Part 7. Apartement Alex

172 117 6
                                    

Susah payah Zia mengikuti langkah jenjang Alex menyusuri koridor. Jantungnya terus berdebar antara takut dan khawatir. Karena ia bisa merasakan amarah yang menggeluti laki-laki itu. Begitu memarkirkan mobil di basement tadi, Alex turun dari sana tanpa sepatah kata. Bahkan sekarang pun tidak kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu.

Pintu berhasil terbuka ketika Alex selesai memasukkan kode pin-nya. Melengos ke dalam meninggalkan Zia yang bimbang depan pintu.

"sampai kapan lo berdiri disana?" Kalimat itu membuyarkan pikiran Zia. Gadis itu pun masuk dengan hati-hati. Menyadari pintu di belakangnya ditutup oleh Alex lantas tangannya menempel didada menenangkan gemuruh dihatinya.

Menyadari Alex masuk keruangan lainnya, Zia mengedarkan pandangan mengamati. Apartemen ini tidak luas. Perabotannya sedikit serta beberapa benda-benda yang tidak terlalu mencolok. Matanya menelusuri dinding dan menyadari tidak ada satu foto pun yang terpajang disana. Zia mengerutkan kening penasaran. Alex nggak punya keluarga? Setidaknya satu bukti bahwa laki-laki itu bukan sebatang kara.

"lo tidur di kamar" Alex datang dengan sekaleng soda ditangan. Penampilannya kini berubah dari sebelumnya. Hanya dengan celana jogger hitam serta singlet hitam membungkus badan tegap itu.

Alex sangat tampan. yah Zia menyadarinya. Apa lagi dadanya bidangnya terlihat jelas ketika ia hanya memakai kaus singlet tipis. Kembali kekesadaran awal, Zia membelalak. "kita tidur berdua, gitu?" tanyanya panik

Alex kembali menenggak minumannya. Senyum miring lantas bertengger di bibirnya mendengar pertanyaan barusan. "gue nggak yakin nggak bakal ngapa-ngapain kalau sampai itu terjadi"

Otomatis Zia menyilangkan kedua tangan depan dada. Ia ketakutan. Trauma kejadian tadi membuat keberaniannya hilang. Ia takut Alex juga berpikiran sama dengan para pria mabuk tadi dijalanan. "g-gue mau pulang". Matanya mengkilap dalam sekejap. Ia hanya bisa melirik kanan-kiri mencari sesuatu untuk membela diri.

"lo dikamar dan gue disofa" kalimat Alex terdengar dingin kali ini. Membuat bulu kuduk Zia meremang. Alex tidak peduli dengan pikiran Zia yang sudah melayang kemana-mana.

Gadis itu menundukkan pandangan. Matanya mengekori Alex yang berjalan menuju sofa single yang kemudian merebahkan diri disana. Ia keliru. Perasaannya lega menyadari maksud Alex sebenarnya.

"makasih sudah nolongin gue" Zia berusaha menenangkan suaranya yang bergetar. "gue nggak tahu apa yang terjadi seandainya lo nggak datang" meremas celananya, Zia memejamkan mata menenangkan diri.

"tidurlah" Alex berucap dengan nada malas. Seharusnya ia sudah istirahat sedari tadi.

Zia menggeleng. Rasanya tidak lega jika tidak mengungkapkan isi hatinya. Pipinya segera banjir airmata. "ini bakalan jadi hutang budi. Lo bisa nagih kapan saja. Hikss"

"lo bisa tidur sekarang, Zia"

Gadis itu beranjak dari duduk menghampiri Alex. Alex yang memperhatikannya hanya diam saja melihat apa yang akan dia lakukan. "boleh nggak gue pinjem ponsel lo? Gue perlu nelpon Tasya" ucapnya sesekali terisak

Alex mengeluarkan benda pipih dari kantong celananya. Kepalanya terasa pening ditambah Zia yang cengeng kini di apartemennya. Jadi lebih baik gadis itu menyelesaikan urusannya itu.

Setelah Zia sedikit menjauh, Alex mencoba memejamkan mata. Bayang-bayang bagaimana pertengkaran tadi menyusup begitu saja. Tangannya memijat kening, menyingkirkan pikiran-pikiran yang menimbulkan sakit kepala. Untunglah amarah menggebu-gebu tadi hilang. Kalau tidak bisa-bisa apartemennya berantakan saat ini.

"makasih" Zia menyodorkan ponsel tadi. Hanya beberapa menit saja ia kembali menghampiri Alex. "gue perlu alasan kalau gue nginap dirumah Tasya. Gue nggak mau mama sama Zeo khawatir" ujarnya memberitahu tanpa diminta. Jari-jemarinya tertaut gugup.

Alex kembali memejamkan mata mengabaikan Zia yang masih setia berdiri. Dirasa Alex sudah tertidur Zia memilih melangkahkan kaki menuju kamar tadi. Tapi suara berat yang memanggil namanya menghentikan langkah tepat ketika ia berada depan pintu.

"jangan pernah lagi keluar malam sendirian" Tersirat kekhawatiran dari kalimatnya. Alex berkata serius. Ucapannya membuat Zia menoleh dan mengamatinya dalam waktu lama.

"tadi gue janjian-"

"tidur sana" potongnya dengan tatapan datar. Alex kembali merebahkan tubuh dan lagi-lagi bersikap tidak peduli. Zia menghela napas panjang. Saatnya ia tidur. Mungkin malam ini tidurnya akan sedikit terganggu untuk berjaga-jaga. Bagaimana juga ini pertama kali tidur di apartemen laki-laki asing. Lebih tepatnya dengan Alex-cowok misterius yang bahkan tidak begitu ia kenal.

ALEXANDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang