Timothy memang ada-ada saja, malah nyamperin kita semua disini. Walaupun tujuannya mulia sih untuk memastikan kami semua siap dan nyaman.

"Thanks, Tim. Good luck ya. Please, kali ini jangan ngaco, janjinya terutama." Gue mendekat pada mereka berdua dan semakin jelas mendengar obrolan keduanya dan mereka tertawa bersama. Kemudian gue mendekat pada mereka dan langsung disambut kejahilan Timothy.

"Alex cantik banget kan, G?"

Gue mendelik padanya terlebih dahulu sebelum menjawab. Maksud pertanyaan lo apa anjir?

Alex memberikan gue senyuman yang baru gue sadari sangat cantik. Cantik banget sumpah, dia cantik banget sekarang dengan gaunnya, make upnya, hair do, sampai sneakernya yang gue yakin dia pake di balik gaun panjang ini.

Sampai gue nggak menyadari telah memperhatikan Alex cukup lama, dari yang tadi senyum sampai dia memandang gue dengan bingung. Gue berdehem sebelum menjawab Timothy, "Yap. Cantik kok."

Kenapa gue jadi salah tingkah gini? Sial, Timothy pasti menyadarinya dan siap untuk meledek. Gue meliriknya sekilas dan benar saja dia udah siap-siap melakukan apa yang gue pikirkan. Namun, sebelum itu terjadi, Alex sudah lebih dulu bersuara menanyakan perasaan dia.

"Lo nggak deg-degan, Tim?"

"Deg-degan parah weh." Gue melihat Alex mengangguk-angguk dan tersenyum geli. "Pasti sih, siapa yang nggak ya di hari pernikahan gini?"

"Si bocah ini kayaknya sih nggak, Lex." Si onta main samber aja. Gue menaikan alis menantangnya. "Ya, karena lo nggak bakal nikah juga kan, Gi?"

Tangan kanan gue terangkat dengan jari tengah yang sengaja gue naikan. Itu sudah cukup menjadi jawaban yang langsung disambut tawa geli dari Alex melihat interaksi gue dan Timothy serta pria yang sebentar lagi sah menikah ini dengan tawa puas. Ketawa lo selagi masih bisa, Oliver Timothy.

Sampai kemudian, salah satu staff yang gue yakin dari WO yang disewa Timothy memanggil pria itu. Waktunya sudah dek

"Kak Timothy, udah waktunya."

"Duluan ya gengs. See you!"

"Good luck bro."

"Good luck ya Tim!"

Gue berbalik pada Alex, "Lo udah selesai, Cas? Kalo udah yuk." Alex mengangguk sebagai jawabannya, lalu dia berjalan menuju meja yang nggak jauh dari posisi kami berdiri untuk mengambil tas miliknya.

"Yuk," katanya mendekat ke arah gue dan kami berjalan ke titik kumpul para bestman dan bridesmaid.

Alexandra

"I, Oliver Timothy Hermawan, take you, Marcherlly Ananda Putri, to be my wife. I promise to love and honor you from this day forward, for better, for worse, for rich, for poor, all the days in our lives..."

"I, Marchelly Ananda Putri, take you, Oliver Timothy Hermawan, to be my husband. I promise to love and honor you from this day forward, for better, for worse, for rich, for poor, in sickness and health, all the days in our lives..."

"...Till death us apart."


Gue jarang terharu, perasaan yang jarang gue rasakan. Tapi saat ini ketika Chelly mengucapkan janjinya di depan Tuhan dan Jemaat, gue merasakannya. Gue coba tahan karena nggak mempersiapkan tisu atau sapu tangan.

Dari samping gue, Gio menyodorkan sapu tangan miliknya. Gue langsung mengambilnya dan nggak lupa mengatakan terima kasih pada pria itu. Oh, gue belum sempat menggambarkan betapa tampannya seorang Gevariel Giovanni saat ini.

Tubuh atletisnya dibalut dengan setelan jas warna Navy yang sangat cocok dengan kulit tubuhnya itu. Belum lagi, rambutnya yang diangkat ke atas memperlihatkan dahinya. Oh my God, definisi tampan paripurna.

