Part 18. Masa lalu

90 45 4
                                    

Maaf lama ngilang
_
Beberapa part sebelumnya sudah saya revisi, bisa dibaca ulang biar nyambung sama part seterusnya.

Happy Reading🤗

***

"ngapain lo dari sana?!" hardik Zia ketika tak sengaja berpas-pasan dengan Tasya yang baru saja keluar dari ruang tata usaha.

"ganti spidol" singkatnya.

"bukannya tugas sekretaris? Ngapain repot-repot" celetuk Zia. Rasa marah beberapa menit lalu hilang total. Ngapain ia terlalu memikirkannya? Toh juga tak berpengaruh apapun.

Tasya mengeluarkan sebuah tisu dari saku rok abu-abu, ia membersihkan tinta yang mengotori telapak tangan "tadi gue dimintai bantu sama Lena. Gue iyain saja deh. Berhubung mata pelajaran PJOK berlangsung, gue milih keluar kelas saja. Gerah gue" cerocos Tasya tersenyum lega.

Zia menggaruk kening "Pak Devano masuk?"

Tasya memutar bola matanya malas "pake nanya lagi! Lo sendiri tahu bapak centil itu gak pernah absen. Sok ganteng banget sih" nyinyirnya "tapi gue akui emang cakep. Hehhe" Tasya nyengir lebar

Jitakan pelan mendarat dikening Tasya "sopan sama guru" peringat Zia meski tak terlalu serius.

Tasya mengembalikan raut gusar "fakta. Gak nyadar lo waktu dia godain lo dikelas? Mentang-mentang masih muda seenaknya ganggu murid sendiri"

Zia terkekeh "gue 'kan cantik sya, siapa yang gak berani lirik" Zia menaikkan dua alis angkuh

"PD amat lo" Tasya tergelak. "gue balik kelas, make up gue kayaknya perlu ditata ulang sama profesional. Lo gimana?" tanya Tasya kemudian

"Ntar nyusul selesai bapak tuh ngajar. Bilangin saja gue boker"

"Isshh" Tasya mengapit hidung "ogah gue"

Keduanya tertawa setelah beberapa detik saling menatap. Tasya pun memilih pergi dari sana.

"Terimakasih sudah membantu ibu"

"sama-sama bu. Memang kewajiban saya membantu menangani kasus murid-murid yang tidak menaati peraturan" jawab suara berat itu

Karena merasa tak asing bahkan ia sudah bisa menebak siapa gerangan dibalik suara barusan, Zia refleks maju beberapa langkah. Kakinya siap mengambil ancang-ancang untuk seribu langkah kedepan.

Satu
Dua
Tiga

"mau lari kemana?" Tangannya sudah lebih dulu tercekal

"hiroshima nagasaki" jawab gadis itu sekenanya.

"terlalu jauh. Lebih baik kepelukan gue saja" Erlan beralih memegang kedua pundak Zia. Memutarnya sehingga keduanya bersitatap. Erlan meraih tangan Zia dan menggenggamnya.

"lepasin" Zia menyentak kedua tangan tapi yang ada Erlan semakin menguatkan genggaman dengan sedikit  posesif

Mata Zia melotot. Sikap macam apa ini?

Sementara Erlan terlihat tenang dengan seulas senyuman hangat yang mampu membuat siapapun terhipnotis. Tatapannya yang teduh, lesung pipit yang memabukkan dan pembawaannya bagai air mengalir yang menghanyutkan.

"jangan hindarin gue terus, Zi. Gue bisa perbaiki semuanya" Ucapnya pelan. Terdengar sedikit lirih.

Agak menyakitkan jika mengulang kenangan yang telah berlalu. Tapi jujur Zia masih tidak begitu tega dengan wajah memelas yang laki-laki itu tampilkan.

"lo sudah punya Laura, lan" Zia berkata dengan pelan bahkan terdengar lembut "jangan egois dengan nyakitin perasaan dia" bagaimana pun ia juga perempuan. Zia tahu gimana rasanya ditinggalin tanpa alasan yang jelas.

"apa rasa yang dulu masih tersisa sedikit saja?" Erlan menatap lekat-lekat manik kecokelatan itu, tatapannya seolah memohon agar gadis itu mengangguk. Setidaknya ia memastikan ada sedikit harapan untuk mendapat kembali hati yang pernah ia hancurkan.

Zia menggeleng.

"semudah itu?" Erlan sedikit meremas tangan yang ia genggam. Jarak yang ada ia kikis sedikit demi sedikit. Ia berharap gadis itu hanya bergurau.

"semudah lo berpaling" Tukasnya "Gue gak mau pelihara rasa sakit terlalu lama" Zia memalingkan wajah karena jarak yang tinggal sejengkal.

Bahu Erlan merosot kecewa "berapa kali gue bilang, gue nembak dia karna keharusan. Bokapnya yang nyuruh gue buat macarin dia"

"itu urusanmu. Gue gak peduli"

"tentu lo harus peduli!" suara yang biasanya tenang sedikit naik "karna gue hanya suka sama lo, Lorezia" Erlan kembali memelankan nadanya ketika gadis itu sedikit terkejut.

Zia tertunduk. Bukan karena ingin menangis melainkan karena rasa kecewa yang kembali menerpa

"lo tau gimana rasanya ngilang tanpa kabar, tanpa alasan jelas?" menghirup napas sedalam-dalamnya lalu mengembuskan kasar "lo jauhin gue tanpa tahu kenapa. gue bingung lan sama sikap lo, ada masalah apa?" tatapan Zia menghunus tajam kedalam mata laki-laki itu "meski sadar kita tidak ada status tapi gue cemburu ketika lihat lo sama Laura. Berarti selama ini lo PHP-in gue doang, ngasih harapan tiap saat, ujung-ujungnya jadian sama cewek lain-"

"gue sudah bilang terpaksa" Erlan langsung menyela. Memohon agar Zia sedikit mengerti.

"lalu tiba-tiba lo datang lagi bilang pengen kita dekat kayak dulu. Kenapa? Mau ngulangin rasa sakit yang sama? Mau bikin gue nahan mati-matian rasa kecewa secara berulang?" imbuh Zia sedikit menekankan kalimat akhir.

Erlan tampak frustasi. Rambutnya yang tebal dan rapi teracak kasar begitu saja, ia mempererat menggenggam tangan Zia lalu menunduk.

"gue minta maaf" lirihnya lagi.

Zia memperhatikan seksama wajah Erlan yang bersungguh-sungguh tapi tidak mempan untuk membuatnya luluh.

"tentu gue sudah maafin, apa hakku menentang lo suka gadis lain? gue siapa? Gini juga gue sadar diri"

"ayo jadian"

Zia spontan menyentak kedua tangannya kuat sehingga terlepas dari cengkeraman laki-laki itu. "Lo gila?! gue sudah bilang lo punya Laura!" sedikit emosi, Zia tidak tahan lagi mengeluarkan kata-kata yang sedari tadi memaksa terucap.

"terima gue, Zi. bukannya lo ingin kalimat ini terdengar dari dulu? Sekarang sudah terkabul" pintanya

"dulu! Sekarang gue gak perlu sama sekali! bahkan gue jijik!" tukas Zia cepat

Erlan menampilkan senyuman getir. Ini bukan dirinya jika terbawa suasana panas. Wajah yang semula menunjukkan sedikit amarah perlahan menghangat.

"gue bakal nunggu kapan pun lo nerima gue lagi" pungkasnya tak ingin memperpanjang perdebatan yang hanya menciptakan jarak semakin jauh. Mengalah lebih baik, bukan?

"gak bakal pernah ada kesempatan, g-gue suka orang lain"

"Alex?" terka-nya dengan alis sebelah terangkat. Raut wajahnya sedikit berubah tidak senang.

Tidak ada tanggapan. Zia memilih meninggalkan laki-laki itu alih-alih menjawab pertanyaannya.

Pergi dan datang sesuka hati? Ini hati bukan indomaret. Zia membatin.

ALEXANDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang