Disebuah ranjang berukuran sedang nan empuk, laki-laki bertubuh kekar itu menghempas tubuhnya yang lelah. Ia memijit kening seraya memandangi langit-langit kamar berwarna putih polos. Pandangannya sedikit kabur, bibir merah mudanya terlihat memucat. Selepas dari cafe, Alex merasakan badannya tidak enak. Bukan hal baru lagi jika laki-laki itu mengabaikan segalanya, termasuk dirinya sendiri. tak peduli jika perutnya telah terisi atau tidak. Terkadang dalam seminggu ia bisa tiga kali memasuki tempat hiburan malam untuk mencari istirahat ditemani alkohol yang ia anggap teman terbaik.
Ding dong
Bel apartemennya berbunyi.
Sedikit malas, ia bangkit dari tidur. Berjalan perlahan mendekati arah suara untuk mengetahui siapa gerangan yang mendatangi tempatnya ini. Karena tidak ada siapa pun yang tahu tempatnya ia tinggal bahkan keluarganya sendiri.
Clek
"umm, hai" sapanya canggung seraya memperlihatkan senyum kikuk
Ternyata Zia. Gadis itu menenteng sebuah plastik putih ditangan kiri. Tubuhnya yang ramping masih dibalut oleh seragam abu-abu yang terlihat lumayan basah oleh keringat.
"gue boleh masuk?" Tanya Zia yang sudah menampik rasa canggungnya sendiri. Ini bahkan bukan interaksi pertama mereka. Ngapain pake acara gugup-gugupan.
Tanpa sepatah kata sebagai tanggapan, Alex mempersilakan dengan membuka pintu lebar. Membiarkan gadis itu menyelonong masuk disertai senyuman yang terukir dibibir mungil itu.
Dengan santai tanpa beban, Zia menghempas bokong disofa single putih yang tiga bulan lalu terakhir kali ia duduki. "wah, cepat banget waktu berlalu" gumamnya yang menepuk-nepuk sofa pelan seraya mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Plastik yang ia tenteng tadi sudah diletak diatas meja kayu berwarna cokelat. Ukurannya sedikit kecil.
"maaf gue gak bilang terlebih dahulu kalau gue datang" Celetuk Zia memandang Alex yang sudah duduk disebuah kursi yang berseberangan dengannya dengan jarak yang cukup dekat. Laki-laki itu hanya mengenakan single putih dengan bawahan celana sekolah abu-abu. Zia menelan salivanya susah payah karena melihat jelas cetakan otot Alex yang mengundang gelenyar aneh disekujur tubuh. Sixpack menggoda yang pernah ia saksikan tertutup dibalik kain tipis tak berlengan itu. embusan napas kecewa meluncur begitu saja dari bibirnya.
Alex yang sedari tadi diam buka suara "apa tujuanmu datang?" pertanyaan yang tersirat nada tidak suka. Ekspresinya datar tapi seolah mengatakan ia tidak mengharapkan kehadiran gadis itu.
Sekali lagi, Zia meneguk ludah. Tenggorokannya sedikit tercekat melihat wajah dingin yang tidak ia senangi. Ia lebih suka Alex yang hangat. "gue nungguin lo diparkiran tapi lo gak kunjung datang" jawabnya gelagapan. Situasi ini membuatnya bergerak tidak nyaman.
"maka jangan menunggu"
"lo yang nyuruh"
"bodoh" cibir Alex pelan tapi menusuk "seandainya gue nyuruh 'lompatlah kejurang' dan lo bakal nurut begitu saja?" laki-laki itu terkekeh. Mengundang denyu nyeri dihati Zia tanpa alasan.
"Al, lo kenapa?" tanyanya heran. Zia merasakan perbedaan yang begitu mencolok dari sikapnya.
Alex meraih sekaleng minuman bersoda dari meja yang dibawakan Zia. Laki-laki itu menenggaknya habis layaknya orang kehausan.
"pergi dari sini. Tidak ada yang perlu dibahas"
Alih-alih menjawab, ia memilih mengusir gadis yang memasang wajah penuh tanda tanya.
Zia tidak terlalu menggubris kalimat yang barusan Alex lontarkan. Titik fokusnya kini tertuju pada wajah Alex yang terlihat tidak baik-baik saja.
"Al, lo s-"
"pergilah" kali ini kalimatnya terdengar sedikit tegas. Kaleng kosong ia remas kuat sehingga penyok.
Lo sakit?
"kenapa ngotot nyuruh gue pergi sih? Barusan juga gue datang" Zia berpura-pura merajuk. Kedua tangan ia lipat depan dada dengan bibir yang mengerucut kesal. Mungkin saja Alex akan merayunya atau mengacak rambutnya gemas seperti yang sudah-sudah.
"kita akhiri hubungan ini" Singkat Alex. Tidak ada siratan kecewa, penyesalan atau amarah dari nadanya. Pernyataan yang terlontar tanpa perasaan.
Sangat jauh dari yang dibayangkan, bukan? Menyebalkan, satu kata itu yang bersarang dibenaknya.
