Bagian 6

1.4K 152 4
                                    

"Giliran udah putus aja lo baru nyadar temen lawan jenis di sekitar ternyata secakep itu. Selama ini kemana aja? Hadeh." - Teman Julid edisi kaum Milenial.

***

Alexandra

Gue sedang di toilet menata kembali make up dan hairdo sebelum memasuki ballroom resepsi pernikahan salah satu temen kantor. Makin kesini, gue menerima semakin banyak undangan pernikahan dari orang-orang yang gue kenal. Kenapa pada demen banget nikah ya?

Pernikahan yang gue hadiri saat ini sebenarnya diluar rencana. Karena awalnya gue ke Jakarta untuk melihat drama musikal petualangan Sherina. Ketika membuka WhatsApp anak-anak kantor gue sebelumnya, mereka sedang ribut-ribut mempersiapkan diri dan hadiah untuk acara ini.

Gue sengaja memilih toilet di bagian depan untuk menghindari antrian. Karena toilet di dekat ballroom pasti banyak yang menggunakan. Apalagi undangan Catherine nggak main-main banyaknya.

"Cassie? Alexandra Clarissa?"

Langkah gue terhenti ketika ada yang memanggil nama gue. Gevariel Giovanni.

Kenapa eksistensi lo selalu mengganggu hidup gue? Pria itu dengan langkah besar dari kakinya yang memang panjang berlari ke arah gue dengan raut yang excited. Ya Tuhan, cobaan macam apa ini? Dari posisi gue berdiri saat ini, gue bisa melihat tampilannya yang wow.

Tubuh atletisnya itu terbalut rapi dengan setelan jas yang gue tahu harganya lebih dari dua digit. Rambutnya yang diangkat ke belakang, sukses menampilkan jidatnya yang sama tampannya dengan semua yang ada pada tubuhnya itu. Tampilannya sukses membuat gue terpesona. Belum lagu auranya yang... wow. Dari dulu juga emang tiada tandingnya sih seorang Gevariel Giovanni di mata gue.

"Eh? Gio?"

"Astaga, beneranlah. Gue kira salah orang. Ngapain disini?" Dia agak sedikit ngos-ngosan.

"Mau boarding naik pesawat. Ya menurut lo aja." Gue tertawa geli padanya. Dia terlihat langsung salah tingkah dengan perkataan gue. "Iya juga ya. Lo pasti ngehadirin acara disini kan ya. Bego banget gue pake nanya." Dia ikut tertawa dengan sangat menawan.

Benar-benar definisi effortlessly handsome.

"Lo ballroom yang mana?" Tanya gue padanya. "Jangan-jangan sama lagi."

Gevariel

"Cathrine Tjayadi?" Tebak gue. Pupil Alex membesar dengan otomatis. Dari ekspresinya, gue yakin 100% kami menuju acara yang sama.

"What a coincidence," katanya sambil tersenyum. Gue belum bilang betapa cantiknya wanita di depan gue ini. Apalagi kalau dia tersenyum seperti saat ini. Dia mungkin nggak memakai gaun se-wah yang lainnya, hanya sebuah dress hitam polos selutut, polesan make up natural yang sepertinya dia hanya memakai lipstik tipis, dan look at those sneakers. Seorang Alexandra Clarissa sekali, nggak pernah berubah.

"Benar-benar seorang Cassie." Gue menatapnya tersenyum dan dia balik menatap gue bingung dengan kedua bola matanya yang sedikit berwarna cokelat. Lalu, menyadari arah pandang gue pada sneakernya. "Ah. Iya, dong. Heels are painful. You should try sometimes," jawab Alex dengan geli dan menggoda gue di akhirnya.

"No, thanks. Nanti banyak yang naksir." Balas gue dan kami sama-sama tertawa. "Shall we?" Ajak gue pada Alex berjalan bersama menuju lift karena Ball room yang dipakai adalah Glasshouse di lantai 8.

"Lo kenal Cathrine darimana, Cas?" Tanya gue padanya masih menunggu antrian lift. Gue nggak menyangka dunia sekecil itu dan kok gue tiba–tiba excited banget begitu tahu kalau undangan kita sama.

"Temen gue sekantor dulu. Lo kenal dari Aussie ya?" Tebakannya benar. Dulu gue dan Chatrine mengambil beberapa mata kuliah yang sama. Apalagi sama-sama dari Indonesia dengan latar belakang keluarga yang nggak begitu jauh, circle permainan kita udah pasti sama.

"Iya. Kok lo tahu gue di Aussie? Terakhir kali kan kita ketemuan tuh lulus SMA bukan sih. Udah lama banget. Gue juga jarang pulang Indo dan kumpul-kumpul." Nggak ada intensi kemana-mana disini, gue murni penasaran aja.

"Nah, makanya lo harus sering ikut kumpul-kumpul karena lo bakal tahu gimana keponya anak-anak sama kehidupan lo."

"Oh, jadi gue diomongin terus nih setiap kumpul-kumpul?" Gue bercanda karena udah tahu sekepo apa angkatan gue. Buktinya di bukber kemaren, serasa lagi konferensi pers.

"Btw, lo sendirian aja? Mau bareng aja nggak? Kalau lo sendiri." Tawar gue padanya. Karena gue yakin sama gut feeling gue kalau wanita ini datang sendiri. I mean, tanpa pasangan, dan mumpung gue juga sendiri. Why not?

"Nggak sih. Lo sendiri? Gue sama temen kantor doang. Tapi kalau mau gabung, ayo aja." Gue menimbang-nimbang, tapi akhirnya gue memutuskan untuk ikut. Toh, gue benar-benar sendirian dan mumpung ada yang gue kenal.

"Boleh deh. Nanti kalau temen-temen lo nggak nyaman, kasih tahu aja ya." Alex mengangguk sebagai jawaban. Obrolan kami terputus sesaat setelah memasuki lift. Karena ada beberapa orang lain yang naik juga. Situasinya nggak memungkinan untuk ngobrol.

Gue mempersilahkan Alex turun lebih dulu daripada gue, lalu menyusul langkah. Kami berpisah di meja tamu untuk menuliskan nama dan mendapatkan souvenir. Alex menunggu gue di dekat pintu masuk karena dia sudah selesai lebih dulu.

JAKARTA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang