Tepat jam Sembilan pagi, Tasya tiba depan rumah Zia sesuai perjanjian bahwa mereka akan keluar memanfaatkan tanggal merah yang hanya ada sekali sebelum menghadapi ujian nanti. Untuk mengusir karakter ala-ala tomboy yang dibuat-buat, Tasya memilih mengenakan midi dress berwarna merah muda yang menonjolkan sisi femininnya disertai dengan pita lucu yang menambah kesan imut.
Tok tok
Pintu terbuka. Senyuman dari wanita paruh baya yang tak lain adalah Nita menyambutnya hangat.
"pagi tante" sapanya seraya meraih tangan tersebut untuk menyalaminya
"pagi nak, Zia ada dikamar"
Tasya mengangguk paham. Tanpa membuang waktu lagi, kakinya segera menuntunnya menerobos kamar yang terletak ditengah ruangan. Zia yang baru saja selesai mandi langsung melototkan mata pada suara gebrakan pintu yang membuatnya terperanjat.
"ketok dulu, anjir. Gak sopan lo sama yang punya kamar!"
"halah, lo saja kayak setan kalo kerumah gue. Gaada etika" balasnya tak mau kalah. Slingbag yang ia bawa diletak dimeja belajar Zia. Buku berserakan yang membuat mata jengah meloloskan embusan napas berat dari bibir Tasya. Ujian hanya menghitung hari saja dan itu sangat membebani pikiran. Matanya kemudian mengarah pada benda pipih yang terletak ditumpukan buku. Ada sedikit keresahan yang terpancar dari sana.
"lama bener, sih Zi. Gue sudah bela-belain nih datang pagi-pagi. Sudah sampe lo-nya masih belum kelar juga. Jadi nunggu lagi, nih" sungutnya tiba-tiba
Zia yang tampak santai memilih outfit yang akan ia kenakan segera menoleh tajam. Dengan kasar pula ia melempar pakaian yang sudah ia pilih kekasur. "siapa suruh datang-nya kecepatan? Pake nyalahin gue lagi!"
"semalam gue sudah ngirimin lo pesan, biar cepat selesai dandan-nya. Baru juga gue ngetik, lo sudah off duluan. Sok sibuk amat"
Oh, iya. Semalam setelah ia mematikan ponsel, daya baterainya habis. Baru juga pagi ini ia menyadari baterainya yang lowbat sehingga ia buru-buru mengecasnya beberapa menit lalu. "ponsel gue mati"
Tasya tampak mengangguk. Sedikit terpancar kelegaan diwajah-nya yang telah dipolesi make up tipis. "oh, syukurlah" ujarnya.
"Syukurlah?" beo Zia mengangkat alis sebelah. "napa lo lega gitu?" tanyanya yang langsung menghentikan sejenak aktivitas. Matanya memicing curiga sembari mengangkat dagu heran.
Senyuman paksaan yang Tasya perlihatkan semakin membuat Zia terheran-heran. Tasya kemudian mendekati Zia yang memaku pandangan lalu mendorong temannya itu agar memilih outfit yang lebih kece. "apaan, sih. Sudah gak usah buang-buang waktu" pungkasnya.
***
Setelah sekian lama sibuk belanja keperluan acara yang katanya akan menjadi sebuah kejutan itu, mereka akhirnya tiba disebuah restoran yang lumayan besar dan mewah. Zia yang sudah merasakan pegal-pegal dilengan dan kaki pun terlihat begitu lega. akhirnya, ia bisa bernapas dengan leluasa setelah berjam-jam lamanya mengunjungi toko-toko kue.
"restoran yang ini?" tanyanya memastikan. Soalnya, ini restoran tempat mamah ia bekerja. Ia tidak menyangka saja jika pemilik usaha tempat mamanya bekerja selama ini adalah kak Dean, kakak temannya sendiri. Sekali ia mengantarkan mamahnya yang pergi bekerja sehingga ia tahu tempat ini.
Tasya mengangguk. Kedua tangannya memegang kotak hitam berukuran sedang yang dibungkusi plastik putih. Sementara dengan Zia hanya membawa beberapa confetti yang akan melengkapi kemeriahan acara tak terduga ini.
Mereka melangkah masuk. Kepadatan para pelanggan yang menikmati sajian makanan membuat Zia beberapa kali tersenyum kikuk. Ia hanya sedikit gugup ditatap oleh puluhan pasang mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEXANDER
Teen Fiction"Ada beberapa hal yang tidak bisa di perbaiki. Waktu yang terbuang sia-sia dan kepercayaan yang telah rusak" ~Lorezia~ *** Cerita murni dari pikiran penulis, jika ada kesamaan nama,tempat dan peristiwa Itu ketidaksengajaan dan bukan hasil copas kar...