"istirahat saja, Al. jangan ngawur. Gue kesini cuman mastiin lo doang lalu bawain lo cemilan"
Rahang Alex mengetat, rasa pening beberapa menit lalu perlahan menghilang. "hubungan ini hanya formalitas. Tidak pernah terlibat rasa apapun. Dari awal gue hanya memastikan tujuan gue tercapai dan sekarang lo gak berguna lagi"
Plakk
Refleks wajah tampan itu tertoreh kuat kekanan. Tamparan keras dari seorang gadis yang menatapnya marah. Yah, bisa dibilang gadis itu melakukannya diluar kendali.
"gak berguna?" ulang Zia mengepalkan tangan. Matanya mulai berkaca-kaca merasakan denyutan perih didada.
Alex mengangguk pelan. Tamparan yang terasa kebas tidak meninggalkan rasa sakit yang berarti.
"apa yang lo maksud?!" teriak Zia. Gadis itu terlalu mudah tersulut emosi. Ia harus mencerna situasi lebih baik. Melibatkan marah disetiap saat hanya memperburuk keadaan.
Zia tertunduk pelan. Rasa bersalah mulai menggelayutinya kala memandangi bekas tangannya yang memerah diwajah Alex "maaf" cicitnya. Ia menangis. Tentunya tanpa suara.
"pergi dari sini" kalimat yang sama kembali terdengar. Pelan dan menyakitkan. Apa Alex sangat tidak menginginkan kedatangannya? Apa masalahnya? Kesalahan apa yang sudah ia perbuat?
Seraya mengelap airmata yang merembes dipipi, Zia menaikkan pandangan dengan bola mata berkaca-kaca. "katakan apa alasan jelasnya. Gue g-gak n-ngerti dan gue gak m-mau" Zia terisak. Buliran airmata kembali meluncur bebas membasahi pipi mulus yang kemerahan.
"gue hanya manfaatin lo" Alex berucap tenang seolah tak terganggu sama sekali. "tujuan gue sudah tercapai, gue gak punya alasan lagi untuk melanjutkan hubungan ini"
Seolah tertancap sebuah jarum yang memusatkan rasa sakit disatu tempat terdalam, Zia menggeleng lemah. "kita lanjutkan saja" pintanya dengan bibir gemetar "gak peduli niat lo dari awal, gue mohon jangan akhiri begitu saja, yah" Zia menaruh seluruh harapan agar Alex mengangguk. Kedua tangan meremas kuat ujung baju yang sengaja dikeluarkan.
Menghela napas berat, Alex dengan tampang datar berkata "keputusan gue sudah mutlak" ia memasukkan tangan kesaku. "Karena dari awal gue benci yang namanya hubungan"
Dalam sekejap harapan itu sirna. "lo bisa suka kalau mencoba menjalaninya" Zia berucap lantang. Ia hanya tidak siap terluka. Kenapa semua orang hanya tahu caranya pergi? Apa memilih untuk menetap terlalu melelahkan? Apa itu sulit?
Mata gadis itu mengikuti pergerakan Alex yang berjalan mendekati pintu. Alex membukakannya lalu dengan gerakan tangan menyuruh Zia keluar.
"gue gak punya banyak waktu, pergilah sekarang"
Dengan kecewa Zia bangkit dari duduk menghampiri Alex yang tidak mengubah ekspresi sedari tadi. Rasa sakit terus menjalar. Menyerbu hati gadis itu sehingga meneteskan airmata kesekian kali "gue tahu salah sudah nerima lo setelah tahu alasan dibalik semuanya" Zia mengubah raut wajah serius "tapi gue gak bakal biarin lo ninggalin gue gitu saja" Zia mendorong bahu Alex lalu keluar dari sana sembari mengusap kasar airmata yang terus mengalir tiada henti.
Alex menutup pintu. ia kembali merebahkan tubuh diatas kasur seraya memejamkan mata untuk meredakan pening yang kembali menyiksa.
Dasar keras kepala
Lekungan tipis tercetak dibibirnya. Sedikit lucu mengingat bagaimana Zia sangat bertekad mempertahankan hubungan yang tidak beralaskan ketertarikan dua pihak. Karena memang dari awal ia tidak menganggap serius semua ini. Bahkan ia tidak menaruh perasaan berarti pada gadis itu. lucu, bukan?
***
Maaf kalau sering ngaret Update-nya. Didunia nyata saya juga disibukkan berbagai hal. Saya juga tidak bisa menjanjikan waktu yang tepat untuk update setiap minggunya, mengingat saya menulis jika mood mendukung
Semoga part ini feel-nya dapet🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEXANDER
Teen Fiction"Ada beberapa hal yang tidak bisa di perbaiki. Waktu yang terbuang sia-sia dan kepercayaan yang telah rusak" ~Lorezia~ *** Cerita murni dari pikiran penulis, jika ada kesamaan nama,tempat dan peristiwa Itu ketidaksengajaan dan bukan hasil copas kar...