Part 32. Kabar Buruk?

28 11 1
                                    

Drrt drrttt

Dering ponsel diatas meja mengusik gadis yang masih tertidur dengan posisi duduk disudut kamar. Rambutnya yang semrawutan, disisir kebelakang menggunakan jari-jemarinya. Merangkak lemah mendekati sumber suara, tangannya berhasil meraih benda pipih yang tak kunjung diam.

Jam lima pagi. Erlan meneleponnya sepagi ini?

"halo" suaranya serak. Bahkan matanya sangat sulit terbuka karena sakit.

"lo sakit, Zi?" nada khawatir yang kentara.

"ada apa?" memilih melewati pertanyaan itu, Zia kembali merangkak ke kasur. Badannya terasa pegal, tubuhnya kedinginan.

"pihak kepolisian berhasil mengungkap semua dibalik kecelakaan Alex" kalimat Erlan sedikit terburu-buru."dan, pelakunya sangat cerdik. Butuh seminggu untuk mengetahui dalang dibalik ini semua. Orang yang tidak terduga"

"oh" Zia tidak berniat meresponsnya dengan serius, bahkan nyawanya belum terkumpul semua untuk mendengar ini. pusing masih berputar-putar dikepalanya.

"inilah kenyataannya, kamu harus menerima lapang dada" mendadak, kalimatnya serasa sedih.

"lo tiba-tiba gak nyambung" seru Zia yang berhasil membungkus badan dengan selimut tebal. Ponsel diletak disisi kiri dengan wajah yang menghadap pada ponsel yang menyala. sementara mata tertutup, tapi tetap mengikuti alur pembicaraan.

Kekehan ringan terdengar nyaring. "pulang sekolah, gue anterin lo kerumah sakit"

Menggeliat pelan untuk mencari kehangatan dibalik selimut, Zia melirih. "Laura..."

"itu tidak akan menjadi masalah, Zi. Gue hanya mencoba membantu, Laura tidak pantas salah paham. Dan, lo sendiri tahu" Erlan menggantung kalimat. "gue masih suka sama lo" imbuhnya.

Hening beberapa menit, yang terdengar deru napas pelan dari seberang. "mengertilah" pinta Zia lemah.

"akan gue coba, tapi kali ini jangan nolak tawaran gue. Sampai Alex siuman, ijinkan gue didekat lo. Kasih kesempatan untuk menghapus penyesalan gue, Zi" nadanya memohon. Sama seperti sebelumnya, Erlan terus berusaha mencari kesempatan memperbaiki segalanya. Jika memang tidak ada lagi peluang untuk bersama, maka setidaknya ada usaha untuk mengobati luka yang sengaja digoreskan sedemikian dalam.

***

Katanya, menunggu adalah hal yang membosankan. Faktanya, menunggu adalah hal menakutkan. Takut ketika setia menanti untuk sebuah kabar yang tidak pasti. Apalagi mendengarnya pergi... lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri.

Dengan seragam yang sedikit kusut, Zia setia berdiri didepan pintu dimana Alex dirawat. Keningnya menempel dikaca, menjatuhkan airmata untuk kesekian kali. Bahkan ia tak mampu menerobos masuk, hanya untuk sekadar menyentuh wajah Alex lalu membisikkan kata 'gue mohon, bangun'. Apalagi menyaksikan gadis berambut sebahu itu leluasa merabanya pelan, menggenggam tangan yang ingin sekali ia usap dengan lembut, membuat getaran tak terima terus terasa dilubuk hati.

Selama ini, Alex selalu menyakitinya. Bahkan ketika tak sadar pun, Alex tetap menghunjamkan ribuan jarum tanpa belas kasih. Alex yang kejam atau Zia yang memang bodoh? Berharap mendapat perlakuan yang sama ketika mencintai berlebihan. Alex bukan pengkhianat seperti ayahnya dulu, Zialah yang terlalu mudah menerima seseorang dengan hati terbuka sepenuhnya. Bahkan setelah mengetahui ada perempuan yang selama ini benar-benar dianggap ada selain dirinya, Zia tetap menaruh harapan. Bersikap optimis bahwa Alex tak akan berlaku kurang-ajar.

Seorang dokter yang baru saja memeriksa ulang keadaan Alex, keluar dari sana.

Zia mencegah. "gimana keadaannya, dok?" tanyanya gugup. Perasaannya campur aduk.

Dokter berhenti sejenak. Memaku pandangan pada Zia, lalu tersenyum tipis. "pasien masih belum menunjukkan akan sadar dalam waktu dekat" penjelasan dokter itu cukup singkat. Kemudian berlalu pergi seolah tak mau membuang waktu dengan siswi SMA.

Zia menempelkan telapak tangan dikaca pintu yang kecil. Menatap sayu seorang laki-laki yang masih setia memejamkan mata. Terkadang, hatinya mencelos sakit, melihat gadis lain yang ada disana. Gadis itu cantik, matanya juga terlihat sembab, sepertinya Valerio tidak membual soal hubungan keduanya. ia sedikit iri.

Zia menjauhkan badan dari pintu, lalu menatap pantulan samar dirinya yang terlihat kusut. Bodoh? Iya.

"duduklah, Zi" Erlan baru saja kembali dari luar. Kedua tangan membawa minuman botol, kemudian menyerahkan yang satunya pada Zia.

"jangan nangis terus" Erlan menatap lekat-lekat Zia yang terlalu keras pada diri sendiri. "nanti lo sakit. Yang dibutuhkan saat ini hanya doa dan sabar" ucap Erlan lembut. Ia memang laki-laki penuh pengertian, tenang disegala situasi, tatapannya teduh dan dalam. Salah satu alasan Zia diawal sangat terpukul ketika tahu Erlan berpaling darinya.

"makasih" tangannya membuka tutup botol, meneguknya perlahan untuk membasahi kerongkongan yang kering.

"siapa pelakunya?" tanya Zia tiba-tiba. Ia menggeram marah, siapa pun dia yang sudah tega membuat seseorang mendekati ajal sebelum waktunya, harus dihukum seberat-beratnya. Setiap masalah masih bisa dibicarakan baik-baik, bukan dengan kelakuan tak beradab. Membalas dendam, dengan mencoba menghilangkan nyawa seseorang.

Erlan tersedak oleh air yang baru saja ia teguk. Bingung harus memberi jawaban apa dari pertanyaan barusan. "besok. Akan gue kasih tahu."

Rasa penasarannya terpancing dengan mudah disertai emosi yang sedikit tersulut. "apa susahnya ngasih tahu sekarang?" sentaknya. Lalu meletak kasar botol tadi dikursi sebelah yang kosong.

"tenangin diri lo sekarang" Erlan memutar tubuh menghadap Zia, kemudian perlahan merangkul kedua bahu itu lalu memutarnya pelan agar mau menghadapnya. "lo harus siapin mental" tatapan Erlan begitu sendu. "gue minta maaf..." bahkan, ia turut merendahkan suaranya. Kenapa semuanya terasa rumit?

Zia mengerutkan dahi. Membalas tatapan itu dengan mata sembab. "kenapa?" tanyanya tak mengerti. Siapin mental? Minta maaf?

"besok. Lo akan ngerti semuanya"

Perasaannya mendadak tak nyaman. Dada Zia berdegup pelan, seolah menebak sesuatu yang buruk tengah menanti besok. Kalimat Erlan berhasil mendatangkan ribuan pertanyaan yang menghantam benaknya tanpa aba-aba. pikirannya sudah tak kuat menampung semua kemungkinan yang akan terjadi.

Semuanya berubah gelap. Tubuh lemah Zia terkulai dalam dekapan Erlan yang dengan sigap menahannya. Seharian ini..., bahkan dari kemarin ia rela mengusir rasa lapar, mengabaikan haus yang selalu menuntut, karena Alex. Pikirannya tak bisa fokus pada satu titik. Alex... sadarlah. Ini sudah hari ketujuh.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALEXANDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang