"Alex... anak mama..." elusan tangan disurai hitam itu, meninggalkan tetesan airmata sesal.
Safira tak kuasa menahan tangis begitu melihat tubuh lemah yang terbaring tanpa reaksi. Bendungan airmata meluruh terus menerus, ucapan minta maaf seolah angin berlalu. Tak ada gunanya.
Valerio turut menunduk. Ini kesalahannya. Gagal menjadi seorang kakak melindungi Alex. Memberi peringatan atau memperhatikannya lebih dari kedua orangtua mereka yang dibutakan pekerjaan seharusnya ia lakukan. Valerio terselimuti perasaan bersalah, bahkan saat ini tak bisa melakukan apapun selain memperhatikan tubuh adiknya yang diam kaku.
Namun, setidaknya Valerio merelakan penerbangannya begitu mendengar berita mengejutkan ini. setidaknya ia merelakan menelantarkan pekerjaannya yang terus menuntut untuk dituntaskan. Orang tak pernah lepas dari uang, maka dari itu pekerjaan merupakan hal yang penting. Pointnya, ia tak seegois orangtuanya. Masih ada rasa kekeluargaan yang ia miliki.
Akankah Alex bangun?
Disisi kiri sesegukkan turut menemani. Gadis yang baru saja datang dari kanada, menggenggam kuat tangan kekar yang bergeming. Tatapannya sayu, ini penyambutan yang tidak diinginkan.
Dimana Daichi? Yang penting, Safira datang seorang diri. Pekerjaan. Ya, Daichi tidak bisa membuang waktu untuk menginjakkan kaki ditempat ini hanya untuk menyaksikan seseorang yang kehilangan kesadaran. Ditusuk berbagai jarum suntik, pernapasan yang dibekap oleh oksigen, berbagai alat-alat bantu kehidupan yang tidak berguna, baginya.
"apa yang dokter katakan?"
Kali ini, Safira mendongak. Bertanya pada Valerio yang berada tepat disampingnya.
"pembuluh darahnya pecah akibat benturan keras". Valerio mengembuskan napas berat. Penjelasannya agak lambat-lambat, sesekali menoleh kearah ranjang. "Dokter masih belum bisa memastikan kapan dia sadar"
Safira menepuk dada. Tangannya lantas terulur mengelus wajah pucat itu.
"maafkan mama..., mama mohon jangan tinggalkan mama"
Kata-kata itu terus berulang. Menyatukan perasaan bersalah seorang ibu yang teramat.
Sementara ditempat lain, disebuah ruangan yang minim cahaya. Seseorang tengah meringkuk disudut kamar, menenggelamkan wajah diantara kedua lutut. Mencoba mengusir perasaan-perasaan yang terus menelusup masuk, mengusiknya dengan cairan bening dipelupuk mata.
Suara lolongan anjing, bunyi kelelawar yang beraktivitas bebas, sunyi-nya malam dan sang purnama yang berhasil menembus celah jendela. Tepat jam dua belas malam, Zia terbangun dari mimpi buruk.
"maaf..." suara berat itu menggema. Laki-laki berwajah pucat yang tertunduk lesu, tangannya berhasil meraih tangan mungil Zia lalu menggenggamnya erat. "gue sayang sama lo"ucapnya bergetar... dan pelan.
Zia tersenyum. Benarkah ini Alex? Tanpa bisa menyembunyikan kelegaan, Zia membalas genggaman itu. matanya berkaca-kaca karena senang, akhirnya ia mendengarnya langsung dari bibir Alex.
"tapi kenapa lo sering nyakitin gue?" hatinya mendadak perih. Raut wajah itu berubah seratus delapan puluh derajat. "kenapa seenaknya lo bikin gue merasa kehilangan, khawatir, sama orang yang bahkan suka mempermainkan hati? Lo menginginkan gue saat butuh dan dilain waktu menyuruh gue pergi kayak sampah karena tidak berguna lagi" ucapnya lugas.
Genggaman ditangan semakin erat, menandakan Alex tak setuju dengan kalimat itu. Alex menaikkan pandangan sendu, matanya juga berkaca-kaca. Lalu menggeleng pelan dengan sudut bibir yang melengkung tipis kebawah.
"gue belajar nerima lo apa adanya, gak peduli apa tujuanmu dari awal. Gue sakit, tapi gue tahan. Kekecewaan hanya bisa gue pendam. Bahkan saat tahu...." Airmatanya meluruh tanpa aba-aba. "saat tahu lo punya perempuan lain jauh sebelum gue hadir, gue hanya bisa tersenyum kecut. Jahat! Lo jahat!"
Kedua tangannya dicengkeram kuat. Alex menyalurkan rasa sakit yang sama. Zia merasakannya. Tubuhnya tenang, pemberontakan sia-sia yang hilang dalam sekejap.
"maaf..."
"hikss... hiksssss"
Bolehkah sekali saja ia menumpahkan isi hatinya selama ini? Alex tidak pernah peka. Sifat dinginnya, membuat ia buta dengan sekeliling. Entah bagaimana perasaan yang semula tidak dianggap ada, mengakar hingga menumbuhkan rasa sayang yang sudah tumbuh terlalu besar.
"hikssss..."
Zia menyaksikan tangan dingin itu perlahan mengabur lalu berubah jadi asap. Senyuman tulus diwajah yang tiap harinya terlihat datar, dingin dan menyebalkan terpampang jelas. Rasa sakitnya sangat nyata. Hingga ia histeris dan tersentak dari tidur yang lebih buruk dari sekadar dikejar hantu.
Ia terbangun ditengah malam, pipi yang basah dan tangan yang saling menggenggam.
Zia merapatkan kedua kaki, menenggelamkan tangisan yang menguras airmata. Batinnya mengeluh, kegelapan yang menyelimuti sama sekali tak membantu.
Puluhan panggilan masuk beberapa jam lalu diabaikan. Tasya dan Erlan, dua orang itulah yang sibuk mengganggunya atau sibuk mengkhawatirkannya? Entahlah. Ia meragukan kepercayaan terhadap Tasya, mencurigai sikapnya yang belakangan ini aneh. Sementara Erlan? Laki-laki itu tentu saja mengkhwatirkan dirinya. Karena ia menyukainya. Erlan pernah berkata bahwa ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan dirinya. Tapi yang menjadi pertanyaan, mengapa melalui kecelakaan Alex ia semakin gencar menjalankan niatnya?
Kasus ini segera ditangani polisi. Beberapa ada yang ganjil, mulai dari kendaraan Alex yang tidak berfungsi dengan baik. Polisi mulai melakukan penyelidikan, termasuk mendatangi tempat kecelakaan terjadi dan menahan seorang saksi mata untuk dimintai keterangan yang cukup. Ini hari keempat pasca kejadian, dan masih belum ada informasi dari pihak kepolisian. Semuanya masih menunggu, termasuk menanti kesadaran Alex.
Zia akhirnya tertidur tanpa sadar. Jejak airmata masih membekas, kedua tangan yang terjatuh diatas paha serta mata menutup dengan mimpi baru yang kembali menyambut.
Semoga tadi bukan pertemuan terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEXANDER
Teen Fiction"Ada beberapa hal yang tidak bisa di perbaiki. Waktu yang terbuang sia-sia dan kepercayaan yang telah rusak" ~Lorezia~ *** Cerita murni dari pikiran penulis, jika ada kesamaan nama,tempat dan peristiwa Itu ketidaksengajaan dan bukan hasil copas kar...