Semua orang menyadari betapa tampannya Gio. Bahkan sejak di ruang make up, beberapa kerabat dari Timothy dan Chelly sudah membicarakan dirinya. Apa yang pria itu katakan memang benar, dia akan mencuri perhatian di pernikahan ini.

"Jangan nangis, entar kita jadinya syuting film disini," bisik Gio. Sambil mengusap pelan air mata menggunakan sapu tangan yang tadi diberikan, gue menatapnya dan mengernyitkan dahi.

"Iya, syuting film horor."

Sialan, gue ngakak tapi harus menahan dan dengan menyenggol tangannya. Gue mengerti kenapa dia menyebutkan film horor kalau gue nangis. Karena saat ini gue memakai maskara dan eye make-up yang kemungkin akan luntur saat kena air. Tapi pria ini tidak tahu bahwa ada teknologi yang namanya water proof. Nggak ada ceritanya gue bakal jadi maklampir kalau nangis.

Akhirnya, kami berdua menahan tawa bersama di tengah proses pernikahan ini. Orang dibelakang kami pasti mengira bahwa kami sangat terharu sampai pundak bergetar. Tapi sebenarnya saat ini kedua pundak kami bergetar karena menahan tawa.

Oh, Tuhan maafkan kami yang sungguh berdosa ini. Apalagi saat ini Pendeta sedang memberikan pengajaran tentang pernikahan di depan. Sepertinya gue dan Gio sudah terdaftar di neraka melalui jalur prestasi.

"Jangan ketawa," bisik gue sepelan mungkin sehingga hanya Gio yang bisa mendengarnya. Gio masih berusaha mengontrol tawanya dan menatap gue dengan tatapan meremehkan.

"Lo juga masih ketawa, Cas," balasnya pada gue. Sialan, gue nggak bisa menjawab lagi karena sel tertawa gue belum puas juga. Sampai-sampai gue harus mengigit bagian dalam pipi gue dan menunduk. Karena kalau melihat Gio, gue akan terus tertawa. 

Bahaya ini, gue bakal dirajam saat ini juga kalau ketahuan tertawa. Satu-satunya cara adalah gue menjauh dari pria disamping gue ini. Tapi nggak mungkin karena posisi duduk telah ditentukan seperti ini. Dan kebetulan karena gue berpasangan dengan dia ketika menyambut mempelai tadi, jadinya kami duduk sampingan.

"Jangan digigit kencang-kencang, Cas. Entar sariawan, lho," bisik Gio yang entah bagaimana sudah bisa mengontrol tawanya. Gue mengangkat kepala dan mendapati dia menatap gue yang gue balas dengan tatapan terkejut.

Terkejut karena dia menyadari apa yang gue lakukan terhadap bagian dalam pipi gue.

"Sorry ya kalau gue lucu banget, emang terlahir kayak gini." Lanjutnya sambil terkekeh-kekeh yang diakhiri dengan nyengir kemenangan seolah-olah telah mengalahkan gue dalam sebuah pertandingan. Yang tadinya tertawa, gue sekarang jadi pengen mengumpat pada pria ini. 

Gue baru saja akan membalasnya, dia sudah melakukan hal yang hampir membuat jantung gue copot dari tempatnya. Gio merangkul bahu gue dan mendekatkan tubuh kami. Lalu berbisik, "Habis ini gue traktir kopi ya, so sorry."

Gue berusaha semaksimal mungkin untuk nggak bertingkah berlebihan dan memilih untuk memutar mata malas menanggapinya. Karena kalau iya, dia akan menyadari jantung gue yang berdetak sangat kencang. Dan jantung gue berdetak seperti dia hanya untuk dirinya. Seorang pria yang nggak akan bisa gue miliki, apapun yang terjadi.

Sementara pria ini tanpa rasa bersalah sedikit pun memberikan senyuman kepada gue karena dia tahu gue akan menolak tawarannya.

Kenapa selalu pihak wanita yang menjadi badut... 

JAKARTA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang