Part 28. puing-puing ingatan

31 13 0
                                    

Beberapa jam lalu matahari telah terbenam meninggalkan kegelapan dilangit malam yang dihiasi oleh beberapa bintang saja. Setelah hujan reda, bintang seolah memilih tidur ketimbang tampil untuk sekadar menunjukkan kerlap-kerlip cahayanya yang gemerlap.

"woahhh"

Zia menguap pelan setelah berkutat lama dengan puluhan buku yang berserakan dimeja belajarnya. Detik kemudian, Terdengar gemeretak tulang ketika ia meregangkan badan yang kaku. Saking seriusnya mempelajari kembali materi yang akan diujiankan beberapa minggu lagi, membuat gadis itu tidak menyadari bahwa langit sudah gelap total. Mengarahkan pandangan kedinding kamar, ia berjengit kaget karena jam yang sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Yang benar saja, padahal ia memulai mempelajari semuanya ketika langit masih tampak terang.

"haus"

Ia segera bangkit dari duduk lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil secangkir air. Matanya mengerjap beberapa kali setelah menandaskan air yang berhasil mengusir dahaga. Perih, kedua bola matanya sedikit berair akibat terus memaku tatapan pada buku selama berjam-jam. Percikan air yang ia lakukan sedikit membantu matanya yang kepanasan.

Dirasa cukup, ia meninggalkan dapur untuk kembali kekamarnya. Tapi, sesuatu baru saja menghentikan langkah kakinya. Tepat ketika berdiri depan pintu kamar cokelat, Zia diam mematung untuk mendengarkan tangisan yang nyaris tak terdengar. Itu kamar mamahnya. Dari celah pintu yang tak sepenuhnya terbuka, ia memberanikan diri untuk mengintip. Nita tengah memeluk sebingkai foto berukuran sedang dengan sesekali mengusap wajah yang basah.

"mas..." lirihnya. Matanya memejam rapat dengan pelukan yang semakin kuat pada bingkai itu. Ia kembali mengingatnya. Rasa sakit itu, terasa sangat nyata seolah semuanya tak pernah lekang oleh waktu.

Dari balik pintu kamar, Zia menyaksikan semua tangisan yang ditumpahkan secara diam-diam itu dengan tangan terkepal marah. Segelayut rasa sakit yang turut mencekik membangkitkan kemarahan yang lama terpendam. Marah karena memiliki seorang ayah pengkhianat yang dengan mudahnya melepas wanita tulus yang mencintainya tanpa syarat. Mamah-nya wanita dengan hati selembut sutra harus mendapatkan lelaki kotor yang bahkan hatinya tak tahu terbentuk dari apa. menyakiti sesuka hati, pergi tanpa rasa iba dan menyebabkan luka yang masih terukir sempurna.

Tak tahan, Zia hendak mendorong pintu melangkah masuk. Tapi, tarikan kuat ditangannya membuatnya tersentak keluar.

"jangan ganggu mama" hardik Zeo setengah berbisik. kedua tangan mencekeram pundak kembarannya.

"gue gak tega, Ze" Zia berucap lirih dengan tatapan yang sarat akan kesedihan

"ini karna ulah lo sendiri!"

Zia mendengus tak percaya. "kenapa jadi gue?" suaranya sedikit meninggi. "Ini karena..." ucapannya tertahan. lidahnya terasa kelu untuk saat ini.

"karena lo yang diam-diam datang ke apartement laki-laki tanpa sepengetahuan kami" bentak Zeo. "Mama kecewa sama lo. Dia gak besarin lo buat jadi cewek gak benar"

Delikan mata kaget membuat tenggorokannya tercekat. "jangan tuduh gue sembarangan!" Zia berusaha mengelak. "mamah nangis karena..., karena papa!"

"halah, kita gak pernah punya papa. Pria bajingan itu sudah mati!"

"Ze!" matanya seketika memerah antara marah dan menangis. Jujur, ia sangat amat membenci pria yang pernah ia sebut 'papa' dimasa lalu. apalagi, mengingat senyuman tulus yang pernah ia dapatkan sewaktu kecil, perlakuan manis yang pernah ia terima layaknya tuan puteri dari sang 'papa' membuatnya sering terjebak dalam kenangan menyakitkan akan seorang ayah.

Betapa ia membenci sosok pria yang menjadi cinta pertama si puteri kecilnya, tega menghancurkan hati mungil yang baru terbentuk hingga berkeping-keping tanpa ampun. kasih sayang seorang ayah...telah sirna semenjak ia menggandeng wanita asing dihadapan mereka bertiga. ketika matanya menyaksikan tangisan pilu dari sang mamah, saat itu pula ia berlari memeluk kedua kaki sang ayah yang hanya menyorotkan tatapan dingin. Sesegukkan yang biasanya diredakan dengan elusan dikepala, berubah dengan langkah kaki yang meninggalkan rumah setelah melepas kedua tangan mungil yang menolak sebuah perpisahan.

"Ze..." Zia menutupi wajah menggunakan telapak tangan. Tangisnya pecah disertai airmata yang perlahan membanjiri pipi. matanya memejam rapat, menolak cairan bening yang ingin tumpah ruah tanpa henti.

Zeo lantas menunduk sesal. Tangannya turut mengepal disisi kiri. ia salah. seharusnya airmata itu tidak boleh turun. ia salah karena...membuat kedua perempuan yang ia sayangi menangis. "stop bikin mama khawatir" sekuat apapun usahanya, masih bisa terdengar gemetaran dikalimat itu.

"t-tapi, ini gak ada hubungannya. Mama, mama n-nangis karena, karena p-papa" ucapnya disela-sela tangisan.

"papa? Jangan pernah sebut itu lagi"

Zia menaikkan pandangan dengan airmata yang masih setia mengalir. bola mata memerah disertai sesegukkan lirih. "papa..." Zia menunduk, meremas kedua tangan dikedua sisi. "jika papa sudah meninggal..., gue harap kurangi kebencian itu. p-pasti disana ia juga m-menyesal.."

Zeo tertawa. "Neraka. Surga tidak ikut menampungnya" tegas Zeo membuat Zia menggeleng kuat. Ia semakin sedih, sudah tidak ada peluang dihati kembarannya itu untuk memaafkan pria tak berhati dimasa lalu.

pintu terbuka. Zia cepat-cepat mengelap airmata yang membasahi wajah. menjatuhkan pandangan agar tak ketahuan menangis, ia membungkam mulut agar tak mengeluarkan segukkan.

"antarkan mama ke apotik" suara itu, terdengar datar.

Zia menoleh kearah mamahnya yang mengenakan syal dan jaket tebal. "mah" panggilnya lirih.

Nita menoleh. Mata yang masih memerah itu meresponsnya dengan pandangan dingin. bertolak belakang dengan senyuman yang ia lihat. seperti melihat jiwa kosong yang berusaha bahagia.

Hanya senyuman itu saja. Tak ada sepatah kata yang keluar hingga mereka melenggang pergi meninggalkan rumah.

"maaf, mah..." lirihnya dalam hati. Ia teringat sesuatu, bahwa ini hari dimana kedua orangtuanya berpisah. lebih tepatnya hari dimana sang 'papa' pergi meninggalkan mereka bertiga. Mungkin itukah penyebab mamahnya menangis malam-malam begini? Kakinya pun segera menuntunnya berjalan kekamar mandi untuk membasuh wajah dari sisa airmata yang sudah mengering. Begitu selesai, ia kembali kekamarnya untuk mengistirahatkan kepala yang lumayan terasa sakit.

"apa Tasya yang memberitahu Zeo yang sebenarnya?" pertanyaan itu terlintas begitu saja. "tapi, Tasya sudah berjanji merahasiakan semuanya. Kenapa?"

Tangannya meraih ponsel dari meja belajar ketika bunyi notifikasi terdengar. Terpampang nama Tasya si pengirim pesan disana.

Tasyapinky
besok keluar jalan, yuk.
gw mau bawa lo ke restoran kakak gw

Zia tampak diam ditengah kegundahannya ketika membaca pesan barusan. Haruskah ia Tanya saja jika Tasya yang membeberkan semuanya pada kembarannya yang tidak bisa menjaga rahasia itu?

Loreziagriptha
gaada waktu. Mamah gw lgi sakit
jd, gw bantuin bersih2 rmh

Tasyapinky
gak seharian Zi😌
kakak gw ultah🥳, bantu ramein aj

Loreziagriptha
palingan lu ngajakin belanja
sama nyalon😏

Jarinya kemudian menggantung diatas keyboard. Ada sedikit rasa kecewa yang mulai menggelayutinya terhadap sikap Tasya.

Tasyapinky
gw gak boong,
ntar gw beliin novel
kalo gw nipu✌

Loreziagriptha
okelah

Tasyapinky
semangat, dongs
😒

Setelah pesan singkat itu, ia segera merebahkan tubuh dikasur. Akhir-akhir ini, banyak sekali perbedaan yang ia rasakan seolah ada sesuatu yang tengah disembunyikan. Tetapi ia tak cukup pintar menebak. Perasaan ganjil yang baru-baru ini mulai berdatangan membuatnya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang lumayan mengusik.

ALEXANDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang